Selasa, 03 Februari 2009

Pembagian Sisa Hasil Likuidasi Perseroan

Bagian I

Dalam artikel yang lalu penulis pernah membahas tentang praktek pembubaran perseroan terbatas, dimana dalam salah satu tahap yang harus dilakukan adalah tahap pemberesan oleh likuidator.

Dalam tahap pemberesan ini ada satu masalah yang cukup krusial untuk dibahas secara mendalam, karena dalam masalah ini menyangkut beberapa bidang hukum yaitu hukum perseroan, hukum pertanahan dan hukum perpajakan.

Masalah yang terjadi adalah dalam tahap pemberesan ternyata terdapat sisa asset perseroan berupa hak atas tanah ( Hak Guna Bangunan ) atas nama perseroan.


Bagaimana cara membagikannya asset tersebut kepada para pemegang saham.

Di bagian pertama tulisan ini penulis akan lebih dahulu membahas dari segi hukum perseroan, khususnya untuk menentukan kapan waktunya dapat dilakukan pembagian sisa asset perseroan yang dibubarkan kepada para pemegang saham ( pemilik perseroan ).

Pembubaran dan likuidasi adalah dua perbuatan hukum yang tidak terpisahkan ( jaman Orla disebut Dwitunggal ), karena setiap pembubaran wajib diikuti oleh tindakan likuidasi ( lihat pasal 142 ayat 2 ).


Apakah akibat hukumnya jika hanya dilakukan tindakan pembubaran tanpa tindakan likuidasi? Silahkan pembaca menyimak ulang artikel penulis mengenai Praktek pelaksanaan pembubaran PT.
Jika Sisminbakum konsekuen terhadap bunyi peraturan yang ada, maka sebelum dilakukan tindakan likuidasi status badan hukum dari Perseroan tetap ada. Oleh karena itu pasti ada implikasinya apabila tindakan pembubaran tidak diikuti oleh tindakan likuidasi.

Salah satu kewajiban Likuidator adalah melakukan pembayaran sisa kekayaan hasil likuidasi kepada pemegang saham (Pasal 149 ayat 1 point d) yang dilakukan setelah dilaksanakannya pembayaran kepada kreditor.

Pertanyaannya dalam jangka waktu berapa lama setelah keputusan pembubaran perseroan, likuidator dapat melaksanakan pembagian sisa hasil likuidasi tersebut ?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut diperlukan konsentrasi khusus, karena terdapat masalah yang cukup membingungkan, karena dalam UU 40/2007 menyebutkan "tenggang-tenggang" waktu yang berbeda dalam pasal 147 ayat 3 dan pasal 149 ayat 3.

Memang jika diamati seolah-olah ketentuan mengenai tenggang-tengang waktu tersebut mengatur hal yang berbeda, dalam pasal 147 ayat 3 mengatur jangka waktu pengajuan tagihan, sedangkan dalam pasal 149 ayat 3 adalah mengenai jangka waktu untuk mengajukan keberatan terhadap rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi.Namun yang menjadi masalah adalah acuan penghitungan jangka waktu 60 hari itu dimulai darimana?

Dalam pasal 147 ayat 3 dan penjelasannya diketahui 60 hari sejak tanggal pengumuman paling akhir yaitu tanggal pegumuman dalam BNRI (bukan tanggal pengumuman di Surat Kabar); sedangkan dalam pasal 149 ayat 3 jangka waktu 60 hari dihitung dari pengumuman tentang rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi ( jadi bukan dari pengumuman pembubaran seperti yang tercantum dalam pasal 147 ayat 1 ). (Catatan : disini harus juga ditafsirkan tanggal pengumuman yang paling akhir yaitu tanggal pengumuman dalam BNRI, walaupun dalam penjelasan resmi pasal 149 ayat 3 cukup jelas).

Dalam praktek para Notaris sering hanya berpatokan pada tanggal Pengumuman pembubaran sesuai pasal 147 ayat 1, bahkan jarang sekali menyarankan kepada kliennya untuk melakukan Pengumuman tentang rencana pembagian kekayaan hasil liuidasi. Padahal akibat tidak dilaksanakannya tindakan ini adalah FATAL !


Karena dengan tidak dilakukannya tindakan tersebut hak kreditor untuk mengajukan keberatan telah ditiadakan, oleh karena itu setiap tindakan hukum berikutnya yang dilakukan oleh likuidator terhadap sisa hasil kekayaan perseroan dapat dinyatakan BATAL DEMI HUKUM. Ketentuan pasal 150 UU PT tidak dapat dipakai sebagai alasan untuk membela diri.

Untuk mengamati apakah tindakan pembubaran dan likuidasi yang dilakukan oleh suatu Perseroan benar-benar dilaksanakan sesuai prosedure yang sah, jika melalui perantaraan seorang Notaris sangat mudah patokannya.

Berikut ini joke serius....


Jika notaris tersebut hanya menarik biaya Rp.2.500.000,- s/d Rp.5.000.000,- ini dapat berarti Notaris atau pihak yang terafiliasi dengannya adalah pihak yang memiliki perseroan atau Notaris tersebut berjiwa sosial dan ikut berprihatin kepada kliennya ( wah yang ini pastilah Notaris tersebut sudah sangat kaya ) atau Notaris tersebut hanya melakukan sebagian dari prosedure yang seharusnya dilakukan untuk pembubaran dan likuidasi PT ( Nah kalau yang ini sih paling
banyak terjadi.... memprihatinkan...).

Pembaca dapat menghitung sendiri berapa kira-kira biaya yang dikeluarkan untuk pembubaran dan likuidasi suatu PT, yang paling tidak terdiri dari beberapa hal :
- biaya Akta Pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham tentang pembubaran
- biaya Pengumuman di Surat Kabar dan di Berita Negara tentang pembubaran (pasal 147 ayat 1)
- biaya PNBP Sisminbakum untuk pemberitahuan kepada Menteri Hukum dan HAM
- biaya Pengumuman di Surat Kabar dan BNRI tentang rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi (pasal 149 ayat 1)
- biaya Akta Berita Acara RUPS pertanggungjawaban Likuidator ( pasal 152 ayat 1)
- biaya Pengumuman di Surat Kabar dan Pemberitahuan kepada Menteri hasil akhir proses likuidasi (pasal 152 ayat 3)
- Honor jasa pengurusan ??

Mari kembali ke Laptop ( meniru Tukul Arwana ), jadi solusi mengenai kapan dapat dibagikan sisa kekayaan hasil likuidasi kepada pemegang saham adalah sebagai berikut :
1. Apabila terdapat kreditur yang mengajukan tagihan, maka paling tidak pembagiannya harus menunggu setelah lewatnya waktu 60 hari setelah pengumuman rencana pembagian ( atau setidak-tidaknya 120 hari setelah pengumuman pembubaran perseroan );
2. Apabila terdapat kreditur yang menggajukan tagihan dan keberatannya terhadap rencana pembagian ditolak oleh Likuidator, maka pembagiannya harus menunggu sampai dengan adanya putusan Pengadilan terhadap pokok gugatan tersebut (pasal 149 ayat 4);
3. Apabila tidak terdapat kreditur yang mengajukan tagihan, maka setelah lewatnya jangka waktu 60 hari setelah tanggal pengumuman pembubaran ( Ingat yang digunakan adalah tanggal pengumuman di BNRI, bukan tanggal Pengumuman di Surat Kabar), dapat dilakukan pembagian.

Khusus mengenai point 3 karena tidak ada aturannya dalam UU, maka demi keamanan terhadap sahnya tindakan likuidator perlu diadakan penegasan dalam suatu RUPS bahwa setelah jangka waktu yang ditetapkan dalam pasal 147 ayat 3 benar-benar tidak terdapat tagihan dari kreditor manapun dan oleh karena itu RUPS memutuskan memberikan kewenangan kepada likuidator untuk membagikan sisa kekayaan perseroan kepada pemegang saham sesuai dengan proporsi kepemilikan sahamnya di dalam perseroan, semuanya dengan mengingat ketentuan dalam pasal 150 ayat 2 ( Kreditor tetap dapat mengajukan tagihan melalui Pengadilan dalam jangka waktu 2 tahun sejak pengumuman pembubaran Perseroan).

Permasalahan yang berikutnya adalah apakah asset perseroan tersebut adalah asset bersama dari para pemegang saham sesuai dengan proporsi kepemilikan saham masing-masing pemegang saham dalam perseroan? ( Hal ini akan dibahas pada bagian berikutnya di blog penulis)

Kesimpulan :
Dalam melakukan pembagian sisa kekayaan perseroan hasil likuidasi kepada pemegang sahamnya harus benar-benar diperhatikan waktu pelaksanaanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan dengan akibat hukum bahwa jika tidak dilakukan sesuai prosedure maka perbuatan hukum tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum.

Peringatan kepada para calon pembeli asset yang berasal dari sisa hasil likuidasi perseroan yang dibubarkan agar lebih berhati-hati, lebih aman jika membeli asset tersebut selewatnya 2 tahun setelah pengumuman pembubaran perseroan.


Bagian II

Dalam artikel penulis mengenai Pembagian Sisa Hasil Likuidasi Perseroan bagian 1 kita telah mengetahui kapan waktunya sisa asset perseroan hasil likuidasi dapat dibagikan kepada para pemegang sahamnya sesuai proporsisi masing-masing dalam kepemilikan sahamnya dalam perseroan.


Permasalahan berikutnya yang harus kita analisa adalah siapakah yang menjadi subyek hukum dalam tindakan pembagian asset perseroan yang dalam hal ini berupa sebidang tanah dengan Hak Guna Bangunan seluas lebih kurang 25.000 m2 (2.5 Ha) atas nama Perseroan.


Persoalan ini akan selesai dengan mudah apabila para pemegang saham sepakat untuk menjual asset tersebut, namun yang terjadi disini sebaliknya para pemegang saham hendak mempertahankan tali "silaturahmi" diantara mereka dalam kepemilikan bersama atas asset tersebut.

Pertanyaan yang mendasar Apakah pemegang saham adalah pemilik perseroan yang merupakan satu kesatuan dengan keberadaan Perseroan ataukah Perseroan sebagai Person/Orang ( legal entity ) yang mandiri yang terdiri dari para pemegang saham (karena Perseroan didirikan berdasarkan perjanjian dan setelah didirikan maka Perseroan seolah-olah mempunyai "jiwa" tersendiri dari para pendirinya (pemegang saham)?

Jawaban atas pertanyaan tersebut membawa implikasi hukum yang berbeda, namun sebelum menganalisa jawaban tersebut; penulis hendak berteori sejenak ( jika sudah ada yang menemukan, penulis mohon ijin; namun jika belum ada penemu teori ini, silahkan pembaca mengujinya dalam suatu karya ilmiah...sebut aja teori ini sebagai Teori Karakteristik Perseroan© :).

Dalam Teori Karakteristik Perseroan penulis mendalilkan bahwa dalam perseroan terbatas dengan karakteristik tertutup, tanggung jawab pemegang saham lebih besar dibandingkan tanggung jawabnya dalam perseroan dengan karakteristik terbuka, demikian pula kekuasaan RUPS lebih utama daripada kekuasaan Pengurus, perseroan terbatas dengan karakteristik tertutup lebih berkarakter sebagai person yang mandiri, dibandingkan perseroan terbatas dengan karakteristik terbuka lebih sebagai alat (fungsi) daripada berkarakter sebagai person.

Undang-undang nomor 40 tahun 2007 lebih menganut paham perseroan dengan karakteristik terbuka, beda dengan UU nomor 1 tahun 1995 lebih menganut paham perseroan dengan karakteristik tertutup karena kekuasaan RUPS dalam UU 1/1995 diakui sebagai pemegang kekuasaan tertinggi ( Catatan : Mengenai pergeseran paradigma RUPS dalam perkembangannya akan penulis uraikan dalam artikel yang berikutnya ).

Menurut penulis relevansi pembahasan mengenai karakteristik perseroan ini erat kaitannya dengan penentuan apakah asset perseroan tersebut merupakan barang milik bersama secara bebas atau milik bersama secara terikat. Dan penentuan ini berdampak pada pengenaan pajak bagi para pemegang saham yang memperoleh asset /kekayaan hasil likuidasi perseroan.

Berikut ini penulis mengcopy paste dari presentasi rekan Herlien Budiono di Surabaya tanggal 8 Feb 2008 mengenai Pemilikan Bersama menurut teori dan praktek ( dengan segala hormat penulis meminta ijin kepada rekan Herlien Budiono ), pokok-pokok penting dari presentasi tersebut sebagai berikut :

1. Penentuan pemilikan bersama bersifat terikat atau bebas bergantung pada sebab (oorzaak) yang mengakibatkan para pemilik memiliki suatu kebendaan bersama-sama :

  • Pemilikan bersama yang bebas (vrije medeeigendom) – pemilikan bersama merupakan tujuan dari para pemiliknya
  • Pemilikan bersama yang terikat (gebonden medeeigendom) – pemilikan bersama merupakan akibat dari suatu peristiwa hukum yang lain.

Persamaannya :
Pemiliknya memiliki bagian yang tak terbagi atas keseluruhan benda yang dimiliki bersama.

Contoh Pemilikan bersama yang terikat:

  • karena bubarnya perkawinan, ex suami-isteri bersama memiliki harta benda perkawinan,
  • karena bubarnya persekutuan perdata (maatschap) atau perkumpulan yang tidak berbadan hukum, para pesero bersama memiliki harta perseroan
  • karena meninggalnya pewaris, para ahliwaris bersama memiliki harta peninggalan (Ps 833 ayat (1) jo. Ps 955 KUHPerd)

2. Kewenangan bertindak:
Terwujud pada bebas atau tidaknya para pemilik untuk setiap saat mengalihkan bagian tak terbagi yang dimiliki atas harta bersama

  • Pemilikan bersama yang terikat:
  • Para pemilik tidak bebas untuk mengalihkan bagian tak terbaginya - semua tindakan hukum harus dilakukan bersama-sama
  • Pemilikan bersama yang bebas:
  • Para pemilik bebas untuk mengalihkan bagian tak terbaginya


3. Pemisahan dan pembagian: Pemilikan bersama yang bebas
Ps 573 KUHPerd: “Membagi sesuatu kebendaan yang menjadi milik lebih dari satu orang harus dilakukan menurut aturan-aturan yang ditentukan tentang pemisahan dan pembagian harta pembagian”

4. Pemisahan dan pembagian : Persekutuan perdata (maatschap)
Ps 1652 KUHPerd: “Aturan-aturan tentang pembagian warisan-warisan, cara-cara pembagian itu dilakukan, serta kewajiban-kewajiban yang terbit karenanya antara orang-orang yang turut mewaris, berlaku juga untuk pembagian di antara para pesero” .

Pemisahan dan pembagian bersifat pengalihan hak ?
Ps 1083 KUHPerd:
“Tiap waris dianggap seketika menggantikan si meninggal dalam hak miliknya atas benda-benda yang dibagikan kepadanya atau yang secara pembelian diperolehnya berdasarkan Ps 1076. Dengan demikian, maka tiada seorang pun dari para waris dianggap pernah memperoleh hak milik atas benda-benda yang lainnya dari harta peninggalan”
Kalau kepada ahliwaris A dibagikan sebuah rumah, ahliwaris B sebuah pabrik, maka:

  • A tidak pernah memiliki pabrik dan B tidak pernah memiliki rumah;
  • A dan B masing-masing memperoleh rumah dan pabrik bukan karena pemisahan dan pembagian tetapi karena warisan;
  • Bukan peralihan/perolehan hak, tetapi mengkonstatir peristiwa hukum.


Apakah Ps 1083 KUHPerd membawa akibat hukum sama terhadap pemisahan dan pembagian atas pemilikan bersama yang bebas – mengingat Ps 573 KUHPerd menyatakan bahwa pemisahan dan pembagian suatu kebendaan milik lebih dari satu orang harus dilakukan menurut aturan yang ditentukan tentang pemisahan dan pembagian harta peninggalan ?

Pemisahan dan pembagian untuk pemilikan bersama yang terikat bersifat deklaratif – berlaku surut sejak terjadinya pemilikan bersama yaitu sejak bubarnya perkawinan, bubarnya persekutuan perdata (maatschap)/perkumpulan tidak berbadan hukum, meninggalnya pewaris. Hanya mengkonstatir peristiwa hukum .

Pemisahan dan pembagian untuk pemilikan bersama yang bebas bersifat pengalihan hak “translatif” – berlaku sejak terjadinya pemisahan dan pembagian

Tujuan Pemisahan dan Pembagian :

  • mengakhiri pemilikan bersama
  • kepada pihak yang dipisahkan dan dibagikan suatu benda - mempunyai hak pengurusan dan pemilikan atas bendanya

Kembali pada topik bahasan Apakah asset sisa hasil likuidasi Perseroan merupakan harta pemilikan bersama bebas atau terikat dari para pemegang saham?


Patokannya bergantung pada sebab (oorzaak) yang mengakibatkan para pemilik memiliki suatu benda. Dalam hal inilah penting sekali untuk menganalisanya dari segi karakteristik Perseroan.

Jika karakteristik Perseroan terbuka, maka keberadaan PT sebagai alat (fungsi) membawa akibat pemilikan suatu benda adalah untuk memenuhi suatu tujuan yang hendak dicapai Perseroan melalui Pengurusnya untuk kepentingan para pemegang saham, sehingga dalam hal ini dapat dikatakan hakekat pemilikan benda oleh Perseroan merupakan pemilikan bersama yang bebas. Konsekuensinya pembagian asset tersebut kepada para pemegang sahamnya merupakan peralihan hak yang translatif.


Contoh : Perseroan yang berusaha di bidang developer/real estate, bubar dan dilikuidasi, sisa assetnya berupa kaplingan dan/atau rumah di perumahan yang dikembangkan oleh Perseroan ( contoh PT karakteristik terbuka dibidang kepemilikan bersama, PT sebagai alat, asset yang dimiliki untuk mencapai tujuan bersama )


Dan terhadap perbuatan hukum ini pemegang saham dikenai pajak (khususnya BPHTB). Kalau mau dianalisa apakah Perseroan terutang PPH atas peralihan hak ini?? (Penulis tidak menemukan jawaban yang tepat untuk hal ini, mungkin pembaca dapat melengkapinya. Disini akan terjadi debat yang seru mengenai dasar-dasar pengenaan pajak yang selama ini tidak jelas, namun semata-mata demi mencapai target pemasukan negara saja tanpa memperhatikan kesejahteraan dan perlindungan kepada masyarakat ).

Jika Perseroan dengan karakteristik tertutup, maka asset yang diperoleh Perseroan adalah merupakan asset yang digunakan untuk menunjang keberadaan perseroan, dalam hal ini kepemilikan asset merupakan kepemilikan bersama yang terikat. Konsekuensinya pembagian asset hasil likuidasi kepada para pemegang saham merupakan tindakan yang bersifat deklaratif ( hanya untuk mengkonstatir suatu peristiwa hukum dalam hal ini likuidasi ) dan oleh karena itu terhadap tindakan tersebut tidak dapat dikenai pajak, karena tidak terjadi peralihan hak secara translatif.

Contoh : Perseroan yang berusaha di bidang Industri, memiliki asset pabrik berikut hak atas tanahnya, bubar dan dilikuidasi, sisa assetnya berupa bangunan dan tanah dimana pabrik tersebut didirikan ( contoh PT karakteristik tertutup dibidang kepemilikan bersama, pembelian dan kepemilikan atas asset untuk menunjang keberadaan Perseroan dan bukan untuk tujuan Perseroan ).

Kesimpulan penulis :

Sisa hasil likuidasi harta Perseroan yang dibubarkan tidak harus dalam bentuk uang tunai, namun dapat saja berupa asset berupa barang tidak bergerak ( khususnya hak atas tanah dan/atau bangunan ) dan/atau barang bergerak baik berwujud maupun tidak berwujud.
Khusus mengenai sisa hasil likuidasi yang berupa asset dalam bentuk barang tidak bergerak khususnya hak atas tanah dan/atau bangunan, apabila asset tersebut diperoleh dan dipergunakan untuk menunjang keberadaan Perseroan, maka dapat dikategorikan sebagai barang milik bersama secara terikat dari para pemegang saham, sedangkan jika asset tersebut diperoleh dan dipergunakan untuk memenuhi tujuan Perseroan, maka sisa hasil likuidasi tersebut adalah merupakan barang milik bersama secara bebas.

Bagian III

Pada bagian I dan bagian II dari materi Pembagian Sisa Hasil Likuidasi Perseroan telah kita ketahui dan pahami mengenai kapan waktunya pembagian sisa asset hasil likuidasi dapat dilakukan kepada para pemegang saham dan juga dapat ditentukan apakah sisa asset yang berupa barang tidak bergerak ( khususnya hak atas tanah berikut dengan segala bangunan yang berdiri di atasnya adalah merupakan suatu harta yang dimiliki bersama secara bebas atau terikat ( tergantung karakteristik perseroan ).

Pada bagian ini penulis akan menguraikan implikasi penerapan Teori Karakteristik Perseroan terhadap pengenaan Pajak kepada para pemegang saham yang berhak atas sisa hasil likuidasi perseroan.


Sebelum itu lebih baik kita memastikan lebih dahulu bagaimanakah caranya membagikan asset tersebut sesuai dengan proporsi kepemilikan saham dari para pemegang saham?

Sesuai dengan Keputusan Menteri Agraria nomor 3 tahun 1997 yang merupakan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 dalam pasal 95 juncto pasal 2 Peraturan Kepala BPN nomor 1 tahun 2006 yang merupakan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 1998 tentang Peraturan jabatan PPAT; aturan-aturan tersebut menentukan bahwa PPAT mempunyai tugas pokok yaitu melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan cara membuat akta otentik dan ditentukan pula bahwa PPAT hanya dapat membuat akta tanah yang dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yaitu :

a. Akta Jual Beli
b. Akta Tukar Menukar
c. Akta Hibah
d. Akta Pemasukan Ke Dalam Perusahaan
e. Akta Pembagian Hak Bersama
f. Akta Pemberian Hak Tanggungan
g. Akta Pemberian Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik
h. Akta Pemberian Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik

Jadi dalam bahasa orang awam diluar akta-akta tersebut tidak ada akta lain yang dapat dijadikan dasar untuk membalik nama suatu sertipikat dari pihak yang satu ke pihak yang lain.
Dari 8 pilihan akta tersebut para PPAT tentu akan memilih huruf E yaitu menggunakan akta Pembagian Hak Bersama, lalu dalam komparisi para pihaknya PPAT akan menentukan bahwa yang menjadi Pihak Pertama yaitu Sang Likuidator yang mewakili Perseroan dalam likuidasi dan yang menjadi Pihak Kedua adalah para pemegang saham bersama-sama, yang bagiannya masing-masing ditentukan berdasarkan komposisi kepemilikan saham masing-masing pemegang saham dalam perseroan secara proporsional.

Disamping itu PPAT harus menganalisa apakah akta tersebut dapat disahkan tanpa atau harus dengan membayar pajak khususnya BPHTB yang wajib disetor oleh masing-masing pemegang saham ?


Pada titik inilah pembahasan mengenai pengkategorian apakah asset sisa hasil likuidasi tersebut merupakan harta bersama bebas atau harta bersama terikat sangat relevan.

Karena dalam benak PPAT pasti terbayang peraturan perpajakan khususnya mengenai Pajak Penghasilan Final PP No. 48 Tahun 1994 jo. PP No. 27 Tahun 1996 dan mengenai BPHTB dalam UU No.20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas U2 No.21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (berlaku sejak 1 Januari 2001).

Dan sang PPAT agak bingung karena melihat Pasal 2 ayat (2) huruf a UU No.20 Tahun 2000 (dahulu Ps 2 ayat (2) angka 6 U2 No.21 Tahun 1997) yang mencantumkan bahwa obyek pajak adalah pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, dengan penjelasan:


“Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama”.

Untunglah kebingungan tersebut tidak berlangsung lama, oleh karena sang PPAT menemukan Surat Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional no. 600-1561 tanggal 21 April 1999 yang menjelaskan perbedaan antara jenis kepemilikan bersama dengan melihat pada perolehan asalnya yang membedakan pula antara pemilikan bersama yang bebas (vrije mede-eigendom) dan pemilikan bersama yang terikat (gebonden mede-eigendom) dimana sebagai kesimpulan dari Surat Menteri Agraria tersebut adalah :


“Pemisahan dan pembagian warisan masih termasuk dalam ‘rezim’ waris sehingga tidak termasuk kepada peralihan hak atau perolehan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 dan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997, atau dengan perkataan lain pendaftaran peralihan hak karena pemisahan dan pembagian warisan tidak dipersyaratkan adanya SSP PPh berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1994 dan SSB BPHTB berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997. Sudah tentu ketentuan tersebut termasuk pula pemisahan dan pembagian harta bersama (gono gini) yang disebabkan oleh perceraian suatu perkawinan”

Wow ternyata Surat Menteri tersebut hanya membahas soal harta warisan dan harta gono gini, lalu bagaimana dengan nasib Akta Pembagian Harta Bersama mengenai pembagian asset sisa hasil likuidasi perseroan kepada para pemegang sahamnya yang sudah ia siapkan untuk ditanda tangani dan disahkan....

Disinilah penulis memberikan sumbang saran dalam memecahkan kasus yang dihadapan sang PPAT yang sedang kebingungan itu. Dengan menggunakan teori karakteristik perseroan sang PPAT dapat mengkategorikan apakah suatu asset hasil likuidasi dari perseroan adalah merupakan harta bersama terikat atau harta bersama bebas.

Jika harta bersama tersebut merupakan harta bersama terikat, maka akta Pembagian Harta Bersama dapat disahkan tanpa ada kewajiban dari para pemegang saham untuk membayar BPHTB.
Jika ada pembaca yang bekerja di instansi Pajak tentu saja akan membelalakan mata dan disamping mengata-ngatain penulis, pasti dalam hati berkata ENAK AJA....gak bisa begitu !!
Bentar sabar bapak....sabar bang... biarlah penulis menjelaskan argumen dan logika hukum dari tindakan pengesahan Akta oleh sang PPAT tanpa harus dilengkapi bukti pembayaran SSB BPHTB.

Asas/ prinsip yang paling mendasar dalam bidang perpajakan adalah Tidak diperbolehkan ada penarikan pajak secara BERGANDA! Maka berdasarkan asas ini kita harus runtut menganalisa mulai dari penyetoran saham dengan nilai nominal tertentu oleh pemegang saham sampai dengan dia memperoleh kembali sisa likuidasi ( pengembalian kembali dari nilai nominal saham yang dia setor ).

Pada waktu pemegang saham menyetor nilai nominal saham pastilah uang tunai tersebut berasal dari penghasilan yang kena pajak ( PPH ), berarti di awal pemegang saham telah dikenai Pajak ( PPh). Setelah PT beroperasi maka pemegang saham jika mendapatkan deviden, dia kena Pajak ( PPh ) atas deviden tersebut.

Nah jika Perseroan bubar dan dia mendapatkan sisa hasil ikuidasi sebagai pengganti nilai nominal yang telah disetor olehnya, -sangat tidak adil dan melanggar asas larangan pengenaan pajak berganda, apabila pemegang saham tersebut dikenakan Pajak ( dalam hal ini BPHTB, karena yang dibagikan dalam bentuk asset hak atas tanah dan bangunan ).

Namun jangan kuatir para aparat penegak perpajakan, anda tetap dapat menarik Pajak terhadap para pemegang saham yang memperoleh "gain" ( selisih kelebihan antara nilai nominal yang disetor dengan nilai asset yang diperoleh oleh pemegang saham ) jika nilai asset melebihi nilai nominal saham mereka... Inilah WIN WIN SOLUTION.


PPAT tidak bingung ( terancam denda Rp.7.500.000,- ) dalam mengesahkan akta tanpa harus dilampiri SSB BPHTB; Instansi Pajak tetap dapat menarik Pajak (PPh) apabila memang pemegang saham memperoleh keuntungan dalam pembagian asset tersebut; Pemegang saham pasti tidak dikenakan pajak berganda!

Semoga 3 bagian tulisan mengenai Pembagian Sisa Hasil Likuidasi Perseroan ini berguna dan memberikan solusi bagi para pembaca.



Salam sejahtera
Jusuf Patrick

(sumber : http://notarissby.blogspot.com... Thank's to Mr. Jusuf Patrianto Tjahjono,SH)



1 komentar:

  1. apakah bapak mempunyai salinan surat menteri agraria no. 600-1561 tanggal 21 April 1999?

    BalasHapus