Selasa, 22 Maret 2011

Nasabah Kartu Kredit Uji UU Bea Meterai



Merasa dirugikan karena dipungut pajak bea meterai, seorang nasabah kartu kredit Citibank, Hagus Suanto menguji Pasal 6 UU No 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ia merasa dirugikan dengan pungutan pajak bea meterai yang dipungut bank swasta asing itu.

Pasal 6 UU Bea Meterai selengkapnya berbunyi, “Bea Meterai terhutang oleh pihak yang menerima atau pihak yang mendapat manfaat dari dokumen, kecuali pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain”.

Dalam panel pendahuluan yang dipimpin Achmad Fadlil Sumadi itu, Hagus mengatakan berlakunya Pasal 6 UU Bea Meterai dijadikan dasar bagi Citibank untuk memungut pajak, pajak pusat, pajak dokumen (bea meterai dalam dokumen). Pungutan ini dianggap tanpa hak dan tidak sah jika dipungut oleh pihak bank itu.

Sebab, hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik, sehingga Citibank tak berhak memungut pajak dalam lembar tagihan kartu kredit. Namun, Citibank tetap memaksakan kehendaknya kepada pemohon untuk membayar pajak itu kepada Citibank. “Sesuai Pasal 23A UUD 1945, pajak adalah hak dan kewenangan negara, sehingga yang berhak memungut pajak adalah negara,” kata Hagus.

Ia menilai Pasal 6 UU Bea Meterai telah memberikan peluang dan hak-hak istimewa kepada Citibank serta bank-bank lain baik swasta atau pemerintah, atau perusahaan lainnya yang memungut pajak dokumen dalam lembar tagihan kartu kredit atau tagihan lain. Hal ini secara yuridis telah merugikan pemohon dan para nasabah kartu kredit atau konsumen Indonesia.     

Menurut Hagus, definisi pajak adalah iuran rakyat kepada negara berdasar undang-undang dan bersifat dapat dipaksakan. Sementara atas dasar Pasal 6 UU Bea Meterai, Citibank memungut pajak dokumen. “Menurut kami bea meterai adalah pajak, bukan benda yang dapat ditransaksikan secara umum,” ujar Hagus berargumen.

Hagus mengaku telah menjadi nasabah yang beriktikad baik dengan melunasi tagihan pokok transaksi pemakaian kartu kreditnya. Tetapi, pemohon tetap dianggap mempunyai hutang oleh Citibank, bahkan dianggap sebagai tunggakan macet. Hutang itu berasal dari pungutan terhadap pajak bea meterai yang berasal dari pajak dokumen.

Menurut Hagus, seharusnya pajak melekat pada dokumen dan tidak harus dibebankan kepada nasabah. Beban itu seharusnya menjadi kewajiban hukum Citibank kepada negara. “Selama ini kami menggunakan kartu kredit sebagai alat pembayaran transaksi itu tidak pernah melakukan transaksi bea meterai,” akunya. 

Ia juga mempertanyakan mengapa bank swasta asing yang bertugas menghimpun dana masyarakat dan menyalurkannya dalam bentuk kredit ternyata dapat memungut pajak kepada masyarakat tanpa berdasarkan undang-undang. Padahal, dalam memungut pajak negara selalu merujuk pada Undang-Undang. “Pasal 6 UU Bea Meterai itu bertentangan dengan Pasal 23 A, 27 ayat (1), Pasal 28 I ayat (2), Pasal 28 J UUD 1945”.

Mahkamah Konstitusi akan memberikan kesempatan kepada pihak terkait untuk memberikan penjelasan berkaitan dengan masalah yang diajukan Hagus.



Jika kasus ini dimenangkan oleh Pemohon, maka semua Bank Penerbit Kartu harus mentaati keputusan MK untuk mengembalikan semua biaya Bea Meterai yang mereka charge kepada para nasabah kartu kredit mereka untuk pembayaran tagihan kartu kredit mereka, baik untuk purchasing maupun cash advance. jika jumlah nasabah kartu kredit ada 1juta orang pada suatu Bank X, lalu mereka melakukan pembayaran diatas 1juta, maka bank X telah mendapatkan 6.000 rupiah X 1 jt = 6M perbulan... wowww... fantastis.... selanjutnya, apakah dana ini diberikan kepada negara ? jika tidak, apakah hal ini bisa dikategorikan merugikan keuangan negara melalui pendapatan Pajak...??
let see the battle end !!!!

Pasal 6 UU Bea Meterai dinilai bertentangan dengan Pasal 23 A, 27 ayat (1), Pasal 28 I ayat (2), Pasal 28 J UUD 1945.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar