Rabu, 11 Maret 2009

PERMASALAHAN BLBI

(Tulisan Bapak J. Soedradjad Djiwandono)


ARTI

BLBI merupakan fasilitas dari Bank Indonesia untuk menjaga kestabilan sistim pembayaran dan sektor perbankan agar jangan terganggu karena ketidak seimbangan (mismatch) antara penerimaan dan penarikan dana pada bank-bank, baik jangka pendek maupun panjang. Dalam operasinya ada bebagai jenis fasilitas likuiditas bank sentral kepada sektor perbankan dengan persyaratan yang berbeda, sesuai dengan sasaran maupun peruntukannya. Karena jenis failitas yang beragam ini secara umum dapat dikatakan bahwa BLBI adalah fasilitas likuiditas BI yang diperikan kepada bank-bank diluar kredit likuiditas Bank Indonesia atau KLBI.






Meskipun bantuan likuiditas untuk menghadapi masalah perbankan ini sudah ada dan dipergunakan sejak lama, istilah bantuan likuiditas BI atau BLBI baru digunakan oleh Bank Indonesia sejak tahun 1998. Istilah ini muncul semenjak Indonesia menjalankan program pemulihan ekonomi dengan dukungan IMF yang menyebutkan berbagai fasilitas tadi sebagai liquidity supports. Untuk membedakan dengan KLBI yang lebih dikenal secara umum dan sebagai terjemahan dari liquidity support telah digunakan istilah bantuan likuiditas Bank Indonesia atau BLBI.




Pada dasarnya BLBI terdiri atas 5 jenis fasilitas sebagai berikut:



  1. Fasilitas dalam rangka mempertahankan kestabilan sistim pembayaran yang bisa terganggu karena adanya mismatch atau kesenjangan antara penerimaan dan penarikan dana perbankan, baik dalam jangka pendek disebut fasilitas diskonto atau fasdis I dan yang berjangka lebih panjang, disebut fasdis II.


  2. Fasilitas dalam rangka operasi pasar terbuka (OPT) sjalan dengan program moneter dalam bentuk SBPU lelang maupun bilateral


  3. Fasilitas dalam rangka penyehatan (nursing atau rescue) bank dalam bentuk kredit likuiditas darurat (KLD) dan kredit sub-ordinasi (SOL)


  4. Fasilitas untuk menjaga kestabilan sistim perbankan dan sistim pembayaran sehubungan dengan adanya penarikan dana perbankan secara besar-besaran (bank run atau rush) dalam bentuk penarikan cadangan wajib (GWM) atau adanya saldo negatif atau saldo debet atau overdraft rekening bank di BI


  5. Fasilitas untuk mempertahankan kepercayaan masyarakat pada perbankan dalam bentuk dana talangan untuk membayar kewajiban luar negeri bank dan untuk pelaksanaan sistim penjaminan (blanket guarantee).



MASALAH BLBI



Komponen terbesar dari BLBI adalah bantuan likuiditas Bank Indonesia yang diberikan kepada bank-bank yang menghadapi masalah penarikan dana pada bank-bank oleh nasabah secara besar-besaran dan bersamaan, berkaitan dengan krisis yang melanda perekonomian nasional. Akan tetapi BLBI juga menyangkut berbagai fasilitas BI kepada bank-bank dalam bentuk lain sebagaimana secara rinci disebutkan di atas. Bantuan likuiditas yang dipertanyakan proses penyaluran dan pemanfaatannya serta dipersoalkan pembebanan pembiayaanya ini telah menjadi masalah yang banyak dipergunjingkan di masyarakat.




Masalah ini lebih mencuat lagi setelah diumumkannya hasil audit BPK terhadap Bank Indonesia yang memberikan suatu disclaimer, artinya BPK tidak bersedia memberikan pendapat karena berbagai hal, seperti lemahnya pengawasan intern dan pembukuan yang tidak beres. Audit BPK juga secara spesifik dilakukan terhadap BLBI. Dalam testimoni Gubernur BI dengan Komisi IX DPR telah disepakati untuk investigative audit tentang BLBI.



BLBI DALAM KEADAAN NORMAL



Dalam keadaan normal, suatu bank meskipun dalam keadaan sehat dapat saja menghadapi masalah adanya kesenjangan antar aliran dana yang harus dibayarkan dengan yang diterima di dalam menjalankan fungsinya sebagai perantara keuangan dalam sistim pembayaran sebagai. Aliran dana itu harus dilaksanakan sebagai pembiayaan transaksi yang terjadi dalam perekonomian. Keadaan likuiditas bank demikian disebut sebagai suatu mismatch, artinya suatu kesenjangan yang timbul karena tagihan terhadap bank tersebut (liabilities) lebih besar dari hak untuk dibayar (assets) pada hari dilakukan pencatatan.



Hak menerima bayaran dan kewajiban membayar harian yang terjadi karena transaksi yang dibayar melalui dokumen ( non-cash payments) dengan perantaraan perbankan setiap hari kerja dicocokkan melalui proses kliring, yang di Indonesia dilaksanakan oleh lembaga kliring. Di Indonensia kliring dilaksanakan oleh BI serta dalam hal-hal tertentu oleh bank-bank yang ditunjuk BI. Dalam sistim pembayaran nasional pembayaran dilakukan selain melalui cara ini juga melalui cara tunai, menggunakan uang.



Setiap hari bank-bank perserta kliring harus mencek bagaimana posisinya pada waktu kliring. Suatu bank yang pada waktu kliring, pencocokan hak dan kewajiban bayar membayar tadi akan mengetahui apakah posisinya positif atau negatif. Bagi suatu bank, kalau hak tagihnya lebih kecil dari kewajiban membayarnya menurut dokumen yang dimasukkan proses kliring dikatakan mengalami kalah kliring. Seperti di atas dikatakan suatu bank, termasuk yang kondisinya sehat, suatu hari bisa saja mengalami kalah kliring. Ini suatu istilah yang banyak disalah artikan di masyarakat, seolah-olah suatu bank yang kalah kliring itu otomatis menghadapi masalah hidup matinya bank. Ini tidak benar. Kalah kliring adalah suatu hal yang biasa, karena posisi netto dari hak dan kewajiban harian tadi tidak selalu persis sama besar, tergantung dari transaksi yang dilayani hari tersebut. Tentu saja kalau dalam periode yang berkepanjangan bank terus menerus mengalami kalah kliring, ini memang menandakan adanya masalah yang lebih dalam dari posisi likuiditas, mungkin secara struktural bank ini bermasalah.




Suatu bank yang menghadapi kalah kliring harian dalam keadaan normal akan mengatasinya dengan cara-cara sebagai berikut;




  1. Menutup kekalahan dengan menggunakan dananya sendiri, baik yang disimpan dibanknya atau yang disimpan di BI. Sejak tahun 1995, bersamaan dengan perubahan ketentuan tentang besarnya dan cara menghitung jumlah minimal giro wajib bank atau giro wajib minimum (GWM), bank-bank diharuskan menyimpan giro wajib pada BI. Untuk kehati-hatiannya bank-bank biasanya mempunyai giro yang lebih besar dari kewajian minimumnya (5% dari dana pihak ketiga sejak 1996).



  2. Menutup kekurangan tersebut dengan mencari pinjaman dari bank lain dalam pasar uang antar bank (PUAB) dengan suku bunga yang berlaku di pasar. Suku bunga pasar uang antar bank ini untuk bank-bank yang dianggap bonafide di Jakarta, sejumlah 21 bank yang relatif besar, disebut suku bunga JIBOR (Jakarta inter-bank offer rate). Untuk bank-bank diluar mereka ini biasanya suku bunga lebih tinggi lagi. Semakin suatu bank dianggap rendah bonafiditasnya diantara mereka semakin tinggi suku bunga yang harus dibayar untuk pinjaman antar bank ini.


  3. Kalau dari sumber-sumber tersebut tidak diperoleh, apapun alasannya, maka jalan yang ditempuh adalah minta menggunakan fasilitas BI yang digunakan untuk menghadapi masalah ini. Fasilitas yang tersedia adalah yang disebutkan pertama di atas, Fasdis I atau Fasdis II yang berbeda dalam jangka waktu dan persyaratannya







Dalam keadaan normal bank sebenarnya tidak suka meminta BI untuk menggunakan fasilitas diskonto. Mengapa? Karena dalam keadaan normal hal ini dipandang sebagai tindakan yang menunjukkan kelemahan bank yang bersangkutan kepada bank-bank lain, bahwa bank tersebut tidak dipercaya meminjam dana jangka pendek dari sesama bank. Ini merupakan suatu tabu. Selain itu suku bunga fasilitas diskonto ini lebih tinggi dari suku bunga pasar antar bank, karena mengandung unsur hukuman atau penalty, agar bank tidak mudah menggunakan fasilitas ini. Ini menjaga timbulnya moral hazard. Bisa dibayangkan kalau bank-bank dapat memperoleh dana murah dari bank sentral, tentu BLBI ini jumlahnya lebih besar lagi tanpa terjadinya krisis. Jadi suku bunga BLBI itu lebih mahal dari suku bunga pasar uang antar bank (PUAB). Di sini nampaknya sering terdapat salah pengertian di masyarakat. Seolah-olah BLBI ini seperti kredit likuiditas BI untuk program-program Pemerintah melalui KLBI yang suku bunganya lebih rendah dari suku bunga pasar. Ini tidak benar, karena suku bunga BLBI selalu lebih tinggi dari suku bunga pasar antar bank.



Jadi dalam keadaan normal, bank yang kalah kliring dapat mencari dana untuk menutup kekurangan likuiditasnya dengan meminjam dari bank lain pada pasar uang antar bank dengan suku bunga yang berlaku, JIBOR untuk bank-bank yang kondisinya baik dan dikenal baik sesama bank. Akan tetapi untuk bank-bank lain, bank-bank kecil, biasanya harus membayar bunga yang jauh lebih besar dari suku bunga yang berlaku bagi bank-bank besar yang tergabung dalam JIBOR ini. Karena pinjaman ini hanya untuk jangka waktu sangat pendek, suku bunga pinjaman antar bank ini lebih tinggi dari yang berlaku untuk pinjaman kepada nasabah biasa dari bank.



BLBI DALAM MASA KRISIS





Semenjak gejolak moneter mengenai Indonesia pertengahan Juli 1997, maka sebagai implikasi dari kebijakan moneter yang ditempuh terjadi keketatan likuiditas perekonomian. Ini terjadi terutama setelah pengambangan rupiah medio Agustus 1997. Keketatan likuiditas merupakan implikasi dari tindakan mempertahankan nilai rupiah melalui kebijaksanaan fiskal (menahan pengeluaran rutin), kebijakan moneter (penghentian pembelian SBPU oleh BI akhir Juli 1997 dan peningkatan suku bunga SBI sampai lebih dari dua kali lipat minggu ketiga Agustus 1997), ditambah dengan suatu tindakan yang merupakan gebrakan moneter (pengalihan deposito berbagai BUMN dan Yayasan menjadi SBI). Ini merupakan permulaan terjadinya dampak negatif krisis terhadap sektor perbankan.







Proses terjadinya mismatch likuiditas perbankan dan jalan yang ditempuh perbankan sampai terjadinya pemberian BLBI mungkin dapat digambarkan sebagai berikut: Semula, terjadi proses pengalihan dana perbankan dari bank yang satu ke yang lain. Bank-bank yang mengalami penarikan dana nasabah secara besar-besaran menghadapi masalah kekurangan likuiditas ini dengan mencari pinjaman antar bank. Setelah sumber ini menghilang, bank akan menggunakan dana yang dimilikinya pada BI. Giro bank yang bersangkutan pada BI berkurang dengan penarikan ini, semula dari dana diluar GWM, kemudian setelah dana ini hilang, kalau penarikan masih berjalan dihadapi dengan penyusutan GWM. Kalau penarikan berlanjut, bank yang memang harus melayani penarikan dana nasabah harus membiayainya dengan mengalami saldo negatif atau saldo debet atau overdraft pada rekening giro di BI.








Pelanggaran GWM (kurang dari 5% atas dana pihak ketiga bank) ini mengandung penalti yang berat, kalau tidak dibayar akan menjadi hutang bank kepada BI. Jumlah bank yang melanggar ketentuan GWM ini membengkak dengan berjalannya krisis. Sebagai contoh pda bulan Agustus 1997, pelanggaran ketentuan GWM, artinya giro bankbank pada BI yeng menurun dibawah 5% dari dana pihak ketiga, terjadi terhadap 14 bank pada tanggal pengumuman pengambangan rupiah (14/8/97) dan menjadi 51 pada akhir Agustus 1997. Setelah krisis terjadi memang ada yang menyalahkan kebijakan Pemerintah mengambangkan rupiah.



Pasar uang antar bank menjadi lebih terkotak-kotak, bank yang masih mempunyai kelebihan likuiditas harian tidak bersedia melepas likuiditasnya di pasar uang antar bank. Likuiditas yang berlebih hanya dilepas kepada bank lain yang benar-benar dikenalnya dengan suku bunga yang sangat tinggi. Dalam proses penyelamatan oleh pemiliknya, dana dikeluarkan oleh pemiliknya dari bank-bank yang dipandang lemah (tidak memberi jaminan keamanan dana) kepada bank-bank yang dianggap kuat atau apa yang dikenal sebagai flights to safety, bank-bank Pemerintah, bank-bank swasta besar dan bank-bank asing yang dianggap aman memperoleh tambahan likuiditas atas kerugian bank-bank yang dianggap lemah.



Adanya kompartmentalisasi atau segmentasi pasar uang antar bank ini menyulitkan pengelolaan likuiditas maupun pengendalian sistim pembayaran oleh Bank Indonesia. Suku bunga antar bank yang tidak mengalami masalah likuiditas tidak terlampau tinggi, sebaliknya dengan suku bunga antar bank yang mengalami keketatan likuiditas. Dalam keketatan likuiditas sekitar September 1997 sementara bank harus membayar suku bunga setinggi 200% per tahun, bahkan lebih tinggi lagi untuk memperoleh dana guna menutup kekurangan likuiditasnya. Akan tetapi suku bunga JIBOR tidak terlampau tinggi meningkatnya. Ini menimbulkan masalah dalam implemantasi program moneter antara otoritas moneter dengan IMF pada akhir Nopember dan selama Desember 1997. IMF mendesak ditingkatkannya suku bunga karena yang diamati adalah perkembagan suku bunga JIBOR yang tidak banyak bergerak karena diantara bank-bank yang dianggap aman oleh pemilik dana ini memang tidak ada masalah likuiditas. Padahl untuk bank-bank lain, bank-bank kecil dan menengah kebannyakan mengalami masalah. Ini implikasi dari sekmentasi atau kompartmentalisasi pasar uang antar bank.



Sebagian bank tidak dapat memperoleh akses likuiditas dari pasar, padahal mengalami masalah mismatch likuiditas. Bank-bank inilah pada dasarnya yang terpaksa lari ke BI untuk mengajukan permintaan bantuan likuiditas. Bank-bank yang dalam posisi demikian menjadi semakin banyak dengan berjalannya krisis moneter yang terus belangsung.



Setelah pelanggaran ketentuan GWM, karena penarikan dana perbankan berlanjut maka bank-bank mengalami saldo debet atau saldo negatif pada rekening giro mereka di BI. Bank yang mengalami saldo negatif pada akhir 1997 tercatat sebanyak 29. Sebagaimana digambarkan di atas, ini terjadi melalui proses kliring yang menghitung segala tagihan dan pembayaran yang setelah digabungkan atau dinetokan (netting) maka suatu bank akan mempunyai posisi kalah kliring atau sebaliknya, atau saldonya nol kalau tagihan dan pembayaran ternyata berimbang. Kalau sumber-sumber lain untuk menutup kekalahan kliring tidak ada, maka bank tersebut dapat mempunyai saldo negatif pada rekening gironya di BI.



Selain saldo negatif pada rekening giro bank-bank di BI bentuk BLBI lain adalah dana talangan yang digunakan untuk membiayai pengeluaran sebagai implikasi dari janji Pemerintah memberi perlindungan pada deposan kecil pada bank yang dicabut ijin usahanya, sesuai Kebijakan Pemerintah 3 September 1997. Dalam rangka pencabutan ijin usaha 16 bank bulan Nopember 1997 BI membiayai pengembalian dana deposan sampai dengan Rp 20 juta untuk masing-masing rekening, yang merupakan dana talangan. Selain itu juga dilakukan pembayaran kepada pemilik deposito dan tabungan diatas Rp 20 juta pada minggu ketiga Pebruari 1998.



Setelah krisis bekelanjutan bahkan lebih memburuk dalam arti ancaman hilangnya sama sekali kepercayaan terhadap perbankan, maka atas usul IMF dalam kelanjutan dari negosiasi untuk LOI kedua, Pemerintah pada akhir Januari 1998 menerapkan suatu sistim yang memberi jaminan kepada bank nasional Indonesia yang mencakup keseluruhan kreditur dan deposito serta tabungan bank, dikenal sebagai blanket guarantee. Dana yang digunakan untuk kepentingan ini juga merupakan bagian dari BLBI.



Selain itu, dalam rangka kesepakatan Frankfurt bulan Juni 1998 mengenai pinjaman swasta, BI memberikan talangan untuk membayar pinjaman perbankan jangka pendek yang jatuh tempo waktu itu ( trade financing dan interbank detb arrears) dan untuk kelancaran pembukaan L/C diberikan jaminan pembiayaan perdagangan internasional.







BANTUAN LIKUIDITAS BANK INDONESIA ( BLBI )







DASAR HUKUM



Pada dasarnya pemberian BLBI kepada perbankan didasarkan atas berbagai ketentuan sebagai berikut:

  1. Undang-undang nomor 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral dalam pasal 29 ayat (1) dan pasal 32 ayat (3) serta Penjelasan Umumnya yang menyebutkan bahwa sebagai lender of last resort Bank Sentral dapat memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank untuk mengatasi kesulitan-kesulitan likuiditas yang dihadapi dalam keadaan darurat
    Pasal 37 ayat (2) huruf b UU no 7 tahun 1992 yang mengatakan bahwa " Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, maka Bank Indonesia dapat mengambil tindnakan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


  2. Pasal 2 ayat (1) Keputusan Presiden no 120 tahun 1998 yang mengatakan "Bank Indonesia dapat memberikan jaminan atas pinjaman luar negeri dan atau atas pembiayaan perdagangan internasional yang dilakukan oleh bank"


  3. Pasal 1 Keputusan Presiden no 26 tahun 1998 yang mengatakan "Pemerintah membebri jaminan bahwa kewajiban pembayaran bank umum kepada pemilik simpanan dan krediturnya akan dipenuhi" dan


  4. Pasal 2 ayat(1) Keputusan Presidien no 1998 yang mengatakan "Pemerintah memberikan jaminan terhadap kewajiban pembayaran Bank Perkreditan Rakyat"


  5. Petunjuk-petunjuk dan Keputusan Presiden pada Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekku Wasbang dan Prodis pada tanggal 3 September 1997 yang mengatakan" Krisis di beberapa negara menunjukkan bahwa sektor keuangan --khususnya perbankan-- merupakan unsur yang sangat penting dan dapat menjadi pemicu serta memperbuuruk keadaan. Untuk itu kepada Saudara Menteri Keuangan dan Saudara Gubernur Bank Indonesia saya minta untuk mengambil langkah-langkah sebagai berikut: 1. Bank-bank nasional yang sehat tetapi mengalami kesulitan likuiditas untuk sementara supaya dibantu. 2. Bank-bank yang nyata-nyata tidak sehat, supaya diupayakan penggabungan atau akuisisi dengan bank-bank lainnya yang sehat.

Jika upaya ini tidak berhasil, supaya dilikuidasi sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dengan mengamankan semaksimal mungkin para deposan, terutama para "deposan kecil".




BUKAN KLBI


Di masyarakat sering nampak ada salah pengertian yang mengacaukan BLBI dengan kredit likuidtas BI atau KLBI, sering keduanya dianggap sama. Untuk gampangnya BLBI adalah berbagai bentuk fasilitas likuiditas untuk perbankan dengan berbagai sasaran peruntukannya diluar KLBI. Sedangkan KLBI adalah kredit BI untuk membantu kegiatan atau sektor yang diprioritaskan oleh Pemerintah atau kredit untuk program-program Pemerintah, seperti pengadaan pangan melalui Bulog, kredit untuk koperasi unit desa (KKUD), kredit untuk usaha tani (KUT) dan kredit untuk koperasi primer bagi anggotanya (KKPA) yang suku bunganya mengandung unsur subsidi karena itu lebih rendah dari suku bunga pasar.



Ada dua unsur pokok perbedaan BLBI dengan KLBI, datangnya inisiatif dan suku bunga. Dari segi asal datangnya inisiatif, BLBI datang dari bank yang mengajukan permintaan bantuan kepada BI -- sebagai lender of last resort --karena menghadapi masalah ketidak seimbangan likuiditas (mismatch) antara penerimaan dana dan pemmayaran yang tidak bisa ditutup dengan sumber dana lain yang lazim dalam perbankan. Sedangkan dalam hal KLBI inisiatif datang dari BI, yang membantu pelaksanaan program Pemerintah (sebagai agent of development) memberi kredit kepada bank pelaksana agar menyalurkan kredit tersebut pada sektor atau kegiatan atau kelompok yang diprioritaskan dalam program Pemerintah. Dari aspek suku bunga, BLBI mempunyai suku bunga yang mengandung unsur penalti untuk mengurangi moral hazard karena itu selalu lebih tinggi dari pasar. Sedangkan suku bunga KLBI mengandung unsur subsidi, karena itu lebih rendah dari suku bunga pasar. Dana kredit-kredit dengan KLBI ini sering merupakan campuiran dari dana BI (KLBI), dana anggaran dan dana dari bank pelaksana sendiri, ini yang memungkinkan diberikan subsidi suku bunga.


Mengenai besarnya bantuan likuiditas yang berbeda-beda sangat besar untuk bank -bank besar dan kecil bagi yang lain, ya tentu saja karena besarnya bank menurut besarnya dana yang dihimpun dari atau kredit yang diberikan kepada masyarakat memang berbeda, ada yang besar ada yang kecil. Kalau BLBI dianggap sama dengan KLBI maka salah satu dasar pemberiannya adalah pertimbangan keadilan. Di sini bisa timbul pertanyaan, mengapa bank yang besar diberi bantuan (BLBI) yang besar pula, apa ini tidak bertentangan dengan rasa keadilan? Ini dianggap menyinggung rasa keadilan karena melihat BLBI sebagai fasilitas atau hadiah untuk dibagi-bagikan. Menggunakan argumen ini untuk KLBI memang tepat, tetapi tidak untuk BLBI.


Sering ada kecurigaan bahwa dana yang berasal dari BI ini diberikan kepada perbankan dan kemudian oleh perbankan disalurkan sebagai kredit, kepada kelompok perusahaannya sendiri lagi. Dengan lain perkataan seperti proses penyaluran kredit yang mengandung KLBI. Kecurigaan ini timbul karena kesalah pengertian proses pemberian KLBI dengan BLBI yang berbeda. BLBI timbul karena adanya mismatch dalam likuiditas, karena adanya saldo negatif terhadap BI, sedangkan pemberian KLBI berdasarkan pertimbangan perlunya mendorong kegiatan atau sektor tertentu dalam perekonomian yang didorong dengan kredit program.


Akan tetapi kalau memang terjadi penyelewengan dan kredit ini tidak dikembalikan, maka kita bicara mengenai masalah yang berbeda. Kalau hal ini terjadi, atau dalam hal terjadi penyelewengan oleh bank penerima, ini jelas masalah yang harus diselesaikan. Penyelewengan pemanfaatan BLBI harus ditindak sesuai dengan kesalahannya. Demikian juga kalau memang ada unsur kolusi pejabat yang menerima uang imbalan dari pemberian BLBI, sudah seharusnya mereka ini dikenakan sanksi sesuai dengan kesalahannya.


PERMASALAHAN BEBAN PEMBIAYAAN BLBI


Jumlah BLBI ternyata sangat besar. Ini terutama disebabkan oleh terjadinya krisi yang berkepanjangan dan karena jalan keluar yang prosesnya, apapun alasannya, ternyata memakan waktu sangat panjang. Padahal dalam penyelesaian mamsalah yang terkait dengan krisis yang mempunyai dampak penularan atau contagious, kecepatan itu sangat penting. Kecepatan untuk mengetahui atau mengidentifikasi, menenrima dan dalam mencari solusi membuat rencana dan melaksanakannya dengan tepat, cepat dan konsisten itu sangat menentukan berhasil tidaknya. The sooner the better, kata orang, karena itu speed is the essence. Memang dalam hal ini sering kecepatan mengorbankan ketelitian.



Besarnya jumlah BLBI sebenarnya tergantung mana saja dari jenis-jenis fasilitas itu yang akan dimasukkan. Kalau difinisi yang diambil yang sangat umum, bhawa BLBI adalah semua bantuan likuiditas BI untuk perbankan diluar KLBI, maka jumlah ini jelas sangat besar. Selain jumlah akhir dan komposisi dari BLBI mungkin perkembangan dari jumlah tersebut juga perlu diperhatikan untuk melihat perkembangan masalah yang kerkaitan dengan pemberian BLBI ini.


Berbagai permasalahan yang timbul dari jumlah BLBI ini akan nampak kalau diikuti hasil audit BPK yang menunjukkan pernilain lembaga tersebut untuk masing-masing jenis BLBI mana yang dianggap tepat dan mana yang tidak untuk pembebanannya pada anggaran Pemerintah. Dalam hal ini mungkin ada beberapa jumlah besarnya BLBI yang bisa dijadikan patokan untuk dibahas statusnya, sebagai berikut:
Jumlah BLBI posisi Maret 1998 yang disebutkan dalam pengalihan hak tagih BI kepada Pemerintah (BPPN) berkaitan dengan penyerahan 54 bank dibawah pengawasan BPPN adalah sebesar RP 144,5 t yang kemudian menjadi basis dikeluarkannya obligasi yang sama besarnya dengan jumlah ini. Kepada jumlah ini mamsih ditambah dengan Rp 20 T untuk membayar kewajiban PT Bank Ekspor-Impor Indonesia. Keduanya berjumlah Rp. 164,5 t


Diluar ini masih ada penyediaan dana penjaminan (blanket guarantee) sebesar Rp.53,8 t


Dalam laporan auditnya BPK hanya membuat audit mengenai jumlah BLBI diluar dana penjaminan atau Rp 164,5 t saja. Jumlah ini menurut laporan BPK harusnya terlebih dahulu disepakati antara Depkeu dengan BI. Dan karena kesepakatan mengenai kriteria pemberian BLBI antara kedua instansi belum ada, maka kesepakan mengenai jumlah tersebut juga belum ada. Ini yang menyebabkan BPK mengambil keputusan untuk tidak memberikan pendapat. Sedangkan dalam audit yang dilakukan, karena belum adanya kriteria yang disepakati maka BPK melakukan pengecekan kelayakan jumlah-jumlah tersebut berdasarkan ketentuan BI yang seharusnya diikuti. Pendapat yang pada akhirnya menghasilkan laporan jumlah mana yang layak dipikul Pemerintah dan mana yang tidak layak didasarkan atas pengecekan proses pemberian BLBI dengan ketentuan atau persyaratan yang ada. Kalau ketentuan tsb tidak dipatuhi maka BPK berpendapat bahwa jumlah BLBI yang tidak mengikuti ketentuan tersebut tidak bisa dibebankan kepada anggaran Pemerintah. Perhitungan-perhitungan ini antara lain yang menghasilkan bahwa BI harus menyediakan cadangan terhadap tagihan-tagihannya yang macet yang jauh lebih besar dari cadangan yang disediakan. Karena kewajiban menyediakan cadangan inilah maka diperoleh saldo negatif pada neraca BI. Saldo negatif ini jauh lebih besar dari modal yang ada, karena itu BI berdasarkan perhitungan ini sudah dalam keadaan tidak solvent.



Beberapa waktu yang lalu ada suatu pendapat di Depkeu yang menyatakan bahwa pertanggungan anggaran Pemerintah sebaiknya hanya menyangkut BLBI yang diberikan sejak diterapkannya blanket guarantee pada akhir Januari 1998. Mungkin ada pendapat yang lain lagi mengenai jumlah mana yang layak ditanggung anggaran.


BERBAGAI CATATAN


Mengenai bantuan likuiditas BI kepada bank-bank yang menghadapi masalah likuiditas karena berbagai alasan dasar utama dari tindakan ini adalah kedudukan Bank Sentral yang merupakan lender of the last resort yang merupakan salah satu dasar utama didirikannya suatu bank sentral yang sering juga disebut sebagai the bankers' bank. Tentu saja ada berbagai persyaratan dan ketentuan yang harus dipatuhi dalam bank sentral menjalankan tugasnya sebagai sumber terakhir dari likuiditas terhadap bank-bank ini.

Pemberian fasilitas likuiditas kepada perbankan oleh bank sentral diberikan atas dasar tugasnya menjaga kestabilan moneter dan sistim pembayaran dimana perbankan merupakan lembaga perantara keuangan sangat vital yang menjadi pelaku-pelakunya. Karena itu pembebrian fasilitas ini bukan ditujukan untuk menyelamatkan pemilik bank atau suatu bank per se, akan tetapi untuk keselamatan dan kestabilan sistem perbankan.

Dalam keadaan normal fasilitas ini diberikan kepada bank yang menghadapi kesenjangan tagihan dan kewajiban bayar. Akan tetapi bahkan dalam hal inipun yang menjadi dasar utama bukan penyelamatan bank tertentu atau pemilik bank tertentu. Akan tetapi menjaga agar sistim perbankan tidak goyah dengan adanya satu atau beberapa bank yang mengalami masalah mismatch dalam likuiditas tersebut.


Di dalam alam yang transparansinya masih kurang, ketentuanmengenai disclosure belum sepenuhnya dilaksanakan dan good governance yang belum kuat baik pada bank-bank umum maupun pada otorita pengawasan bank, maka pengertian yang kurang jelas mengenai praktek penyelenggaraan bank sentral dan bank umum, apalagi ditambah dengan interpretasi tentang ketentuan mengenai kerahasiaan bank yang belum dibakukan, maka salah pengertian dapat menimbulkan prasangka yang mempersulit kejelasan masalah yang pada dasarnya memang cukup kompleks ini.


Masalah pembebanan dari pengeluaran bank sentral yang digunakan untuk membiayai BLBI ini menjadi rumit karena adanya kekurang jelasan atau salah pengertian mengenai berbagai hal yang disebutkan di atas. Sebenarnya sekiranya telah ada kesepakatan antara Departemen Keuangan dengan BI mengenai kriteria dan akhirnya jumlah dari keseluruhan bantuan likuiditas, maka seharusnya temuan BPK yang akhirnya memberikan disclaimer itu tidak harus ada. Tetapi ini telah terjadi jadi sekarang menimbulkan masalah.


KREDIT LIKUIDITAS BANK INDONESIA ( KLBI )






Tidak ada komentar:

Posting Komentar