Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan sepuluh cara hapusnya suatu perikatan.
Cara-cara tersebut adalah
1). pembayaran;
2). penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
3) pembaharuan utang;
4). perjumpaan utang atau kompensasi;
5). percampuran utang;
6) pembebasan utang;
7), musnahnya barang yang terutang;
8). batal/pembatalan;
9). berlakunya suatu syarat batal dan
10). lewatnya waktu.
Sepuluh cara tersebut di atas belum lengkap, karena masih ada cara-cara yang tidak disebutkan, misalnya berakhirnya suatu ketetapan waktu ("termijn") dalam suatu perjanjian atau meninggalnya salah satu pihak dalam beberapa macam perjanjian, seperti meninggalnya seorang pesero dalam suatu perjanjian firma dan pada umumnya dalam perjanjian-perjanjian di mana prestasi hanya dapat dilaksanakan oleh si debitur sendiri dan tidak oleh seorang lain.
Cara-cara hapusnya perikatan itu, akan kita bicarakan satu persatu di bawah ini.
a. Pembayaran.
Dengan "pembayaran" dimaksudkan setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela. Dalam arti yang sangat luas ini, tidak saja pihak pembeli membayar uang harga pembehan, tetapi pihak penjual pun dikatakan, "memb ayar" jika ia menyerahkan atau "melever" barang yang dijualnya.
Yang wajib membayar suatu utang, bukan saja si berutang (debitur), tetapi juga seorang kawan si berutang dan seorang penanggung utang ("borg" ).
Lebih menarik daripada persoalan tentang siapa yang wajib membayar suatu utang, adalah pertanyaan tentang siapa yang berhak membayar suatu utang. Jawaban atas pertanyaan ini diberikan oleh pasal 1332. Kitab UndangUndang Hukum Perdata menerangkan bahwa suatu perikatan dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan, asal saja orang pihak ketiga yang bertindak atas nama dan untuk melunasi utangnya si berutang, atau jika ia bertindak atas namanya sendiri, asal ia tidak menggantikan hak-hak si berpiutang.
Kalau saya mempunyai suatu utang, dan kemudian datang seorang pihak ketiga yang tidak mempunyai suatu kepentingan apa-apa membayar utang saya itu, maka perbuatan orang tali sudah barang tentu menyinggung perasaan saya. Tetapi, soal perasaan ini rupa-rupanya oleh Undang-undang tidak begitu dipikirkan. Yang dipikirkan terutama kepentingan seorang kreditur supaya piutangnya dibayar dan siapa yang membayar, tidak begitu penting bagi dia. Jadi soal perasaan dikorbankan untuk kepentingan si berpiutang (kreditur). Hal tersebut di atas sudah barang tentu tidak berlaku untuk suatu perikatan untuk berbuat sesuatu. Perikatan untuk berbuat sesuatu ini, tidak dapat dipenuhi oleh seorang pihak ketiga. berlawanan dengan kemauan si berpiutang, jika si berpiutang mempunyai kepentingan supaya perbuatan tersebut dilakukan sendiri oleh si berutang.
Agar pembayaran itu sah, perlu orang yang membayar itu pemilik dari barang yang dibayarkan dan berkuasa memindahtangankannya. Meskipun demikian, pembayaran suatu jumlah uang atau sejumlah barang lain yang dapat dihabiskan tak dapat diminta kembali dari seorang yang dengan itikad baik telah menghabiskan barang yang telah dibayarkan itu sekalipun pembayaran itu telah dilakukan oleh orang yang bukan pemilik atau orang yang tak cakap mengasingkan barang tersebut.
Pembayaran harus dilakukan kepada si berpiutang (kreditur) atau kepada seorang yang dikuasakan olehnya atau juga kepada seorang yang dikuasakan oleh hakim atau oleh Undang-undang untuk menerima pembayaran-pembayaran bagi si berpiutang. Pembayaran yang dilakukan kepada seorang yang tidak berkuasa menerima bagi si berpiutang, adalah sah, sekedar si berpiutang teiah menyetujuinya atau nyata-nyata telah mendapat manfaat karenanya.
Pembayaran yang dengan itikad baik, dilakukan kepada seorang yang memegang surat piutang yang bersangkutan, adalah sah.
Pembayaran yang dilakukan kepada si berpiutang, jika ia tidak cakap adalah tidak sah, melainkan sekedar si berhutang membuktikan bahwa si berpiutang sungguh-sungguh mendapat manfa'at dari pembayaran itu.
Si debitur tidak boleh memaksa krediturnya untuk menerima pembayaran utangnya sebagian demi sebagian, meskipun utang itu dapat dibagibagi. Pada waktu kita membicarakan perihal perikatan yang tak dapat dibagi-bagi, kita sudah melihat, bahwa meskipun suatu prestasi dapat dibagi, namun apabila di masing-masing pihak hanya ada seorang kreditur dan seorang debitur, prestasi tersebut harus selalu dilakukan sekaligus.
Mengenai tempatnya pembayaran, oleh pasal 1393 Kitab UndangUndang Hukum Perdata diterangkan sebagai berikut :
"Pembayaran harus dilakukan di tempat yang ditetapkan dalam perjanjian. Jika dalam perjanjIan tidak ditetapkan suatu tempat, maka pembayaran yang mengenai suatu barang tertentu, harus dilakukan di tempat di mana barang itu berada sewaktu perjanjian dibuat. Di luar kedua hal tersebut, pembayaran harus dilakukan di tempat tinggal si berpiutang, selama orang itu terus-menerus berdiam dalam keresidenan di mana ia berdiam sewaktu perjanjian dibuat, dan di dalam hal-hal lainnya di tempat-tanggalnya si berutang. "
Ketentuan dalam ayat pertama, yang menunjuk pada tempat di mana barang berada sewaktu perjanjian ditutup, adalah sama dengan ketentuan dalam pasal 1477 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata jual beli, di mana juga tempat tersebut ditunjuk sebagai tempat di mana barang yang dijual harus diserahkan. Memang sebagaimana sudah diterangkan, "pembayaran" dalam arti yang luas juga ditujukan pada pemenuhan prestasi oleh si penjual yang terdiri atas penyerahan barang yang telah diperjual-belikan.
Ketentuan dalam ayat kedua, berlaku juga dalam pembayaran-pem. bayaran di mana yang dibayarkan itu bukan suatu barang tertentu, jadi uang atau barang yang dapat dihabiskan. Teristimewa ketentuan tersebut adalah penting untuk pembayaran yang berupa uang. Dengan demikian, maka utang-utang yang berupa uang, pada asasnya harus dibayar di tempat tanggalnya kreditur, dengan kata lain pembayaran itu harus diantarkan. Utang uang yang menurut Undang-undang harus dipungut di tempat tinggal debitur hanyalah utang wesel.
Sesuai dengan ketentuan tersebut di atas, oleh pasal 1395 ditetapkan bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk menyelenggarakan pembayaran harus dipakaI oleh debitur.
Mengenai pembayaran-pembayaran uang yang harus dilakukan secara berkala (periodik), misalnya sews rumah, cicilan-cicilan atau angsuranangsuran, oleh undang-undang diberikan suatu keringanan bagi debitur dalam membuktikan bahwa ia sudah membayar cicilan-cicilan itu, yaitu dengan menentukan adanya tiga surat tanda pembayaran (kwitansi), dari mana ternyata pembayaran tiga angsuran berturut-turut, menerbit suatu persangkaan bahwa angsuran-angsuran yang lebih dahulu telah terbayar lungs, melainkan jika dibuktikan sebaliknya.
Ini adalah suatu contoh tentang apa yang dinamakan suatu "persangkaan menurut undang-undang." Dari terbuktinya pembayaran tiga angsuran berturut-turut, oleh undang-undang disimpulkan bahwa angsuran-angsuran yang lebih dahulu juga sudah terbayar semua. Kalau si debitur menunjukkan tiga kwitansi yang terakhir, maka dianggaplah ia sudah membayar semua angsuran. Dengan menunjukkan tiga kwitansi yang terakhir tadi, si debitur dibebaskan dari kewajiban untuk membuktikan bahwa ia sudah membayar angsuran-angsuran yang lebih dahulu. Sekarang, adalah kewajiban pihak kreditur untuk membuktikan bahwa debitur belum membayar angsuran-angsuran yang lebih dahulu itu. Memang suatu persangkaan menurut undang-undang pada hakekatnya membalik beban pembuktian. Si debitur sebenarnya diwajibkan membuktikan semua pembayaran. Namun dengan adanya ketentuan pasal 1394 (persangkaan menurut undang-undang) sekarang si kreditur yang diwajibkan membuktikan bahwa debitur belum membayar semua angsuran.
Suatu masalah yang muncul dalam soal pembayaran, adalah masalah subrogasi atau penggantian hak-hak si berpiutang (kreditur) oleh seorang ketiga yang membayar kepada si berpiutang itu. Dalam subrogasi atau penggantian ini, seorang ketiga yang membayar suatu utang menggantikan kedudukan kreditur, terhadap si debitur.
Jadi, setelah utang itu dibayar, muncul seorang kreditur baru yang menggantikan kedudukan kreditur lama. Jadi utang tersebut hapus karena pembayaran tadi, tetapi pada detik itu juga hidup lagi dengan orang ketiga tersebut sebagai pengganti dari kreditur lama. Karena dalam pandangan kita, utang lama yang telah dibayar itu hidup kembali, maka segala embel-embel atau sangkut-paut dari utang lama itu tetap hidup dan ikut serta berpindah ke tangan kreditur baru, yaitu orang ketiga yang telah membayar itu. Dengan embel-embel atau sangkut-paut dari suatu utang, dimaksudkan segala perjanjian accessoir atau segala janji yang menyertai perjanjian pokoknya, misalnya : penanggungan ("borg-tocht"), hipotik, gadai dan lain sebagainya. Segala embel-embel ini ikut serta, jadi kreditur baru memperoleh suatu penagihan yang juga dijamin dengan perjanjian, baik demi undang-undang.
Subrogasi atau penggantian tersebut di atas dapat terjadi baik dengan perjanjian, maupun demi undang-undang.
Subrogasi tersebut terjadi dengan perjanjian
1. Apabila si berpiutang (kreditur) dengan menerima pembayaran dari seorang pihak ketiga menetapkan bahwa orang ini akan menggantikan hak-haknya, gugatan-gugatannya, hak-hak istimewanya dan hipotik yang dipunyainya terhadap si berutang (debitur). Subrogasi ini harus dinyatakan dengan tegas dan dilakukan tepat pada waktu pembayaran.
2. Apabila si berutang meminjam sejumlah uang untuk melunasi utangnya, dan menetapkan orang yang meminjami uang itu akan menggantikan hak-hak si berpiutang, maka agar subrogasi itu sah, baik perjanjian pinjam uang, maupun tanda pelunasan harus dibuat dengan akta otentik dan dalam surat perjanjian pinjam uang harus diterangkan, bahwa uang itu dipinjam untuk melunasi utang tersebut sedangkan selanjutnya surat tanda pelunasan harus menerangkan bahwa pembayaran dilakukan dengan uang yang untuk itu dipinjamkan oleh si berpiutang (kreditur) baru. Subrogasi ini dilaksanakan tanpa bantuan kreditur lama.
Demikian, mengenai subrogasi yang terjadi dengan perjanjian itu disebutkan oleh pasal 1401 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Oleh karena dalam subrogasi sub 1 tersebut di atas, tidak disebutkan suatu cara tertentu (seperti halnya dalam subrogasi sub 2), maka harus dianggap cukup kalau hal penggantian (subrogasi) misalnya ditulis saja di atas kwitansi atau tanda pembayaran. Dalam subrogasi sub I prakarsa untuk mengadakan subrogasi datang dari kreditur, sedangkan dalam subrogasi sub 2 prakarsa itu datang dari pihak debitur.
Lantaran inilah, maka untuk yang sub 2 itu diadakan syarat-syarat yang lebih berat, yaitu dengan menuntut formalitas-formalitas berupa akta otentik. Subrogasi yang terjadi demi undang-undang adalah menurut pasal 1402 sebagai berikut :
1. Untuk seorang yang ia sendiri sedang berpiutang, melunasi seorang berpiutang lain, yang berdasarkan hak-hak istimewanya atau hipotik, mempunyai suatu hak yang lebih tinggi;
2. Untuk seorang pembeli suatu benda tak bergerak, yang telah memakai uang harga benda tersebut untuk melunasi orang-orang berpiutang kepada siapa benda itu diperikatkan dalam hipotik;
3. Untuk seorang yang bersama-sama dengan orang lain, atau untuk orang-orang lain, diwajibkan membayar suatu utang, berkepentingan untuk melunasi utang itu;
4. Untuk seorang ahli-waris yang sedang menerima suatu warisan dengan hak istimewa guna mengadakan pencatatan tentang keadaan harga peninggalan, telah membayar utang-utang warisan dengan uangnya sendiri.
Dari apa yang telah dibicarakan di atas, dapat kita lihat bahwa jika seorang membayar utang orang lain, maka pada umumnya tidak terjadi subrogasi, artinya: orang yang membayar itu tidak menggantikan kedudukan kreditur. Hanya apabila itu dijanjikan atau ditentukan oleh undang-undang, maka barulah ada penggantian. Bagaimana cara memperjanjikan penggantian atau subrogasi itu, telah dipaparkan di atas, begitu pula dalam hal-hal mana menurut undang-undang akan terjadi penggantian itu telah kita lihat di atas.
b. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan.
Ini, adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran. Cara itu, adalah sebagai berikut: Barang atau uang yang akan dibayarkan itu ditawarkan secara resmi oleh seorang notaris atau seorang jurusita pengadilan. Notaris atau juru-sita ini membuat suatu perincian barang barang atau uang yang akan dibayarkan itu dan pergilah ia ke rumah atau tempat tinggal kreditur, kepada siapa ia memberitahukan bahwa ia atas perintah debitur datang untuk membayar utang debitur tersebut, pembayaran mana akan dilakukan dengan menyerahkan (membayarkan) barang atau uang yang telah diperinci itu. Notaris atau jurusita tadi sudah menyediakan suatu proses-perbal.
Apabila kreditur suka menerima barang atau uang yang ditawarkan itu, maka selesailah perkara pembayaran itu. Apabila kreditur menolak yang biasanya memang sudah dapat diduga, maka notaris/jusuita akan mempersilakan kreditur itu menanda-tangani proses-perbal tersebut dan jika kreditur tidak suka menaruh tanda tangannya, hal itu akan dicatat oleh notaris/jurusita di atas surat prosesverbal tersebut.
Dengan demikian terdapatlah suatu bukti yang resmi bahwa si berpiutang telah menolak pembayaran. Langkah yang berikutnya : Si berutang (debitur) di muka Pengadilan Negeri dengan permohonan kepada pengadilan itu supaya pengadilan mengesahkan penawaran pembayaran yang telah dilakukan itu. Setelah penawaran pembayaran itu disahkan, maka barang atau uang yang akan dibayarkan itu, disimpan atau dititipkan kepada Panitera Pengadilan Negeri dan dengan demikian hapuslah utang piutang itu. Barang atau uang tersebut di atas berada dalam simpanan Kepaniteraan Pengadilan Negeri atas tanggungan (risiko) si berpiutang. Si berutang sudah bebas dari utangnya. Segala biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan penawaran pembayaran tunai dan penyimpanan, harus dipikul oleh si berutang.
c. Pembaharuan utang atau novasi.
Menurut pasal 1413 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ada 3 macam jalan untuk melaksanakan suatu pembaharuan utang atau novasi, yaitu:
1. Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guns orang yang menghutangkannya, yang menggantikan utang yang lama yang dihapuskan karenanya.
2. Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskand dari perikatannya;
3. Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan dari perikatannya.
Novasi yang disebutkan di bawah nomor 1, dinamakan novasi obyektif, karena di situ yang diperbaharui adalah obyeknya perjanjian sedangkan yang disebutkan di bawah nomor 2 dan 3 dinamakan novasi subyektif, karena yang di perbaharui di situ adalah subyek-subyeknya atau orang-orangnya dalam perjanjian. Jika yang diganti debiturnya (nomor 2) maka novasi itu dinamakan subyektif passif, sedangkan apabila yang diganti itu krediturnya (nomor 3), novasi itu dinamakan subyektif aktif.
Suatu novasi obyektif terjadi misalnya, apabila si A yang mempunyai utang kepada si B karena ia telah membeli barang-barang dari si B dan belum membayar harga barang-barang itu, sekarang bermufakat dengan si B untuk menandatangani suatu perjanjian pinjam uang dengan rente 3 persen satu bulan. Utang si A karena jual beli dengan suatu utang karena pinjam uang dengan rente.
Persoalan yang banyak dikemukakan, yaitu apakah penggantian suatu utang biasa dengan suatu utang wesel merupakan suatu novasi atau tidak? Lazimnya dijawab bahwa itu tidak merupakan suatu novasi, karena untuk novasi diperlukan bahwa utang yang baru berlainan sifatnya dari utang yang lama. Dalam hal yang dipersoalkan ini perikatan antara debitur dan kreditur tetap suatu perikatan pinjam uang, baik perikatan itu dilahirkan dari suatu utang biasa maupun dari suatu utang wesel.
Pembaharuan utang atau novasi yang subyektif pada hakekatnya adalah suatu perundingan segi tiga yang menelorkan suatu persetujuan untuk menggantikan kreditur lama dengan seorang kreditur baru atau debitur lama dengan seorang debitur baru.
Seperti waktu kita membicarakan hal subrogasi, juga di sini, dalam hal novasi, timbul pertanyaan tentang bagaimana nasibnya embel-embel atau sangkut paut perjanjian yang diperbaharui itu. Ikut sertakah atau tidak embel-embel itu? Oleh karena pembaharuan utang novasi itu pada hakekatnya merupakan suatu perjanjian baru untuk menggantikan yang lama, maka embel-embel atau sangkut paut perjanjian lama tidak ikut serta, kecuali kalau hal itu secara tegas dipertahankan oleh si berpiutang.
Segala hak istimewa, semua penanggungan, semua hipotik pada asasnya hapus, apabila suatu piutang diperbaharui.
Apabila pembaharuan utang diterbitkan dengan penunjukan seorang debitur baru yang menggantikan debitur lama (novasi subyektif passsif), maka juga hak-hak istimewa dan hipotik-hipotik yang dari semula mengikuti piutang, tidak berpindah atas barang-barang si berutang baru.
Apabila pembaharuan utang terjadi antara si berpiutang dan salah seorang dari beberapa orang yang berutang secara tanggung-menanggung, maka hak-hak istimewa dan hipotik-hipotik tidak dapat dipertahankan selain atas benda-benda orang yang membuat perjanjian baru.
Karena adanya suatu pembaharuan utang antara si berpiutang dan salah seorang dari beberapa orang yang berutang secara tanggung-menanggung, maka orang-orang lainnya yang turut berutang dibebaskan para penanggung utang ("borg").
Setelah kita mengenai subrogasi yang memungkinkan suatu pergantian kreditur, kemudian kita mengenai novasi yang dalam bentuknya yang subyektif aktif juga merupakan suatu pergantian kreditur, sedangkan kita sudah mengenai lembaga "cessie" sebagai suatu cara pemindahan piutang atas nama (pasal 613 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), maka ada baiknya membandingkan tiga macam pergantian kreditur itu satu sama lain agar arti dan maksud masing-masing dapat menonjol secara lebih jelas.
Dalam hal subrogasi, utang itu dibayar oleh kreditur baru, sedangkan dalam hal "cessie", lazimnya piutang itu telah dijual oleh kreditur lama kepada orang yang nanti menjadi kreditur baru. Karena dalam hal yang pertama utang dibayar, maka ia mati atau hapus biarpun hanya satu detik, untuk kemudian hidup lagi, sedangkan dalam hal yang kedua utang-piutang itu tidak hapus satu detik pun, tetapi dalam keseluruhannya dipindahkan kepada kreditur baru.
Karena dalam hal yang pertama tadi utang dibayar dapatlah dimengerti bahwa utang yang besarnya Rp. 1000,— tentunya harus dibayar dengan Rp. 1000,— juga, sedangkan dalam hal yang kedua mungkin sekali piutang yang besarnya Rp, 1000,— dijual untuk harga Rp. 900,—
Subrogasi dapat terjadi dengan perjanjian atau dengan undang-undang, sedangkan jual beli piutang hanya dapat dilakukan dengan perjanjian, dan pemindahannya ("cessie") harus dilakukan dengan mengindahkan suatu cara tertentu yang disebutkan dalam pasal 613 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Novasi, sebagaimana telah telah diterangkan, hakekatnya- merupakan suatu hasil perundingan segi tiga, sedangkan dalam hal subrogasi debitur adakalanya passif dan dalam hal cessie malahan debitur itu selamanya passif. Dia hanya diberitahukan saja tentang adanya pergantian kreditur, sehingga ia harus membayar utangnya kepada orang baru itu.
Mengenai hal embel-embel atau sangkut-paut utang-piutang yang bersangkutan, dapat diterangkan bahwa dalam hal subrogasi dan cassie, embel-embel itu ikut serta, sedangkan dalam novasi embel-embel itu tidak ikut serta.
d. Perjumpaan utang atau kompensasi.
Ini adalah suatu cara penghapusan utang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang secara timbal-balik antara kreditur dan debitur.
Jika dua orang Baling berutang satu pada yang lain, maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan, dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan, demikianlah diterangkan oleh pasal 1424 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal tersebut selanjutnya mengatakan bahwa perjumpaan itu terjadi demi hukum, bahkan dengan tidak setahunya orang-orang yang bersangkutan dan kedua utang itu yang satu menghapuskan yang lain dan sebaliknya pada saat utang-utang itu bersama-sama ada, ber- timbal-balik untuk suatu jumlah yang sama.
Yang menimbulkan pertanyaan adalah perkataan "demi hukum", karena menimbulkan dugaan seolah-olah perjumpaan atau kompensasi itu terjadi secara otomatis, tanpa sesuatu usaha dari pihak yang berkepentingan. Bagaimanakah hakim akan mengetahui adanya utang-piutang itu kalau tidak paling sedikit diberitahukan tentang itu oleh pihak-pihak yang bersangkutan?. Lain dari itu, kita melihat juga di sana-sini dipakainya perkataan yang mengandung suatu aktivitas dari pihak yang berkepentingan, misalnya perkataan "tak lagi diperbolehkan menggunakan suatu perjanjian yang sedianya dapat diajukannya kepada si berpiutang" (pasal 1431); berbagai utang yang dapat diperjumpakan (pasal 1433) dan lain sebagainya. Semua ini mendorong ke arah suatu pengertian bahwa perjumpaan atau kompensasi itu tidak terjadi secara otomatis tetapi harus diajukan atau diminta oleh pihak yang berkepentingan.
Agar dua utang dapat diperjumpakan, perlulah dua utang itu seketika dapat ditetapkan besarnya atau jumlahnya dan seketika dapat ditagih. Kalau yang satu dapat ditagih sekarang tetapi yang lainnya baru satu bulan lagi, teranglah dua utang itu tidak dapat diperjumpakan. Kedua utang itu harus sama-sama mengenai uang atau barang yang dapat dihabiskan, dari jenis dan kwalitet yang sama, misalnya beras kwalitet Cianjur.
Perjumpaan terjadi dengan tidak dibedakan dan sumber apa utangpiutang antara kedua belah pihak itu telah lahir, terkecuali :
1. Apabila dituntutnya pengembalian suatu barang yang secara berlawanan dengan hukum dirampas dari pemiliknya;
2. Apabila dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan;
3. Terdapat sesuatu utang yang bersumber pada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak dapat disita (alimentasi). Demikianlah dapat kita baca dari pasal 1429 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Maksud-nya adalah jelas. Jika kita memperkenankan perjumpaan dalam hal-hal yang disebutkan di atas, itu berarti mengesahkan seorang yang main hakim sendiri atas ketentuan hukum. Dari itu pasal tersebut di atas mengadakan larangan kompensasi dalam hal-hal yang demikian.
e. Percampuran utang.
Apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang berutang (debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran utang dengan mana utang-piutang itu dihapuskan. Misalnya, si debitur dalam suatu testamen ditunjuk sebagai warts tunggal oleh krediturnya, atau si debitur kawin dengan krediturnya dalam suatu persatuan harta kawin. Hapusnya utang piutang dalam hal percampuran ini, adalah betul-betul "demi hukum" dalam arti otomatis.
Percampuran utang yang terjadi pada dirinya si berutang utama berlaku juga untuk keuntungan para penanggung utangnya ("bong"). Sebaliknya percampuran yang terjadi pada seorang penanggung utang ("borg"), tidak sekali-kali mengakibatkan hapusnya utang pokok.
f. Pembebasan utang.
Teranglah, bahwa apabila si berpiutang dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari si berutang dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian, maka perikatan — yaitu hubungan utang-piutang — hapus. Perikatan di sini hapus karena pembebasan. Pembebasan suatu utang tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.
Pengembalian sepucuk tanda piutang asli secara sukarela oleh si berpiutang kepada si berutang, merupakan suatu bukti tentang pembebasan utangnya, bahkan terhadap, orang-orang lain yang turut berutang secara tanggung-menanggung. Pengembalian barang yang diberikan dalam gadai atau sebagai tanggungan tidaklah cukup dijadikan persangkaan tentang dibebaskan utang. Ini sebetulnya tidak perlu diterangkan, sebab perjanjian gadai ("pand") adalah suatu perjanjian "accessoir", artinya suatu buntuk belaka dari perjanjian pokok, yaitu perjanjian pinjam uang.
Pembebasan utang ini sebenarnya juga dapat kita anggap sebagai suatu perjanjian baru di mana si berpiutang dengan sukarela membebaskan debiturnya dari segala kewajibannya. Pembebasan ini perlu diterima baik dahulu oleh debitur, barulah dapat dikatakan bahwa perikatan utang-piutang telah hapus karena pembebasan, sebab ada juga kemungkinan seorang debitur tidak suka dibebaskan dari utangnya.
Pernah juga dipersoalkan, apakah perbedaannya pembebasan utang ini dari suatu pemberian ("schenking")? Jawabnya, pembebasan utang tidak menerbitkan suatu perikatan, justru menghapuskan perikatan, dan dengan suatu pembebasan tidak dapat dipindahkan suatu hak milik, sebaliknya suatu pemberian meletakkan suatu perikatan antara pihak penghibah dan pihak yang menerima hibah dan perikatan itu ber-tujuan memindahkan hak milik atas sesuatu barang dari pihak yang satu kepada pihak yang lainnya.
g. Musnahnya barang yang terutang.
Jika barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang tadi musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Bahkan seandainya debitur itu lalai menyerahkan barang itu (misalnya terlambat), ia pun akan bebas dari perikatan bila ia dapat membuktikan bahwa hapusnya barang itu disebabkan oleh suatu kejadian di luar kekuasannya dan barang tersebut toh juga akan menemui nasib yang sama meskipun sudah berada ditangan kreditur.
Apabila si berutang, dengan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diuraikan di atas, telah dibebaskan dari perikatannya terhadap krediturnya, maka ia diwajibkan menyerahkan kepada kreditur itu segala hak yang mungkin dapat dilakukannya terhadap orang-orang pihak ketiga sebagai pemilik barang yang telah hapus atau hilang itu. Misalnya saja, si berutang berhak menuntut pembayaran uang asuransi dari suatu maskapai asuransi. Ketentuan yang disebutkan ini tentunya hanya berlaku dalam perjanjian di mana risiko mengenai barang itu dipikulkan kepada pihak kreditur, jadi misalnya dalam perjanjian penghibahan dan dalam perjanjian jual beli barang tertentu (ingat pasal 1460 tentang risiko !)
h. Batal/Pembatalan.
Meskipun di sini disebutkan batal dan pembatalan, tetapi yang benar adalah "pembatalan" saja, dan memang kalau kita melihat apa yang diatur oleh pasal 1446 dan selanjutnya dari Kitab Undang-Undang Hukum Per-data, ternyatalah bahwa ketentuan-ketentuan di situ kesemuanya mengenai "pembatalan". Kalau suatu perjanjian batal demi hukum, maka tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, dan barang sesuatu yang tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, dan barang sesuatu yang tidak ada tentu saja tidak bisa hapus.
Yang diatur oleh pasal 1446 dan selanjutnya, adalah pembatalan perjanjian-perjanjian yang dapat dimintakan (vernietigbaar atau voidable) sebagaimana yang sudah kita lihat pada waktu kita membicarakan syarat-syarat untuk suatu perjanjian yang sah (pasal 1320). Di situ sudah kita lihat bahwa perjanjian-perjanjian yang kekurangan syarat Obyektifnya (sepakat atau kecakapan) dapat dimintakan pembatalan oleh orang tua atau wali dari pihak yang tidak cakap itu atau oleh pihak yang memberikan perizinannya secara tidak bebas karena menderita paksaan atau karena khilaf atau ditipu.
Meminta pembatalan perjanjian yang kekurangan syarat subyektifnya itu dapat dilakukan dengan dua cara :
Pertama, secara aktif menuntut pembatalan perjanjian yang demikian di depan hakim.
Kedua, secara pembelaan, yaitu menunggu sampai digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan disitulah baru mengajukan kekurangannya perjanjian itu.
Untuk penuntutan secara aktif sebagaimana disebutkan di atas UndangUndang mengadakan suatu batas waktu 5 tahun, yang mana dapat dibaca dalam pasal 1454 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sedangkan untuk pembatalan sebagai pembelaan tidak diadakan pembatasan waktu itu.
Penuntutan pembatalan akan tidak diterima oleh Hakim, jika temyata sudah ada "penerimaan baik" dari pihak yang dirugikan, karena seorang yang sudah menerima baik suatu kekurangan atau suatu perbuatan yang merugikan baginya, dapat dianggap telah melepaskan haknya untuk meminta pembatalan.
Akhirnya, selain dari apa yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ada pula kekuasaan yang oleh "Ordonansi Woeker" ("Woeker" berarti penghisapan) diberikan kepada Hakim untuk membatalkan perjanjian, jikalau ternyata antara kedua belah pihak telah .diletakkan kewajiban secara timbal-balik, yang satu sama lain jauh tidak seimbang dan ternyata pula, satu pihak telah berbuat secara bodoh, kurang pengalaman atau dalam keadaan terpaksa (Woeker ordonantie, Staatsblad 1938 nomor 524).
i. Berlakunya suatu syarat batal.
Pada waktu membicarakan perikatan bersyarat, telah kita lihat bahwa yang dinamakan perikatan bersyarat itu adalah suatu perikatan yang nasibnya digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan lahirnya perikatan sehingga terjadinya peristiwa tadi, atau secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut.
Dalam hal yang pertama, perikatan dilahirkan hanya apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi. Dalam hal yang kedua suatu perikatan yang sudah dilahirkan justru akan berakhir atau dibatalkan apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi. Perikatan semacam yang terakhir ini dinamakan suatu perikatan dengan suatu syarat batal.
Apabila saya sekarang ini menyewakan rumah saya kepada si A, dengan ketentuan bahwa persewaan itu akan berakhir kalau anak saya yang berada di luar negeri pulang ke tanah air, maka persewaan itu adalah suatu persewaan dengan suatu syarat batal. Persewaan tersebut akan berahkir secara otomatis kalau anak saya pulang ke tanah air.
Dalam Hukum Perjanjian pada asasnya suatu syarat batal selamanya berlaku surut hingga saat lahimya perjanjian. Syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak pemah terjadi perjanjian, demikianlah pasal 1265 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dengan begitu, syarat batal itu mewajibkan si berutang untuk mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan itu terjadi.
Bagaimana berlaku surutnya pembatalan itu menimbulkan kesulitan dalam perjanjian sewa-menyewa, telah dikemukakan di waktu kita mem-bicarakan pembatalan perjanjian karena wanprestasi. Di situ sudah saya kemukakan bahwa sebenarnya soalnya mudah saja. Berlaku surutnya pembatalan itu hanyalah suatu pedoman yang harus dilaksanakan jika itu mungkin dilaksanakan. Dalam hal suatu perjanjian jual beli atau tukar-menukar barang (hak milik) dapat dengan mudah dikembalikan kepada pemilik ash. Tetapi dalam hal sewa-menyewa bagaimana si penyewa dapat mengembalikan "kenikmatan" yang sudah diperoleh dari barang yang disewa? Dan karena kenikmatan itu tidak mungkin dikembalikan, tentu saja pemilik barang yang telah disewa dapat tetap memiliki uang sews yang diterimanya.
j. Lewat waktu.
Menurut pasal 1946 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang dinamakan daluwarsa atau lewat waktu ialah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Daluwarsa untuk memperoleh hak milik atas suatu barang dinamakan daluwarsa "acquisitif", sedangkan daluwarsa untuk dibebaskan dari suatu perikatan (atau suatu tuntutan) dinamakan daluwarsa "extinctif". Daluwarsa yang pertama sebaiknya dibicarakan dalam hubungan dengan Hukum Benda. Daluwarsa kedua dapat sekedarnya dibicarakan di sini, meskipun masalah daluwarsa itu merupakan suatu masalah yang memerlukan pembicaraan tersendiri. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, masalah daluwarsa itu diatur dalam Buku ke IV bersama-sama dengan soal pembuktian.
Menurut pasal 1967, maka segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, sedangkan siapa yang menunjukkan adanya daluwarsa itu tidak usah mempertunjukkan suatu atas hak, lagi pula tak dapatlah diajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan kepada itikadnya yang buruk.
Dengan lewatnya waktu tersebut di atas, hapuslah setiap perikatan hukum dan tinggallah suatu "perikatan bebas" ("natuurlijke verbintenis"), artinya kalau dibayar boleh tetapi tidak dapat dituntut di depan hakim. Debitur jika ditagih utangnya atau dituntut di depan pengadilan dapat mengajukan tangkisan (eksepsi) tentang kedaluwarsanya piutang dan dengan demikian mengelak atau menangkis setiap tuntutan.
Sumber : http://mkn-unsri.blogspot.com/2010/11/cara-cara-hapusnya-suatu-perikatan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar