PENDAHULUAN
Setelah kebijakan perbankan April 1999 Indonesia memiliki sekitar 170 bank komersial. Dibandingkan dengan keadaan sebelum krisis hal ini berati bahwa sampai kebijaksanaan terakhir tersebut telah lebih dari 60 bank dicabut ijin usahanya atau ditutup menurut istilah yang, meskipun kurang tepat secara hukum, lebih menggambarkan kenyataan yang terjadi di masyarakat.
Dari penutupan bank-bank ini yang nampaknya kontroversial dan banyak dibahas dimasyarakat, baik di dalam maupun luar negeri adalah mengenai penutupan 16 bank pada permulaan Nopember 1997. Krisis yang perkepanjangan, sangat dalam serta luas dampaknya sering sekali dikaitkan dengan penutupan bank yang minimal dianggap kurang tepat dilaksanakan ini.
Penutupan bank sejak dilaksanakannya kebijaksanaan liberalisasi perijinan pembukaan bank melalui Pakto 1988 merupakan suatu yang mendekati tabu. Sejak waktu itu penutupan bank baru terjadi pada kasus Bank Summa tahun 1992. Kemudian setelah Indonesia mengalami krisis dilaksanakan kebijakan menutup 16 pada permulaan Nopember 1997 yang menjadi kontroversial. Akan tetapi, anehnya setelah itu dilakukan beberapa kali pencabutan ijin usaha, termasuk pembekuan oprasi bank-bank yang meliputi lebih dari 50 buah yang tidak menimbulkan kejutan ataupun kontroversi lagi. Seolah-olah masyarakat telah menerima atau terbiasa dengan kebijakan pencabutan ijin usaha bank.
Memang dari pelaksanaan program stabilisasi dan pemulihan ekonomi nasional dengan dukungan IMF dengan 'stand-by arrangement' sejak Nopember 1997, yang nampaknya paling kontroversial adalah mengenai penutupan 16 bank yang tidak solvent sebagai bagian dari restrukturisasi perbankan1. Berkaitan dengan peran IMF dalam penanggulangan masalah krisis Asia, mungkin kritik terhadap kebijakan ini lebih mengemuka dibanding dengan kritik klasik mengenai pengetatan likuiditas dengan suku bunga sangat tinggi dalam kebijakan stabilisasi dalam suatu prekonomian yang memperoleh bantuan IMF. Pengetatan likuiditas ini selalu mewarnai kebijakan yang berkaitan dengan obat pahit IMF dalam membantu perekonomian yang menghadapi masalah moneter karena ketidak seimbangan fiskal atau neraca pembayaran.
Tulisan ini secara singkat membahas latar belakang permasalahan penutupan bank Nopember 1997serta proses pengambilan kebijaksanaan dan implikasi serta kebijakan yang mengikutinya. Tulisan singkat ini diharapkan dapat menambah kejelasan masalah dan dalam beberapa hal meluuruskan pengertian mengenai berbagai hal yang beredar di masyarakat yang kurang sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Ini mudah-mudahaan dapat melengkapi pencatatan sejarah mengenai apa yang terjadi waktu itu, suatu periode pelaksanaan kebijakan ekonomi yang kadang-kadang membingungkan dan mungkin kontroversial. Yang jelas krisis itu sendiri telah menimbulkan dampak yang sangat besar di masyarakat. Karena itu upaya untuk memperjelas permasalahan menjadi penting agar kita dapat belajar dari apa yang terjjadi; tidak mengulangi kebijakan yang ternyata tidak tepat dan lebih menyempurnakan kebijakan yang telah menunjukkan hasil baiknya.
PERMASALAHAN YANG MENCUAT
Kritik yang banyak dilancarkan terhadap tindakan mencabut ijin usaha atau menutup 16 bank menyangkut hal - hal sebagai berikut:
- Mereka yang mengatakan bahwa penutupan ini gagal karena Indonesia belum memiliki program asuransi deposito sehingga terjadi penarikan dana perbankan besar-besaran secara bersamaan setelah itu
- Mereka yang melancarkan kritik dengan alasan bahwa bank yang lemah masih lebih banyak lagi dari itu, jadi masalahnya adalah bahwa bank yang ditutup seharusnya lebih banyak lagi.
- Mereka yang melancarkan kritik dengan alasan yang bersifat individual, memprotes tindakan penutupan bank mereka dengan alasan adanya bank-bank lebih buruk kondisi kesehatannya yang justru tidak dicabut ijin usahanya.
- Mereka yang mengatakan bahwa penutupan ini dilatar belakangi oleh motivasi yang bersifat politis untuk menjatuhkan bank-bank milik pengusaha tertentu atau sebagai upaya untuk mencermarkan keluarga Presiden Suharto.
Bukan karena tidak adanya asuransi deposito
Memang sebenarnya sangat ironis bahwa penutupan bank tidak solvent, yang dimaksudkan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap rupiah dan perbankan yang merosot sejak terjadinya krisis ini akhirnya justru menimbulkan dampak sebaliknya, yaitu menghilangkan kepercayaan tersebut. Bahwa kepercayaan masyarakat terhadap perbankan justru hilang setelah tindakan penutupan bank-bank pada permulaan Nopember 1997 memang sudah menjadi kenyataan yang tidak bisa dibantah. Akan tetapi, apakah tepat untuk mengatakan bahwa penutupan bank ini gagal mencapai sasaran yang diinginkan karena Indonesia pada waktu itu belum memiliki suatu skim asuransi deposito? Argumen ini banyak dikemukakan di masyarakat, baik dalam tulisan maupun pembahasan, termasuk oleh pakar sekaliber Professor Sachs dari Universitas Harvard dalam tulisannya mengenai krisis di Indonesia.
Saya tidak sependapat dengan argumen tersebut. Mengapa demikian? Karena sepanjang yang bisa saya amati program asuransi deposito pada umumnya hanya memberikan pertanggungan atau garansi secara terbatas, seperti kepada pemilik deposito sampai jumlah tertentu saja. Di Amerika Serikat misalnya, Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) hanya memberi pertanggungan pada deposan maksimal sebesar USD 200 ribu. Artinya kalau terjadi penutupan bank, maka deposan akan menerima kembali uang mereka dari lembaga ini hanya sampai maksimal sebesar 200 ribu dollar. Untuk deposan yang menitipkan deposito lebih besar dari jumlah ini, pengembaliannya disesuaikan dengan penyelesaian hak dan kewajiban bank yang ditutup tersebut.
Bagaimana dengan langkah yang ditempuh Indonesia berkaitan dengan penutupan bank bulan Nopember 1997? Dalam hubungan ini Pemerintah dalam Sidang Kabinet pada tanggal 3 September 1997 memutuskan bahwa terhadap bank-bank tidak sehat yang tidak dapat diselamatkan lagi melalui proses merger atau yang lain, akan dilakukan pencabutan ijin usaha mereka dengan sejauh mungkin memperhatikan kepentingan deposan, terutama deposan kecil. Dengan memperhatikan apa yang pernah dilakukan pada waktu penutupan Bank Summa tahun 1992, maka Pemerintah memutuskan untuk menjamin pengembalian dana deposan dan penabung sampai dengan jumlah 20 juta rupiah. Pembiayaan untuk pengembalian dana deposan kecil ini diambil dari dana talangan Bank Indonesia2.
Dalam pelaksanaannya BI mempersiapkan team yang menanganinya secara sangat bagus, sehingga pembayaran kepada pemilik dana yang dijamin seluruhnya ini berjalan sangat baik, tanpa ada peristiwa yang bisa digambarkan sebagai kekacauan. Ini berbeda dengan suasana pada waktu dilakukan penutupan bank-bank pada waktu depresi tahun tiga puluhan menurut gambaran yang diberikan para ahli mengenai peristiwa tragis waktu itu. Mungkin tidak banyak diketahui bahwa operasi ini menyangkut lebih dari 400 kantor bank-bank yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia. Operasi ini harus melayani pengembalian dana kepada pemilik dana yang seluruhnya berjumlah lebih dari 800 ribu rekening. Ini merupakan suatu operasi nasional yang sangat rapi dilaksanakan BI dengan bantuan masyarakat perbankan dan aparat keamanan.
Dari pelaksanaan langkah-langkah tersebut bisa dikatakan bahwa dalam penutupan bank permulaan Nopember 1997 tersebut pemilik deposan kecil memperoleh kembali dana mereka. Bukankah deposan kecil ini yang dijamin oleh kebanyakan asuransi deposito? Bukankah ini yang dilaksanakan oleh BI pada periode satu minggu dimulai tanggal 13 Nopember 1997? Bukankah ini berarti bahwa janji Pemerintah kepada deposan, seperti diumumkan pada 3 September 1997, melalui kerja keras pegawai BI dengan bantuan Perbanas dan banyak pihak itu dilaksanakan dengan baik sehingga tidak ada protes dari deposan kecil ini secara berarti?
Jadi seandainya telah ada asuransi deposito waktu itu yang dijamin juga mereka ini. Apakah seandainya skim jaminan deposito telah ada waktu itu akan menghalangi bank run yang terjadi? Saya tidak yakin. Kenyataannya adalah bahwa pembagian dana milik deposan kecil ini berjalan sangat tertib, tidak ada panik dari mereka ini yang dapat diketakan sebagai penyebab timbulnya bank run menurut gambaran krisis perbankan dari tiadanya skim asuransi deposito. Dari pengalaman tersebut saya sulit menerima argumen yang mengatakan bahwa kegagalan penutupan bank waktu itu adalah karena belum adanya program asuransi deposito. Kenyataan bahwa Indonesia belum memiliki skim suransi deposito perbankan waktu itu dan adanya bank run setelah terjadinya penutupan 16 bank, keduanya saya terima akan tetapi menurut pendapat saya keduanya tidak membuktikan adanya hubungan sebab-akibat. Argumen yang menunjukkan bank run disebabkan oleh tidak adanya asuransi deposito menurut saya terlalu berpijak pada buku teks.
Kalau begitu mengapa terjadi bank run pada banyak bank setelah dilakukan penutupan 16 bank? Dari pengamatan terhadap apa yang terjadi waktu itu saya melihat bahwa ketidak percayaan masyarakat terhadap perbankan yang akhirnya melumpuhkan perbankan bukan dari deposan kecil yang jumlahnya besar ini melainkan dari pemilik dana jumlah besar yang meskipun tidak banyak akan tetapi nilai dana mereka sangat besar. Tindakan para pemilik dana besar inilah yang sebenarnya menguras dana perbankan. Mereka ini dalam program asuransi deposito di manapun juga tidak dijamin3. Karena itu saya tidak yakin bahwa seandainya Indonesia telah menerapkan program asuransi deposito waktu itu, penutupan bank bulan Nopember 1997 tentu tidak menimbulkan kepanikan yang menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap perbankan.
Tetapi mungkin orang akan bertanya, kalau begitu apakah saya yakin bahwa penutupan 16 bank itu jelas akan menyebabkan dampak seperti yang terjadi, hilangnya kepercayaan terhadap perbankan? Kalau ya, mengepa rencana penutupan tetap saya dukung dan kemudian jalankan? Saya memang percaya bahwa bank yang tidak solvent itu harus ditutup. Tetapi memang tidak bisa mengetahui sebelumnya bahwa tindkan ini akan menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap perbankan.
Perlu disadari bahwa hilangnya kepercayaan masyarakat yang diikuti dengan rasa panik dan tindakan menarik dana dari bank-bank yang dianggap lemah dan beresiko tinggi untuk diselamatkan ke bank-bank yang dianggap lebih aman (flights to safety) itu berasal dari berbagai pihak. Hilangnya kepercayaan datang dari deposan atau penabung, dan dari sesama bank sendiri, semula antar bank di dalam negeri kemudian antara bank-bank nasional dengan bank-bank relasi mereka di luar ngeri. Dunia usaha juga tidak mempercayai bank sehingga perdagangan pada waktu krisis banyak yang hanya terjadi kalau pembayarannya dilakukan secara tunai, tidak menggunakan jasa perbankan.
Hilangnya kepercayaan antara satu bank dengan yang lain telah menyebabkan jalannya pasar uang antar bank menjadi terganggu, karena ketidak percayaan antar bank setelah adanya keketatan likuiditas. Dalam pasar uang antar bank terjadi pengelompokan, dimana sebagian bank dianggap relatif aman, seperti bank-bank Pemerintah dan bank asing serta campuran serta beberapa bank swasta besar. Bank-bank kelas menengah dianggap kurang aman, apalagi bank-bank kecil, mereka dianggap tidak dapat memberi jaminan keamanan nasabah ataupun antar bank4.
Keadaan di atas juga menjelaskan mengapa bank-bank Pemerintah tidak banyak menerima bantuan likuiditas BI atau BLBI selama krisis, kecuali Bapindo dan Bank Exim. Bank-bank Pemerintah dianggap aman oleh pemilik dana, maka dari itu mereka tidak kehilangan dana nasabah, bahkan sebaliknya banyak dana nasabah dipindahkan dari bank-bank swasta ke bank-bank Pemerintah. Karena tidak menderita erosi deposito dan tabungan, mereka tidak menghadapi masalah kekurangan likuiditas. Karena itu tidak memerlukan BLBI, berbeda dengan banyak bank-bank swasta waktu itu. Tetapi hal ini tidak disebabkan oleh kondisi bank-bank BUMN ini yang lebih sehat dari bank-bank swasta. Persepsi memang lebih menentukan dari substansi. Ini yang 'menyelamatkan' bank-bank Pemerintah dari memiliki saldo negatif dengan BI. Karena itu tidak memerlukan BLBI.
Mungkin perkembangan akan berbeda sekiranya dari permulaan diberikan suatu garansi yang menyeluruh (blanket guarantee), seperti yang diterapkan pada akhir Januari 1998. Mengapa program ini tidak dilaksanakan sebelum atau bersamaan dengan penutupan bank bulan Nopember 1997 dilakukan? Apakah ini suatu kesalahan? Setelah semua berlalu mungkin kita bisa mengatakan demikian.
Mengenai hal ini kiranya perlu diungkapkan di sini untuk keperluaan pencatatan peristiwa yang sebenarnya terjadi waktu itu. Dalam pembahasan dengan team IMF untuk memperoleh bantuan 'stand-by arrangement', pada waktu mempersiapkan segala sesuatunya untuk mencabut ijin usaha bank yang insolvent, pihak IMF tidak pernah menyinggung sama sekali mengenai pemberian 'blanket guarantee' tersebut. Seingat saya pihak IMF justru secara spesifik menyebutkan perlunya memberi jaminan pada deposan kecil saja. Mengenai hal ini dari semula memang telah dipikirkan berdasarkan pengalaman penutupan Bank Summa. Dengan demikian pihak IMF juga belum memikir mengenai 'blanket guarantee' pada waktu pertama dilakukan perundingan bulan Oktober 1997 untuk mempersiapkan 'letter of intent' pertama. Blanket guarantee baru muncul setelah dampak penutupan 16 bank ternyata sebaliknya dari yang diharapkan. Kecuali kalau IMF menyembunyikannya dari team ekonomi Indonesia. Saya yakin tidak demikian. Ini semua diunglkapkan bukan untuk mengalihkan kesalahan, tetapi untuk membuat catatan mengenai apa yang terjadi waktu itu
Saya juga ingin menunjukan di sini bahwa pada waktu pembahasan mengenai 'blanket guarantee' dilakukan sebagai kelanjutan dari program yang disepakati dalam 'letter of intent' kedua, pertengahan Januari 1998, saya dan saya kira juga rekan-rekan team ekonomi telah mengajukan keberatan, apalagi dengan penjaminan atas pinjaman perbankan. Sebagaimana kemudian kita melihat, program pemberian garansi secara menyeluruh ini akhirnya diterapkan pada akhir Januari 1998 untuk waktu dua tahun. Akan tetapi perlu pula diketahui bahwa skim ini diterapkan oleh semua negara-negara yang meminta bantuan IMF di Asia (Thailand, Indonesia dan Korea serta Philipina). Bahkan Malaysia yang tidak meminta bantuan juga menerapkannya.
Bagaimana seandainya jaminan menyeluruh ini diterapkan sebelumnya? Ini mungkin memang akan menolong. Akan tetapi kalau ini diberlakukan dimuka, bank-bank akan lebih lagi bertindak dengan kurang memperhatikan resiko. Saya kira kalau ini dilakukan maka jelas akan menimbulkan apa yang dikenal sebagai 'moral hazard', perbankan akan lebih kurang berhati-hati di dalam operasi mereka.. Tanpa ada jaminan saja perbankan dan dunai usaha kebanyakan berperilaku seolah-olah ada jaminan ini. Seperti kebanyakan masalah moneter, sifatnya dilematis. Setelah semua terjadi mungkin kita akan cenderung mengatakan sebenarnya harus demikian. Padahal kalau dari semula telah diterapkan hal ini jelas menimbulkan masalah moral hazard. Semua alternatif memang ada implikasinya, dan kita tidak dapat dengan yakin mengatakan sekiranya semula dilakukan A atau B maka hasilnya pasti lebih baik, atau sebaliknya.
Sebenarnya setelah semua ini terjadi sekarang kita bisa mengatakan bahwa yang dilakukan akhir Januari dengan memberikan jaminan menyeluruh itu adalah suatu tindakan yang didorong keadaan yang luar biasa, yaitu hilangnya kepercayaan kepada perbankan dalam suatu krisis yang dahsyat, baik dari nasabah maupun sesama bank. Kebijakan ini merupakan tindakan penyelamatan terhadap sistim perbankan yang terancam hancur sama sekali dengan penarikan dana dalam perbankan secara bersama-sama, dengan terhentinya pasar uang antar bank dan dengan dihentikannya semua fasilitas dari bank-bank di luar negeri kepada perbankan nasional, seperti pinjaman untuk pembiayaan perdagangan (trade financing) maupun apa yang dikenal sebagai money line.
Dalam keadaan normal fasilitas antar bank tersebut di atas merupakan suatu kebiasaan yang selalu dilakukan dalam dunia perbankan. Akan tetapi memang suatu yang mengejutkan bahwa pada waktu kepercayaan hilang, fasilitas ini juga langsung hilang. Tidak hanya itu, bank-bank koresponden selsain menghentikan fasilitas ini juga meminta semua yang masih terhutang dilunasi. Ini semua merupakan tambahan beban pada perbankan yang sudah sangat berat karena kurs rupiah yang terus terpuruk sedangkan pengembalian pinjaman tersendat-sendat karena sektor riil yang tertekan pula. Dalam keadaan normal, tidak masuk akal ada otorita yang bersedia menerapkan suatu blanket guarantee. Ini perlu diingat dalam membahas fasilitas BLBI kepada perbankan yang menjadi menumpuk sangat besar, terjadinya adalah karena keadaan yang tidak normal, krisis hilangnya kepercayaan terhadap perbankan.
Perlu pula dicatat di sini bahwa dalam proses ini kebanyakan pelaku ekonomi lebih mendasarkan keputusannya pada persepsi yang tidak selalu sama dengan substansi atau kenyataan sebenarnya. Dalam beberapa hal substansinya lebih buruk dari persepsi yang dipegang pelaku ekonomi atau sebaliknya. Misalnya dalam proses penyelamatan dana, pemilik dana memindahkan dananya dari bank yang dianggap kurang memberikan jaminan ke yang dianggap lebih bisa memberikan jaminan, dari instrumen yang dianggap kurang dapat memberikan keamanan kepada yang dianggap lebih aman. Apakah perkiraan atau anggapan ini benar, belum tentu. Misanya kenyataan bahwa akhirnya semua bank dijamin setelah adanya 'blanket guarantee', kan sebenarnya perkiraan bahwa bank yang satu lebih aman dari yang lain tidak benar. Demikian pula bahwa menyimpan dana pada bank-bank Pemerintah dianggap lebih aman dari swasta, basisnya bukan dari kondisi kesehatannya yang lebih baik seperti jelas nampak setelah pengumuman BI April 1999 yang menunjukkan bahwa kondisi bank-bank pemerintah ternyata semuanya tidak sehat.
Kontroversi tentang jumlah bank bermasalah
Mengenai jumlah bank yang bermasalah lebih dari ke enambelas yang ditutup memang benar. Jumlah bank yang termasuk kategori kurang atau tidak sehat memang cukup banyak. Akan tetapi tidak benar bahwa ada bank-bank yang kondisinya lebih buruk dari yang ditutup tetapi tidak ditutup. Mengenai berapa jumlah bank tidak dan kurang sehat ini, karena ketentuan yang berlaku tentang rahasia bank serta peraturan mengenai disclosure yang belum baik, memang menjadi permasalahan yang pelik. Sebagai implikasi dari informasi mengenai kondisi kesehatan bank yang tidak diumumkan, masyarakat memang merasakan adanya ketidak pastian yang membingungkan.
Transparansi yang belum baik waktu itu telah mendorong banyaknya inisiatif dari berbagai pihak untuk membuat analisis mengenai kesehatan bank dengan nama-nama lengkap dan mengumumkannya melalui berbagai media5. Maksud baik ini dalam pelaksanaanya juga memnimbulkan implikasi tambah bingungnya masyarakat. Masih ditambah lagi dengan berbagai rumor yang banyak beredar dimasyarakat seperti disinggung di atas, ketidak pastian menjadi lebih besar lagi. Dalam ketidak pastian ini tindakan yang dilakukan adalah menyelamatkan dana mereka, sehingga pada periode ini banyak sekali oarang yang mengeluarkan deposito dan tabungan mereka dari bank untuk dipindahkan ke tempat yang menurut persepsi mereka lebih aman; atau disimpan di rumah atau dipindahkan ke bank yang yang dianggap lebih aman (flights to safety).
Mungkin perlu diingat pula bahwa penyelesaian bank bermasalah ini, semula dilakukan atas dasar kasus demi kasus. Setelah jumlah bank bermasalah meningkat dan karena pendekatan kasus per kasus ini mengundang berbagai kritik terhadap BI, maka kebijakan yang bersifat kasus per kasus diganti dengan yang lebih bersifat sistemik. Semula saya sendiri terus menerus cerewet mengenai perlunya dilakukan merger atau proses akuisisi untuk bank-bank yang bermasalah. Akan tetapi jalannya sangat seret, sedangkan bank yang sudah mempunyai tanda-tanda bermasalah semakin lama ditunggu masalahnya biasanya menjajdi semakin besar, bukan sebaliknya. Semula BI menjadi perantara bagi pemodal yang bersedia melakukan tindakan restrukturisasi dan penyelamatan bank. Tetapi dengan bertambahnya bank yang bermasalah ini bukan jalan yang efektif. Bahkan dalam alam yang transparansinya kurang hal ini menimbulkan berbagai pernilaian yang negatif, tanpa dipersoalkan benar tidaknya pernilaian tersebut.
Pendekatan yang lebih sistemik terhadap bank bermasalah kemudian menghasilkan gambaran dari kelseuruhan permasalahannya. Bank-bank yang bermasalah diklasifikasikan kedalam kelompok mana yang bisa diselamatkan, mana yang tidak. untuk dibedakan dengan yang tidak bermasalah. Untuk yang bisa diselamatkan dilakukan pendekatan dengan para pemodal yang berminat melakukan restrukturisasi . Dalam hubungan ini saya pernah mengajukan usulan kepada Presiden untuk menutup sejumlah bank pada akhir tahun 1996 dan terakhir sekitar bulan Maret 1997. Ironisnya, Presiden sebenarnya pernah menyetujui penutupan sejumlah bank yang akhirnya merupakan sebagian dari ke 16 bank yang ditutup bulan Nopember 1997. Akan tetapi petunjuknya adalah agar pelaksanaannya dilakukan setelah Pemilu bulan Mei 1997. Sebelum hal ini diajukan lagi pada bulan July 1997 krisis mulai melanda perekonomian nasional.
Salah satu implikasi dari studi ini adalah bahwa nampaknya sebagian dari laporan atau kertas kerja ini ada yang bocor ke luar sehingga sejak tahun 1997 rumor mengenai jumlah bank yang tidak sehat atau yang bermasalah ini mulai beredar yang menimbulkan ketidak pastian di masyarakat.
Dalam pada itu persepsi di masayarakat kita tentang patokan sehat tidaknya bank yang terkait dengan keputusan ditutup tidaknya bank bermasalah adalah mengenai pelanggaran ketentuan batas maksimum pemberian kredit bank kepada kelompoknya atau BMPK, masalah kalah kliring dan besarnya kridit macet. Bagaimana kriteria yang sebenarnya, bagaimana dilakukan penyelesaian terhadap bank bermasalah memang tidak pernah diumumkan secara luas. Secara terbatas hal ini sebenarnya terungkap dalam pembicaraan antara BI dengan kalangan perbankan maupun di dalam dengar pendapat Gubernur BI dengan Komisi DPR yang menangani permasalahan keuangan dan perbankan. Karena belum kuatnya dorongan untuk transparansi waktu itu maka informasi yang tidak tuntas ini justru menyuburkan beredarnya pemberitaan yang tidak benar atau tidak akurat yang kemudian tambah membingunkan masyarakat.
Memang benar bahwa biasanya masalah kredit macet, pelanggaran BMPK, juga kalah kliring yang terus menerus, merupakan hal-hal yang melekat pada bank bermasalah. Yang satu terkait dengan yang lain terutama pada bank yang tidak sehat dan modal atau netwothnya telah menjadi negatif dan tidak ada pemodal yang bersedia mengambil alih bank ini untuk dilakukan restrukturisasi. Akan tetapi secara sendiri-sendiri hal-hal ini tidak dapat digunakan sebagai patokan tentang pencabutan ijin usaha bank. Demikian pula secara sendiri - sendiri sukar dijadikan patokan untuk mengatakan satu bank lebih sehat atau lebih tidak sehat dari yang lain.
Karena itu membandingkan bahwa bank A belum pernah mengalami kalah kliring tetapi ditutup sedangkan bank B pernah kalah kliring tetapi tidak ditutup pada dasarnya tidak relevan. Prosesnya adalah bahwa pada waktu dilakukan penghitungan seluruh assets dan liabilitiesnya, bagaimana posisi suatu bank setelah diperhitungkan modalnya. Kalau ditemukan networthnya negatif, maka bank ini tidak solven. Dalam suatu program restrukturisasi bank semacam ini ditutup, kecuali ada pemilik modal yang bersedia menyelamatkannya dengan memasok modal baru sehingga menghilangkan networth yang negatif tadi.
Patokan utama penentuan penutupan suatu bank adalah sonven tidaknya suatu bank. Memang bank-bank yang mengalami masalah tidak solven biasanya terkait dengan berbagai macam masalah dan pelanggaran ketentuan kehati-hatian. Akan tetapi penutupannya tidak berdasarkan atas pelanggaran BMPK atau kalah kliring atau alasan lain lagi, melainkan kalau net worthnya sudah menjadi negatif. Kalau modal atau lebih tepat networth bank sudah negatif, maka bank tersebut tidak akan mampu membayar kewajiban-kewajibannya. Ini arti tidak solvennya suatu bank.. Setelah itu kalau dilihat lebih lanjut memang biasanya terungkap apa saja yang menyebabkan bahwa modal bank ini menjadi negatif. Biasanya faktor utamanya adalah besarnya kredit macet dan ini mungkin menyangkut kredit kepada grupnya, mungkin juga tidak. Sebenarnya hal-hal ini dijelaskan pada waktu penutupan, akan tetapi sebagaimana dalam berbagai hal lain penjelasan ini tidak terlalu diperhatikan atau tidak dipercaya oleh masyarakat karena kredibilitas aparat pemerintah yang pada waktu itu telah menurun drastis, mendekati hilang sama sekali6.
Alasan masing-masing bank secara individual
Dalam hal suatu bank merasa lebih baik dari yang lain memang susah untuk dijelaskan karena ini lebih menyangkut emosi dari pada keadaan objektif. Perasaan ini ditambah lagi dengan kekurang percayaan kepada aparat Pemerintah, sehingga apapun yang dilakukan Pemerintah tidak akan diterima oleh mereka ini. Inipun tentu dengan alasan yang masuk akal, mengapa kredibilitas Pemerintah menurun bahkan menghilang.
Sebagaimana digambarkan di atas, pernilaian mereka yang mengatakan bank A lebih baik dari bank B harus dalam arti setelah semua perhitungan dari seluruh assets dan liabilitiesnya dilakukan. Akan tetapi sulit untuk membandingkan kondisi kesehatan satu bank dengan bank lain, hanya dengan membandingkan masing-masing butir masalah, meskipun semua ini merupakan butir-butir penentu tingkat kesehatan atau kondisi bank. Ini berlaku apakah digunakan perbandingan pelanggaran yang dilakukan mengenai BMPK atau besarnya kredit macet atau kondisi kalah kliring, atau butir yang lain yang mempengaruhi kondisi kesehatan bank.
Yang paling pokok dalam penentuan penutupan suatu bank, sebagaimana disinggung di atas adalah kalau modalnya dalam arti netwoth sudah menjadi negatif. Terjadinya keadaan ini memang bisa disebabkan oleh portfolio assetnya, misalnya kreditnya banyak yang macet. Dalam ketentuan kredit yang macet harus dihadapi dengan penyisihan cadangan oleh bank tersebut. Penyisihan cadangan ini dapat mengurangi modal bank kalau sumbernya diambil dari pengurangan modal. Waktu dilihat lebih lanjut, mungkin saja kemacetan ini disebabkan oleh kredit yang diberikan kepada kelompoknya sendiri yang telah melanggar ketentuan BMPK. Karena kreditnya kepada kelompoknya sendiri, maka pengawasannya tidak ketat, karena itu menjadi macet, dan karena macet harus disediakan penyisihan cadangan. Jadi memang semuanya ini bisa berkaitan. Akan tetapi untuk membandingkan masing-masing pelanggaran ketentuan ini dengan keputusan penutupan bank memang tidak tepat.
Sebenarnya sedih juga bahwa sebagian dari pemilik bank tidak mengerti ketentuan-ketentuan ini. Bahkan pemilik bank yang memiliki banyak perusahaan lain mungkin lupa bahwa dia memiliki bank, dan baru mempelajari kondisi banknya karena banknya dicabut ijin usahanya. Yang nampaknya juga menarik adalah bahwa protes ini pada waktu penutupan 16 bank hanya datang dari dua buah bank yang melakukan penuntutan pada PTUN Menteri Keuangan dan Gubernur BI. Salah satu bank terebut waktu itu menggunakan argumen bahwa meskipun ada pelanggaran BMPK, akan tetapi pembiayaan tersebut adalah untuk proyek nasional. Ini jelas argumentasi yang membingungkan. Alasan penutupannya memang tidak karena pelanggaran BMPK per se, akan tetapi mengenai pelanggarannya ya tetap saja melanggar ketentuan. Akan tetapi masalah pelanggaran BMPK ini merupakan permasalahan tersendiri yang mengandung berbagai salah pengertian di masyarakat dan karena itu perlu diluruskan.
Tidak ada konspirasi
Mengenai isu adanya konspirasi dalam penutupan bank memang agak aneh. Isu ini dilancarkan melalui berbagi selebaran dan tulisan yang beredar di internet pada pertengahan bulan Nopember 1997, bahwa latar belakang penutupan bank ini adalah adanya suatu konspirasi untuk maksud politis; menutup bank-bank tertentu untuk mencemarkan nama keluarga Cendana atau untuk menyisihkan bank-bank milik pengusaha pribumi.
Hal ini memang agak terlalu jauh rupanya. Secara umum saya dapat mengemukakan bahwa mungkin dalam masyarakat yang transparansinya masih kurang, governance yang lemah pada sektor pemerintah maupun swasta, maka banyak pendapat atau pandangan yang dikemukakan di masyarakat hanya didasarkan atas prakonsepsi. Dalam keadaan demikian kecenderungan untuk analisis yang disesuaikan dengan selera yang membuat analisis menjadi meluas.
Saya melihat kecenderungan ini sebagai pencerminan dari perilaku yang mendasarkan pada 'tribalism'. Dalam sudut pandang demikian pendapat itu sangat ditentukan oleh sifat hubungan, apakah dalam satu kelompok yang sama atau tidak. Untuk mereka yang ada dalam kelompoknya semua dianggap baik atau benar, tidak mungkin salah. Kalau salahpun yang bersangkutan dapat dimaklumi, bahkan ikut menutupinya. Sebaliknya mereka yang diluar kelompok akan dipandang sebagai 'sub-human' bahkan mungkin 'non-human' atau 'musuh'. Karena itu mereka tidak mungkin benar, selalu salah dan kalau benarpun tidak akan diakuinya. Mereka yang bukan teman (diluar kelompok) 'boleh' diperlakukan apa saja, dari dicurigai sampai dilanggar hak asasinya7. Kelompok itu dapat berarti keluarga, suku, agama, daerah, profesi, kantor, dst.
Adalah aneh untuk mengatakan bahwa yang ditolong pada waktu terjadi 'run' atau yang tidak ditutup hanya bank milik non-pribumi dan bank-bank yang ditutup adalah ban-bank pribumi. Ini adalah tuduhan yang jelas mengada-ada. Atau hal ini diungkapkan dengan menggunakan konsep kepemilikan bank yang keliru. Seperti sebenarnya kurang tepat bagi seorang pemilik bank yang kepemilikannya hanya sebagian kecil atau pemilik minoritas tetapi mengatakan bahwa ban k tersebut adalah miliknya. Meskipun setiap pimilik saham ini memang secara hukum resmi pemilik, akan tetapi kurang tepat bagi pemilik minoritas, karena ada pemilik lain yang mayoritas, untuk mengatakan bahwa bank tersebut miliknya. Dalam hal Bank Andromeda sebenarnya lebih tepat kalau bank tersebut dikatakan sebagai milik pengusaha Prayogo Pangestu dan Henry Pribadi daripada milik Bambang Trihatmodjo, karena yang terakhir ini hanya pemilik saham minoritas saja8.
Oleh : J. Soedradjad Djiwandono
Gurubesar tetap Ilmu Ekonomi, Universitas Indonesia
sumber : http://www.pacific.net.id/pakar/sj/sekitar_penutupan_16bank1.html
Di masyarakat juga beredar pendapat bahwa Gubernur BI waktu itu tidak melaporkan masalah bank-bank ini kepada Presiden. Argumen ini, meskipun waktu itu bisa dimengerti, tetapi terkesan aneh. Apakah ini berarti bahwa meskipun menurut ketentuan bank ini harus ditutup akan tetapi Presiden tidak akan merestuinya kalau diketahui siapa pemiliknya? Ini argumen yang absurd. Atau argumen ini hendak mengatkan bahwa keterangan yang ada itu tidak benar, sehingga seharusnya bank-bank tersebut tidak ditutup. Keduanya tidak tepat.
CATATAN PENUTUP
Dari uraian pendek ini ada beberapa hal yang dapat menjadi perhatian kita bersama berkaitan dengan pengalaman pelaksanaan pencabutan ijin usaha bank:
- Saya orang yang percaya bahwa bank yang tidak solvent itu sebaiknya memang ditutup. Ini sudah saya ungkapkan pada waktu pengumuman kebijakan 3 September 1997 dan juga dalam wawancara saya sebelum krisis, terakhir pada waktu berjalannya sidang tahunan IMF-WB di Hongkong pada awal Okober 19979. Sebagaimana saya utarakan, penanganan bank bermasalah ini dimulai dengan pendekatan kasus demi kasus yang panjang jalannya, besar biayanya, menimbulkan kontroversi dan akhirnya kurang efektif. Dilain pihak, penanganan secara tuntas bank bermasalah, seperti halnya dengan penanganan masalah yang mempunyai dampak penularan, contagious, memang harus dilakukan secepatnya. Semakin tertunda penyelesaiannya, semakin besar biayanya, semakin sulit masalah sosial-politiknya.
- Kenyataan bahwa penutupan bank pada Nopember 1997 menimbulkan biaya sangat besar dalam bentuk menghilangnya kepercayaan yang justru ingin dikembalikan dengan langkah ini menggaris bawahi bahwa menghadapi bank bermasalah penyelesaiannya memang harus secepat mungkin (the sooner the better). Identifikasi masalah, pengakuan adanya masalah dan penyususnan program penyelesaian serta pelaksanaannya yang cepat dan konsisten merupakan kunci dari keberhasilan penyelesaian bank bermasalah atau restrukturisasi perbankan. Penutupan 16 bank pada bulan Nopember 1997 memang harus dilakukan. Akan tetapi persiapan dan pelaksanaannya serta tindak lanjutnya menuntut persiapan yang lebih matang. Setelah terjadi, sekarang bisa dikatakan bahwa penutupan bank pada waktu kepercayaan masih labil memang beresiko tinggi. Dilemanya adalah bahwa pada waktu kepercayaan masih baik, pada waktu tidak ada krisis, keadaan ekonomi masih baik, maka sulit sekali meyakinkan pihak-pihak yang tersangkut untuk mengambil keputusan menutup bank. Didorong untuk melakukan merger saja sulitnya bukan main, bagaimana diminta dilakukan penutupan (mudah-mudahan masyarakat ingat bahwa saya cerewet mengenai perlunya merger sebenarnya sudah sejak tahun 1995 dan diatas saya tunjukkan bahwa akhir tahun 1996 saya sudah mengusulkanmenutup sejumlah bank). Sedangkan pada waktu kepercayaan goyah keadaan sudah terlambat. Faktor penentuan waktu yang tepat ini sangat menentukan kerberhasilan tidaknya.
- Banyaknya salah pengertian mengenai permasalahan yang pada dasarnya cukup kompleks yang menyangkut perbankan ini telah mempengaruhi efektif tidaknya langkah-langkah penyelesaian bank bermasalah. Mengenai hal ini meningkatnya transparansi, meningkatnya ketentuan tentang disclosure disertai dengan perbaikan governance pada sektor otoritas pengawasan maupun pemilik bank serta bankir dan nasabah tentu akan memperbaiki efektivitas langkah-langkah penyelesaian bank bermasalah, baik dalam hal restrukturisasi termasuk pembekuan atau pencabutan usaha atau penggabungan maupun rekapitalisasi bank-bank. Akan tetapi disini tetap harus diperhatikan salah satu pelajaran dari krisis bahwa "the sooner the better".
- Sejarah penyelesaian bank bermasalah, apakah dinegara-negara Nordik, di A.S dengan Savings and Loan Associations, di Amerika Latin, semuanya tahun delapan puluhan atau di Asia akhir-akhir, ini menunjukkan bahwa biaya penyelesaian ini besar dan tidak bisa dihindarkan, artinya biaya ini harus dipikul. Akan tetapi masalahnya adalah, siapa yang harus memikul? Jelas pemilik bank harus bertanggung jawab, akan tetapi kalau dana tidak mencukupi bagaimana? Pada kebanyakan sistim yang berlaku akhirnya beban ini ditanggung oleh masyarakat melalui anggaran pemerintah. Inilah masalah sosial-politik yang sangat sulit untuk diterima karena menyangkut persoalan keadilan. Bagaimana mungkin, kan yang salah para pemilik bank dan nasabah bank yang menyelewengkan dana yang mereka pinjam, mengapa masyarakat harus memikulnya?
- Dalam sistim kenegaraan sendiri memang terdapat potensi masalah yang sulit dipecahkan antara anggaran pemerintah yang ada dibawah jurisdiksi Departemen Keuangan dan Bank Sentral yang merupakan lembaga yang memberikan bantuan likuiditas perbankan. Dimanakah letak masalahnya, apakah pada prinsip atau dasar hukum yang dilanggar, atau dimana? Perdebatan antar lembaga yang harus menangani atau bertanggung jawab bisa timbul, tetapi mudah-mudahan disadari bahwa kita berbicara mengenai masalah nasional yang akhirnya harus diselesaikan oleh bangsa atau negara ini, bukang bangsa lain. Akuntabilitas masing-masing lembaga memang harus jelas, sehingga penentuan siapa yang bertanggung jawab ini bisa jelas pula. Akan tetapi dalam suasana yang kejelasan tanggung jawab lembaga itupun merupakan masalah waktu lalu, bagaimana kita bisa menentukan akuntabilitas ini. Tanpa kejelasan ini yang terjadi hanyalah perdebatan dimana berbagai pihak saling menuding siapa yang bersalah atau bertanggung jawab. Memang perdebatan bisa terus dilakukan, akan tetapi yang jelas biaya ini besar dan harus ada yang memikul. Semakin lama kita nantikan solusinya semakin besar biaya yang harus dipikul. Pembahasan yang berkepanjangan hanya akan memperlambat ditemukannya solusi masalah dan meningkatnya biaya yang harus dipikul yang semakin memberatkan implikasi sosial-politis mengenai siapa dan bagimana menaggung biaya tadi.
Cambridge MA, 14 Januari, 2000.
---
1Ke 16 bank tersebut masing-masing adalah Bank Pinaesaan, Bank Anrico, Bank Andromeda, Bank Guna Internasional, Bank Umum Majapahit, Bank Kosagraha Semesta, Bank SEAB, Bank Dwipa Semesta, Bank Industri, Bank Astria Raya, Bank Harapan Sentosa, Sejahtera Bank Umum, Bank Jakarta, Bank Mataram Dhanarta, Bank Pacific dan Bank Citra Dhanamanunggal.
2Mengenai besarnya jumlah pengembalian dana nasabah, angka 20 juta rupiah hanya dilihat dari sudut kepantasannya saja. Pada waktu penutupan Bank Summa pengembalian dana nasabah ini adalah untuk 10 juta rupiah kebawah. Saya sendir mengusulkan 30 juta rupiah, akan tetapi keputusan Pemerintah adalah 20 juta rupiah.
3Indonesia memang memberikan jaminan seratus persen ke pada deposan dan kreditur bank yang ditutup mulai akhir Januari 1998 dengan program yang dikenal sebagai 'blanket guarantee'. Jaminan seratur persen terhadap dana nasabah apalagi kredit yang diberikan memang tidak lazim. Ini memang suatu jaminan yang diberikan dalam keadaan luar biasa, karena itu jangka waktunya juga dibatasi.
4Sebenarnya ini juga ironis; bahwa menempatkan dana pada bank-bank Pemerintah itu mungkin memang benar lebih terjamin pengembaliannya, akan tetapi kalau ini disebabkan karena anggapan bahwa bank-bank Pemerintah itu lebih sehat jelas tidak benar. Setelah pengumuman Pemerintah tentang hasilaudit pada bank-bank Pemerintah tahun 1999 baru diumumkan secara terbuka bahwa kondidi mereka semua tidak sehat.
5Sebagai salah satu contoh Warta Ekonomi membuat laporan tentang kinerja 31 bank yang dicurigai mengalami masalah (Warta Ekonomi, no 26/Th IX/17 Nopember 1997). Di media juga dilaporkan pendapat berbagai pakar yang mengatakan jumlah bank bermasalah yang jauh lebih banyak dari 16. Selain itu ada selebaran yang memuat nama-nama bank yang dikatakan mempunyai kinerja yang tidak sehat, entah siapa yang menyusun.
6Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad dalam Sidang Paripurna DPR 10 Nopember 1997 menjelaskan adanya lima kriteria pencabutan ijin usaha suatu bank, yaitu aset bank yang tidak mencukupi untuk menutup kewajiban, besarnya kredit macet yang menyebabkan penghasilan bank tidak dapt menutup biaya operasi bank, berkurangnya kemampuan menghimpun dana dari pihak ketiga sehingga menggantungkan diri pada pasar uang antar bank yang berjangka sangat pendek,modal menjadi negatif dan teguran serta peringatan BI ( Suara Pembaruan, 10 Nopember 1997).
7Saya menggunakan analisis Profesor Arief Budiman, Capitalism, Tribalism and religion,, presentasi di Harvard University's Asia Center, Maret 1999 (mimeo).
8Kepemilikannya yang sebesar 25% dalam Banmk Andromeda adalah melalui suatu perusahaan yang 50% sahamnya dimilikinya. Karena itu secara gampangannya kepemilikannya pada bank tersebut hanya 50% dari 25% atau 12,5%. Sebenarnya yang lebih pantas mengaku pemilik adalah yang mempunyai saham secara mayoritas.
9Bisnis Indonesia, 5 Oktober 1997 memuat wawancara saya yang diberi judul Kalau nggak bisa, ditutup saja
Oleh : J. Soedradjad Djiwandono
Gurubesar tetap Ilmu Ekonomi, Universitas Indonesia
sumber : http://www.pacific.net.id/pakar/sj/sekitar_penutupan_16bank1.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar