Rabu, 11 Maret 2009

PENERAPAN UU PERSAINGAN DI SEKTOR PERBANKAN

A. PENDAHULUAN

Krisis ekonomi dan moneter telah membawa bencana kepada bangsa kita. Bukan hanya pemerintahan Soeharto harus berakhir sebelum waktunya akan tetapi banyak pelaku usaha dan warga masyarakat yang menjadi lebih sengsara hidupnya. Namun demikian, krisis ekonomi juga membawa berkah yaitu munculnya paradigma-paradigma baru yang ketika itu tidak pernah terbayangkan dapat lahir karena tersumbat oleh kepentingan politik penguasa. Jaminan terhadap hak- hak politik maupun ekonomi telah dikukuhkan melalui berbagai macam undang- undang. Salah satu undang- undang yang mengatur hak-hak ekonomi adalah UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Tujuannya adalah mewujudkan kegiatan usaha dan ekonomi yang efisien dengan cara melarang praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat.

Undang-undang ini memberikan manfaat bagi konsumen (nasabah) karena apabila penerapannya efektif, konsumen akan mempunyai banyak pilihan terhadap barang maupun jasa yang berkualitas dengan harga bersaing. Disisi lain UU No. 5 Tahun 1999 juga memberikan manfaat bagi pelaku usaha karena apabila dijalankan dengan benar maka tidak akan ada hambatan berarti bagi mereka untuk masuk ke berbagai macam industri.

Tulisan ini tidak membahas secara rinci substansi UU No. 5 Tahun 19992 maupun masalah-masalah yang muncul dalam operasionalnya akan tetapi lebih membatasi pada pembahasan implikasi UU No. 5 Tahun 1999 terhadap kegiatan perbankan. Sebagai bacaan pengantar tulisan ini akan membahas beberapa isu yaitu :

a) sejauh mana bank dalam melakukan kegiatannya dapat terjebak pada persaingan tidak sehat dan apa saja bentuk praktek kegiatan perbankan yang dapat dianggap tidak sehat tersebut,

b)sejauhmana ketentuan perbankan yang sekarang berlaku telah cukup mengontrol praktek - praktek tersebut, dan

c), peranan otoritas perbankan (Bank Indonesia) dalam mewujudkan persaingan yang sehat disektor perbankan.


B. BENTUK PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

Sektor perbankan adalah sektor yang penuh dengan ketentuan (regulated industri. Kegiatan di sektor perbankan diatur dalam beberapa undang-undang dan ketentuan lain baik dalam peraturan pemerintah, peraturan Bank Indonesia maupun ketentuanketentuan operasional lainnya. Meskipun demikian, bank dalam melakukan kegiatannya masih dapat terjebak dalam praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999. Beberapa bentuk kegiatan bank yang berpotensi terkena larangan UU Persaingan antara lain tying, perjanjian timbal balik, perjanjian penetapan harga, hambatan masuk, serta kegiatan lain seperti pembatasan produk maupun penggabungan, konsolidasi, dan akuisisi.

1. Tying

Perjanjian tying adalah suatu kesepakatan antara bank dengan nasabahnya yang pada prinsipnya mengharuskan nasabah untuk membeli atau menggunakan jasa lain dari bank tersebut. Jasa lain di sini adalah jasa yang tidak terkait dengan jasa perbankan. Praktek tying dapat muncul dalam berbagai bentuk. Salah satu diantaranya adalah praktek pemberian kredit yang mensyaratkan nasabah untuk wajib menerima pegawai bank pemberi kredit sebagai salah satu manajer di perusahaan nasabah. Contoh lainnya adalah praktek pemberian kredit yang mensyaratkan nasabah untuk membeli salah satu aset bank pemberi kredit. Juga termasuk praktek tying adalah pemberian kredit yang mensyaratkan nasabahnya untuk membeli properti milik salah satu nasabah bank yang gagal bayar.

Praktek tying dapat terjadi meskipun jasa yang harus dibeli atau dibayar oleh nasabah tersebut bukan berasal dari bank pemberi kredit akan tetapi perusahaan lain yang terafiliasi dengan bank tersebut. Salah satu contohnya adalah praktek pemberian kredit dengan keharusan nasabah untuk menggunakan perusahaan asuransi atau perusahaan penilai rekanan bank pemberi kredit tersebut.

Ketentuan pasal 15 ayat (2) Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tidak menyatakan secara tegas bahwa kesepakatan tying dilarang secara mutlak (per se). Rumusannya menunjukkan larangannya bersifat per se karena didalamnya tidak terdapat klausul yang mengharuskan KPPU sebagai otoritas persaingan untuk melihat dampak kesepakatan tying terhadap persaingan.

Dari pendekatan ini maka tying di atas dapat dikatakan melanggar UU No. 5 Tahun 1999. Di beberapa negara larangan kesepakatan tying termasuk larangan yang tidak mutlak(rule of reason) sehingga tidak semua perjanjian tying berakhir pada larangan. Di Amerika Serikat, misalnya, praktek tying seperti disebutkan diatas yaitu pemberian kredit dengan syarat bahwa bank pemberi kredit diperbolehkan menempatkan stafnya menjadi salah satu manajer di perusahaan penerima kredit dapat dibenarkan. Ini terutama apabila keberadaan staf bank tersebut terbatas pada kegiatan usaha yang dibiayai oleh kredit yang disediakan oleh bank dimaksud. Selain itu manajer tersebut tidak mendapatkan gaji dari nasabahnya.

Rasionya adalah kesepakatan tying disini diperlukan untuk mengamankan kelancaran pengembalian kredit. Sebaliknya, dianggap sebagai praktek anti persaingan apabila kesepakatan tying tersebut tidak terkait secara langsung dengan upaya pengamanan kredit atau upaya penyelamatan aset bank pemberi kredit (security of the loan). Praktek yang termasuk dalam kategori ini misalnya praktek pemberian kredit yang mewajibkan nasabah untuk membeli salah satu aset bank pemberi kredit. Praktek demikian tidak relevan dengan keselamatan kredit yang telah dikucurkan pihak bank akan tetapi justru membebani nasabah sehingga dapat mengganggu pengembalian kredit.

Argumen serupa juga berlaku terhadap praktek pemberian kredit yang mewajibkan nasabahnya untuk membeli properti nasabah bank yang gagal membayar kembali hutangnya kepada bank tersebut. Praktek demikian adalah anti persaingan karena pembelian properti tersebut hanya menguntungkan pihak bank dan tidak terkait langsung dengan upaya bank untuk mengamankan kredit yang telah dikucurkan kepada nasabah dimaksud. Di Amerika Serikat praktek demikan dilarang secara mutlak (per se)sehingga badan otoritas persaingan tidak perlu membuktikan dampak praktek tersebut terhadap persaingan karena secara inherent praktek tersebut adalah praktek tidak sehat.

Apabila kesepakatan tying dilarang secara tidak mutlak dan standar diatas diterima maka praktek pemberian kredit yang mensyaratkan nasabah untuk menggunakan jasa menilai atau asuransi rekanan bank pemberi kredit tidak selalu antipersaingan. Hal ini benar terutama karena persyaratan tersebut terkait dengan upaya bank untuk menjamin pengembalian kredit yang telah dikucurkan. Penggunaan perusahaan rekanan barangkali dimaksudkan sebagai upaya bank untuk menjamin bahwa nilai jaminan kreditnya adalah nilai yang benar serta ditutup oleh perusahaan asuransi yang bonafid.

Praktek tying yang terakhir ini telah masuk ke KPPU beberapa waktu yang lalu yaitu kasus penunjukan perusahaan penilai di lingkungan Bank Mandiri dan penunjukan perusahaan asuransi di lingkungan Bank Negara Indonesia (BNI). Dalam kasus pertama, Pelapor menyatakan antara lain bahwa Bank Mandiri melakukan praktek tidak sehat karena memaksa nasabah untuk menggunakan satu diantara lima rekanan perusahaan penilai. KPPU menetapkan untuk tidak meneruskan perkara ini ke Pemeriksaan Lanjutan karena tidak ditemukan bukti pendukung yang menunjukkan adanya kewajiban nasabah untuk menggunakan salah satu rekanan penilai Bank Mandiri.

Dalam kasus kedua, pelapor antara lain menyatakan hal yang serupa sebagaimana yang terungkap pada kasus pertama yaitu bahwa BNI melakukan praktek tidak sehat karena memaksa nasabahnya untuk menggunakan satu diantara sejumlah perusahaan jasa asuransi yang telah ditunjuk. KPPU menolak argumen pelapor karena dari pemeriksaan tidak ditemukan bukti bahwa BNI memaksa nasabahnya untuk menggunakan perusahaan asuransi yang telah menjadi rekanannya. KPPU menemukan bahwa nasabah dapat membawa perusahaan asuransi lain diluar rekanan BNI. Tidak kurang dari 40 perusahaan asurador yang dibawa oleh nasabahnya untuk terlibat dalam kegiatan penyaluran kredit BNI.

Di Amerika Serikat, kewajiban untuk menggunakan perusahaan asuransi atau penilai rekanan bank tidak selalu dianggap kegiatan antipersaingan. Ini dapat dimengerti karena di Amerika Serikat tindakan tying tidak dilarang secara per se. Tying demikian dapat dibenarkan apabila terkait dengan upaya bank menyelamatkan pengembalian kredit. Menurut Penulis tying berupa kewajiban nasabah untuk menggunakan perusahaan asuransi atau penilai rekanan bank ini termasuk tindakan ntipersaingan apabila nasabah dapat menemukan, misalnya, perusahaan penilai diluar perusahaan rekanan bank yang bersedia memberikan fee yang lebih kompetitif, tingkat akurasi yang lebih baik, serta lebih transparan dalam menetapkan kriteria penilaian.

2. Perjanjian timbal balik (reciprocity agreement)

Praktek lain di sektor perbankan yang sering kali menimbulkan isu persaingan adalah kesepakatan timbal-balik (reciprocity agreement). Praktek ini biasanya berupa kesepakatan antara bank dengan nasabahnya yang pada intinya mengharuskan nasabah untuk menyediakan jasa tambahan kepada bank pemberi kredit atau kelompoknya. Salah satu contohnya adalah kesepakatan antara bank dan nasabahnya yang mewajibkan nasabah bank untuk mendapatkan jaminan tambahan dari perusahaan afiliasinya atau perusahaan lain dalam satu kelompok. Contoh lainnya adalah perjanjian antara bank pemberi kredit dengan nasabahnya yang mewajibkan nasabah tersebut untuk mengambil alih utang (swap) perusahaan yang sedang dalam proses pisah dengan perusahaan nasabah tersebut. Juga termasuk dalam praktek ini adalah pemberian kredit dengan syarat perusahaan debitor bersedia melakukan restrukturisasi dalam bentuk menggunakan manajer keuangannya dari luar perusahaan untuk mengoperasikan perusahaannya.

Undang- undang No. 5 Tahun 1999 tidak mengatur secara tegas tentang perjanjian timbal balik ini. Penulis berpendapat bahwa praktek perjanjian timbal- balik tidak selalu berarti anti persaingan. Ini benar terutama apabila perjanjian tersebut dimaksudkan sebagai upaya untuk menyelamatkan pengembalian kredit yang disalurkan (to secure the loan). Satu hal yang perlu dicatat dari praktek di Amerika Serikat adalah bahwa praktek tying maupun perjanjian timbal balik dapat saja dinyatakan melanggar ketentuan persaingan meskipun nasabah merasa tidak dipaksa. Adanya persyaratan yang mengarah kepada tying maupun perjanjian timbal balik sudah cukup menjadi alasan terjadinya pelanggaran terhadap hukum persaingan.

3. Perjanjian Penetapan Harga

Praktek lain di sektor perbankan yang sering melibatkan isu persaingan adalah kegiatan penetapan besaran biaya jasa perbankan khususnya besaran bunga baik kredit maupun simpanan. Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999 secara tegas melarang pelaku usaha termasuk bank untuk membuat kesepakatan baik tertulis maupun tidak tertulis untuk menetapkan harga atau ongkos transaksi termasuk besaran bunga yang harus dibayar oleh nasabah.11 Praktek ini disebut juga sebagai kesepakatan kartel harga. Dari segi rumusannya pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999 menetapkan larangan kartel harga bersifat mutlak dan larangan ini hanya dapat diterobos melalui sebuah undang-undang bukan ketentuan lain.

Apakah kesepakatan antar bank mengenai hal-hal lain diluar harga dan bunga akan tetapi secara tidak langsung terkait dengan dua hal ini juga tidak dapat dibenarkan?

Jawabannya tentu saja tidak dapat digeneralisir karena harus dianalisa case-by-case.
Juga, belum terdapat jurisprudensi khususnya di KPPU yang dapat dipakai sebagai pegangan. Praktek di Amerika Serikat menunjukkan bahwa kesepakatan antar bank mengenai ketentuan yang tidak terkait langsung dengan fee dan bunga tidak termasuk kesepatakan yang dilarang. Kesepakatan tersebut diantaranya adalah kesepakatan tentang batas minimal saldo, ketentuan kolateral, isi perjanjian kredit, pembatasan pengambilan deposito berjangka, persyaratan kredit dalam kredit oleh sebuah konsorsium bank (multi-bank credits/ syndicated loan), dan persyaratan restrukturisasi utang nasabah yang terancam pailit.

Satu hal yang perlu dicatat disini adalah bahwa bukan kesamaan besaran bunga yang menjadi masalah akan tetapi bagaimana besaran bunga tersebut dapat tercapai. Apabila besaran tersebut terjadi karena adanya kesepakatan diantara bank yang seharusnya bersaing, maka kesepakatan tersebut tidak dapat dibenarkan. Mungkin benar bahwa adanya kesamaan besaran bunga antara bank satu dengan bank lain tidak berarti menunjukkan adanya kartel karena dapat saja terjadi bank dalam menentukan besaran bunga menggunakan acuan yang sama misalnya tingkat bunga Sertifikat Bank Indonesia. Namun demikian kesamaan tingkat bunga tersebut dapat merupakan alasan kuat bagi KPPU untuk meminta klarifikasi terhadap bank-bank yang menerapkan suku bunga yang sama.

Apabila ini yang terjadi maka secara hukum bank-bank tersebut wajib memberikan klarifikasi.13 Dalam pasar yang bersaing, kecil kemungkinan tercipta harga yang persis sama untuk suatu produk apabila tidak terdapat kesepakatan diantara para pelaku usaha. Salah satu pedoman yang perlu diketahui adalah agar tidak terancam dengan perbuatan penetapan harga yang dilarang maka bank perlu meyakinkan dirinya bahwa besaran biaya transaksi maupun bunganya ditentukan berdasarkan keputusan unilateral bank itu sendiri.

4. Hambatan Masuk (entry barrier)

Dalam kasus yang melibatkan Bank Mandiri diatas, Pelapor juga menyatakan bahwa Bank Mandiri melakukan praktek tidak sehat karena menciptakan hambatan bagi perusahaan penilai non-rekanan untuk masuk menjadi rekanan. Hambatan tersebut kata Pelapor dilakukan antara lain dengan cara tidak mengumumkan secara terbuka penerimaan rekanan perusahaan penilai, menetapkan spesialisasi tertentu sehingga hanya perusahaan tertentu yang dapat memenuhinya, serta membuat perjanjian dengan perusahaan penilai untuk melayani kebutuhan jasa penilaian properti. KPPU menolak argumen Pelapor yang menyatakan antara lain bahwa spesialiasi yang ditetapkan oleh Bank Mandiri sebagai bentuk hambatan masuk bagi perusahaan penilai non-rekanan.

Penulis menilai putusan ini adalah tepat karena spesialisasi tersebut diperlukan untuk akurasi sebuah penilaian. Dalam kasus ini KPPU menemukan bahwa Bank Mandiri tidak transparan dalam menunjuk perusahaan penilai karena pengadaannya tidak diumumkan secara terbuka serta bobot nilai untuk masing- masing kriteria tidak disampaikan kepada perusahaan pemohon. Oleh karena itu, dalam kasus ini, KPPU minta kepada Bank Mandiri untuk mengumumkan secara terbuka kegiatan pengadaan perusahaan rekanan penilai sehingga seluruh perusahaan penilai mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi rekanan Bank Mandiri.

Masalah serupa juga muncul dalam kasus yang melibatkan BNI diatas. Pelapor dalam kasus ini menyatakan bahwa BNI melakukan praktek tidak sehat karena menciptakan hambatan bagi perusahaan asuransi non-rekanan untuk menjadi rekanan di lingkungan BNI. Hambatan tersebut kata Pelapor dilakukan oleh BNI dengan cara antara lain membuat perjanjian penutupan perjanjian asuransi dengan empat perusahaan asuransi yaitu PT Asuransi Tri Pakarta, PT Maskapai Asuransi Indonesia, PT Asuransi Wahana Tata, serta PT Jasa Asuransi Indonesia sehingga perusahaan asuransi lain tidak mendapatkan kesempatan untuk menjadi perusahaan rekanan. KPPU berpendapat bahwa pembuatan perjanjian hanya dengan 4 perusahaan asurador sangat berpotensi menimbulkan hambatan masuk bagi perusahaan asurador lainnya serta berpotensi terjadinya diskriminasi. Karena itu KPPU minta kepada BNI untuk menghilangkan ketentuan yang mempunyai potensi menghambat perususahaan non rekanan menjadi rekanan BNI. Atas permintaan tersebut BNI membatalkan seluruh perjanjian yang dibuat sebelumnya dengan 4 perusahaan asuransi diatas.

5. Praktek Perbankan Lainnya

Praktek perbankan yang berpotensi menimbulkan persaingan tidak sehat bukan hanya terbatas pada beberapa kegiatan yang disebutkan diatas akan tetapi lebih dari itu. Rangkap jabatan adalah salah satu dari sekian praktek yang perlu mendapatkan perhatian karena rangkap jabatan akan mempermudah bank untuk saling melakukan tindakan terkoordinasi (concerted actions) misalnya tentang tingkat bunga. Joint ventures antara bank dengan penyedia kartu kredit dalam fee-setting arrangement serta keanggotaan eksklusif juga seringkali menimbulkan isu persaingan tidak sehat. Kesepakatan antar bank untuk membatasi suatu produk juga merupakan tindakan tidak sehat yang dalam beberapa negara sering terjadi. Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa di beberapa negara misalnya di Amerika Serikat kesepakatan untuk membatasi produk ini tetap dilarang meskipun kesepakatan tersebut tidak menguntungkan bank-bank yang melakukan kesepakatan. Kesepakatan lainnya misalnya untuk secara bersama- sama tidak memberikan kredit kepada satu kelompok pelaku usaha (refusal to deal) juga dapat menjadi antipersaingan. Satu prinsip yang perlu mendapatkan perhatian adalah bahwa tindakan bank baik pembatasan produk maupun penolakan permohonan jasa bank, apabila harus dilakukan oleh bank, harus diputuskan berdasarkan putusan independen dan unlilateral bank itu sendiri dan tidak dilakukan melalui kesepakatan sejumlah bank.

Praktek lain yang sangat berpotensi menimbulkan praktek tidak sehat adalah penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan bank. Meskipun telah banyak ketentuan yang mengaturnya potensi penggabungan atau akuisisi untuk menimbulkan persaingan tidak sehat sangat besar. Oleh karena itu UU No. 5 Tahun 1999 juga mengatur mengenai hal ini. Dikatakan bahwa penggabungan, peleburan, dan pengambil alihan saham bank dilarang apabila tindakan- tindakan tersebut mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Sampai saat ini belum ada jurisprudensi yang dikeluarkan oleh KPPU sehingga belum terdapat standar untuk menentukan apakah suatu merger melanggar ketentuan persaingan. Standar utamanya adalah bahwa perusahaan yang melakukan merger harus dapat meyakinkan KPPU, apabila diminta, bahwa merger yang dilakukannya adalah untuk tujuan efisiensi dan bukan untuk meningkatkan konsentrasi atau penguasaan pasar. Ketentuan pasal 29 UU No. 5 Tahun 1999 menentukan bahwa pelaku usaha wajib memberitahukan kepada KPPU apabila tindakan peleburan, konsolidasi, atau pengambilalihan saham yang dilakukan mengakibatkan nilai aset dan atau omzet melebihi nilai tertentu. Batas nilai ini akan ditentukan kemudian melalui peraturan pemerintah. Pemberitahuan tersebut harus dilakukan paling lambat 30 hari sejak tanggal tindakan-tindakan tersebut dilakukan.

Banyak masalah terkait dengan merger, konsolidasi, maupun akuisisi yang memerlukan pengaturan atau pedoman lebih lanjut. Masalah-masalah yang belum jelas tersebut diantaranya merger bank dalam melaksanakan program pemerintah atau atas saran Bank Indonesia. Apakah merger yang demikian tidak tunduk pada ketentuan UU No. 5 Tahun 1999? Juga belum jelas adalah merger yang terjadi sebelum UU No. 5 Tahun 1999 lahir akan tetapi dampak dari merger tersebut baru dirasakan beberapa tahun setelah itu yaitu ketika UU No. 5 Tahun 1999 telah efektif. Ini hanyalah beberapa hal yang belum jelas dan karena itu instansi terkait perlu segera menyusun pedomannya.

C. SUBSTANSI KETENTUAN DAN KEBIJAKAN PERBANKAN

Menarik mengkaji substansi ketentuan perbankan yang sekarang berlaku dikaitkan dengan persoalan persaingan usaha. Meskipun ada yang sejalan dalam banyak hal persaingan usaha berada diluar koridor ketentuan perbankan yang sekarang berlaku.

1. Cakupan Ketentuan
Ketentuan perbankan adalah salah satu bidang hukum yang cepat perkembangannya dengan cakupan pengaturan yang luas dan rinci sehingga hampir seluruh aspek dan gerak perbankan telah tersedia ketentuan dengan rinci. Namun demikian ketentuan yang ada tidak efektif untuk mencegah terjadinya praktek tidak sehat di sektor perbankan. Bukan karena tidak berkualitas akan tetapi dari segi substansinya ketentuan yang sekarang berlaku tidak dimaksudkan untuk mengatur masalah persaingan di sektor perbankan. Beberapa ketentuan, apabila tidak disempurnakan, dapat menimbulkan persoalan persaingan. Ketentuan perbankan, setidak-tidaknya sampai dengan sekarang, selain masalah perizinan pada intinya mengatur dua hal utama yaitu kesehatan bank dan tegaknya prinsip kehati-hatian (prudent) dalam kegiatan perbankan.16 Ketentuan- ketentuan tentang kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, serta solvabilitas adalah beberapa ketentuan yang pada intinya dimaksudkan untuk mewujudkan bank yang sehat.17 Ketentuan lain misalnya tentang sumber dana dan syarat- syarat yang harus dipenuhi oleh pemilik bank juga dimaksudkan guna menjamin agar bank yang beroperasi di Indonesia adalah bank yang sehat.

Prinsip kehati-hatian adalah segalanya dalam kegiatan perbankan. Secara tegas UU Perbankan menyatakan bahwa “perbankan dalam melakukan usahanya menggunakan prinsip kehati-hatian.”19 Prinsip ini kemudian dirumuskan lebih lanjut kedalam ketentuan - ketentuan normatif lainnya misalnya agar tidak mengalami persoalan likuiditas, bank tidak diperbolehkan mengucurkan kredit melebihi batas maksimum pemberian kredit (BMPK).202.
Pro-Persaingan Satu hal yang menarik adalah meskipun bukan dimaksudkan untuk mencapai tujuan persaingan beberapa ketentuan perbankan yang sekarang ada sejalan dengan ketentuan hukum persaingan. Ini terlihat paling tidak pada dua hal yaitu kebebasan untuk masuk ke industri perbankan serta hilangnya konsentrasi kegiatan perbankan dikelompok-kelompok tertentu.

Liberalisasi perbankan pada tahun 1988 telah mengubah struktur industri perbankan di Indonesia. Meskipun banyak yang tidak beroperasi lagi akibat krisis moneter liberalisasi telah mengantar Indonesia untuk memiliki tidak kurang dari 130 bank. Kebijakan untuk tetap membuka kemungkinan berdirinya bank baru juga sejalan dengan prinsip persaingan meskipun dengan batas minimum modal disetor yang cukup tinggi yaitu 3 triliun rupiah.

Hal lain dari ketentuan perbankan yang sejalan dengan prinsip persaingan adalah dihambatnya konsentrasi kegiatan perbankan pada kekuasaan pemilik modal tertentu. Ini dapat dilihat misalnya dari ketentuan keharusan mendapatkan izin dari Bank Indonesia bagi pemilik modal yang ingin memiliki saham bank baik melalui pembelian langsung maupun melalui bursa.21 Meskipun tidak melarang akan tetapi ketentuan ini paling tidak mendiscourage pemilik modal untuk menguasai sektor perbankan. Ketentuan lain yang pada intinya anti konsentrasi adalah larangan bagi anggota direksi bank untuk menduduki jabatan yang sama pada bank lain.22 Beberapa ketentuan yang mengatur tentang penggabungan, konsolidasi bank juga mencegah terjadinya konsentrasi kegiatan perbankan. Ini terlihat misalnya dari ketentuan yang melarang bank untuk melakukan penggabungan atau konsolidasi apabila jumlah aktiva hasil dari langkah tersebut melebihi 20% dari jumlah aktiva seluruh bank di Indonesia.

Pengembangan perbankan kedepan nampaknya juga diarahkan untuk sejalan dengan tujuan-tujuan persaingan. Bank Indonesia telah menetapkan masalah persaingan usaha menjadi salah satu dari 6 langkah prioritas pemulihan perbankan kedepan. Tentu saja masih harus lihat perkembangan berikutnya apakah langkah- langkah prioritas ini akan diwujudkan dalam program- program lanjutan. Pertanyaannya adalah apakah liberalisasi dan pencegahan terhadap konsentrasi kegiatan perbankan telah cukup untuk memfasilitasi tercapainya tujuan-tujuanpersaingan dalam perbankan? Tentu saja jawabannya cukup jelas bahwa hal tersebut tidaklah cukup. Istilah seperti “tingkat persaingan” yang disebutkan dalam ketentuan pendirian izin bank atau kantor cabang25 maupun “praktek perbankan yang sehat”. terkait dengan tugas pengawasan oleh Bank Indonesia bukan dimaksudkan sebagai persaingan usaha sebagaimana dimaksudkan dalam UU No. 5 Tahun 1999 akan tetapi lebih sebagai demand jasa perbankan dan kesehatan bank. Dalam ketentuan normatif perbankan persaingan usaha hanya disinggung dalam ketentuan yang mengatur tentang penggabungan, konsolidasi dan akuisisi.27 Rumusannya juga terlalu singkat dan tidak diikuti dengan ketentuan implementasi yang lebih rinci.

3. Hambatan Terhadap Persaingan?

Beberapa ketentuan perbankan yang sekarang berlaku dapat menjadi hambatan untuk masuk (entry barrier) sektor perbankan. Ketentuan seperti pembatasan bagi orang asing untuk menjadi pemilik bank di Indonesia28 adalah hambatan persaingan bagi bankir asing di pasar Indonesia. Walaupun bagi bank umum aturan mengenai kepemilikan pihak asing telah semakin longgar, yaitu dengan dimungkinkannya kepemilikan asing sampai dengan 99% dari seluruh saham bank, namun dilain pihak dalam Schedule of Commitment (SOC) Indonesia dalam GATS/WTO jumlah kepemilikan asing masih dibatasi maksimum sebesar 49% dari saham bank yang go public. Hambatan bagi bankir asing lebih terasa untuk kepemilikan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) karena hanya orang Indonesia yang diperbolehkan mendirikannya.
Penulis sangat setuju dengan harapan agar hanya orang Indonesia yang menjadi pemilik BPR. Akan tetapi perlu dilakukan kajian apakah tujuan ini hanya bisa dicapai melalui proteksi kepemilikan. Akan menjadi persoalan baru di perbankan ketika bank yang kita proteksi tidak ada yang sehat. Secara teori pasar dapat mengeliminir pihak asing untuk menjadi pemilik BPR. Misalnya, karena nilai ekonominya kecil pihak asing tidak akan tertarik untuk masuk ke usaha BPR.

Deputi Gubernur Senior BI Anwar Nasution pernah melontarkan uneg-unegnya bahwa kinerja bank pemerintah akan meningkat apabila dikelola oleh pihak swasta bahkan dapat lebih baik apabila dimiliki oleh pihak asing. Kepemilikan oleh pihak asing akan menguntungkan karena akan ada transfer of technology. Anwar Nasutionmenambahkan bahwa salah satu keuntungan bank dimiliki oleh asing seperti di New Zealand dan Czeh Republic pemerintah tidak perlu mengadakan program penjaminan seperti blanket guarantee.

Dari segi ekonomi politik ketentuan tentang pembatasan kepemilikan bank oleh orang asing sah-sah saja. Akan tetapi dari segi ekonomi atau persaingan ketentuan tersebut adalah hambatan untuk masuk (entry barrier) kedalam industri perbankan dan karena itu mengurangi persaingan di sektor perbankan. Akan tetapi ketentuan tersebut juga sekaligus sebagai proteksi terutama bagi orang Indonesia yang memiliki BPR. Selain itu terdapat juga ketentuan lain yang menimbulkan hambatan bagi bank untuk masuk ke jasa tertentu. Ketentuan yang demikian dapat kita lihat misalnya dari kebijakan untuk hanya memberikan izin kepada bank-bank tertentu untuk menyalurkan kredit dengan jaminan SK pensiun bagi pensiunan PNS dan ABRI.31 Ketentuan ini jelas menjadi hambatan bagi bank- bank lain yang tidak ditunjuk untuk dapat menyalurkan kredit dengan jaminan SK pensiun. Atas permintaan KPPU pembatasan ini telah dinyatakan tidak berlaku.

Satu hal yang perlu dicatat disini adalah terdapat ketentuan perbankan yang apabila tidak diatur lebih lanjut dengan lebih rinci justru akan mempermudah bank untuk melakukan tindakan kartel atau bahkan boikot. Tukar-menukar informasi tentang keuangan nasabah bank adalah sesuatu yang diperlukan untuk mengamankan kredit yang hendak dikucurkan oleh bank.33 Akan tetapi apabila tidak diatur dengan lebih rinci ketentuan ini dapat berfungsi sebagai medium bagi bank untuk melakukan boikot terhadap nasabah tertentu.

D. OTORITAS PENGAWAS

Berdasarkan ketentuan perbankan yang sekarang berlaku badan otoritas pengawas perbankan yaitu Bank Indonesia (BI) tidak mempunyai tugas untuk mengawasi sejauhmana bank dalam melakukan kegiatannya dapat menimbulkan praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Seperti dikemukakan diatas, cakupan tugas pengawasan meliputi dua hal yaitu sejauhmana bank dalam melakukan kegiatannyaberada dalam keadaan sehat dan sejauhmana bank dalam melakukan kegiatannya memperhatikan prinsip kehati-hatian (prudent).

Keterlibatan BI dengan isu persaingan terbatas pada kegiatan tertentu yaitu ketika terjadi merger, konsolidasi, dan akuisisi bank. Banyak hal yang belum jelas dengan ketentuan ini misalnya apakah dalam menentukan ada atau tidak-adanya dampak negatif terhadap persaingan suatu merger bank, BI akan melakukan analisa sendiri, ataukah menyerahkan kepada otoritas persaingan yaitu KPPU untuk menganalisanya? Apabila BI melakukan analisa sendiri, apakah standar analisanya sama dengan standar analisa yang diterapkan oleh KPPU? Apabila analisa persaingan merger bank diserahkan sepenuhnya kepada KPPU apakah BI dalam memberikan rekomendasi harus menunggu hasil analisa KPPU ataukah rekomendasi dikeluarkan sambil menunggu analisa KPPU?

Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 KPPU berwenang untuk menilai merger, konsolidasi, maupun akuisisi pelaku usaha termasuk bank. Untuk efektifitas ketentuan ini KPPU perlu melakukan koordinasi dengan lembaga otoritas lainnya karena dalam kegiatan merger beberapa lembaga otoritas lain juga terlibat. Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa persaingan sehat dan bank sehat adalah dua hal yang berbeda. Menentukan sehat-tidaknya persaingan bank berarti melihat conduct atau perilaku bank dengan melihat misalnya apakah ketika menetapkan besaran bunga kredit, bank melakukan koordinasi dengan bank lain ataukah diputuskan berdasarkan keputusan individu bank tersebut. Ukuran sejauhmana bank dalam melakukan persaingan adalah termasuk persaingan yang sehat ditentukan oleh UU No. 5 Tahun 1999.

Sementara itu, menentukan sehat-tidaknya suatu bank berarti melihat bank sebagai pelaku usaha dengan melihat misalnya kecukupan modal, kualitas aset, atau rasio NPL, prosentasi ROA, prosentasi CAR, atau mungkin rasio LDR. Ukuran sejauhmana bank adalah termasuk bank yang sehat ditentukan oleh ketentuan perbankan. Apakah sistem pengawasan seperti sekarang akan efektif untuk menjamin adanya persaingan yang sehat di sektor perbankan? Tentu saja hal ini sangat tergantung pada banyak faktor. Faktor pertama adalah kesadaran pelaku usaha dalam hal ini bank itu sendiri. Kerja keras otoritas persaingan akan membawa hasil maksimal apabila dari bank sendiri muncul kesadaran untuk melakukan persaingan yang sehat.

Faktor kedua adalah peranan otoritas pengawas perbankan dalam hal ini BI. Banyak hal yang dapat dilakukan oleh BI misalnya advokasi pentingnya persaingan sehat di lingkungan perbankan. Advokasi ini dapat dilakukan dengan cara misalnya menjadikan hukum dankebijakan persaingan sebagai bagian dari materi pendidikan staf maupun pimpinan bank. Disamping itu BI juga dapat berperan sebagai pemberi info untuk otoritas persaingan (KPPU) akan adanya indikasi persaingan tidak sehat. Di Amerika Serikat otoritas pengawas perbankan mempunyai tugas untuk meneliti isu persaingan khususnya tying agreement, reciprocity agreement, dan exclusive dealing. Ketika menemukan indikasi pelanggaran mereka menyerahkannya kepada otoritas persaingan. Apabila ini yang hendak kita kembangkan kedepan maka tentu saja perlu ada revisi terhadap UU Perbankan.

Bank Indonesia mempunyai peranan penting dalam menjamin perlindungan terhadap persaingan dalam kegiatan merger, konsolidasi, maupun akusisi bank. Seperti dikemukakan didepan BI dapat saja melakukan analisa sendiri, bekerjasama dengan KPPU, atau menyerahkan kepada KPPU untuk melakukan analisa aspek persaingan dari kegiatan merger dimaksud.

Faktor ketiga adalah faktor menteri keuangan. Menteri Keuangan mempunyai peranan penting karena seperti dikutip diatas hambatan masuk (entry barrier) bagi bankir dapat saja muncul dari kebijakan pemerintah. Akan tetapi menteri keuangan juga mempunyai peranan penting terutama dalam kegiatan merger, konsolidasi dan akuisi karena izin untuk kegiatan-kegiatan tersebut dikeluarkan oleh menteri keuangan dengan rekomendasi BI. Akan timbul masalah ketika Menteri Keuangan dalam memberikan izin merger tidak memperhatikan aspek persaingan dan ketika bank hasil merger tersebut melakukan kegiatannya KPPU sebagai otoritas persaingan menemukan bahwa merger tersebut melanggar UU No. 5 Tahun 1999 sehingga dibatalkan. Oleh karena itu Menteri Keuangan sepatutnya mendengar terlebih dahulu pendapat dari KPPU sebelum mengeluarkan izin merger bank.

Faktor lainnya tentu saja efektifitas KPPU. KPPU harus memiliki kemampuan untuk melakukan penyelidikan dugaan anti persaingan disektor perbankan. Akan tetapi tidak kalah pentingnya KPPU harus didukung oleh personil yang mempunyai integritas dan standar moral yang tinggi. Tanpa ini KPPU tidak akan efektif dalam melaksanakan tugasnya.

E. PENUTUP

Meskipun tergolong regulated industry, bank sebagai pelaku usaha tidak terbebas dari kegiatan usaha yang menimbulkan praktek monopoli atau persaingan tidak sehat. Masalah persaingan usaha belum mendapatkan pengaturan yang cukup dalam ketentuan perbankan yang sekarang berlaku. Oleh karena itu diperlukan berbagai macam perubahan baik substansi ketentuan perbankan maupun kelembagaan.Dari segi substansi, ketentuan dan kebijakan perbankan perlu dikaji kemudian diselaraskan dengan tujuan UU No. 5 Tahun 1999. Ketentuan-ketentuan yang melahirkan hambatan masuk ke sektor perbankan perlu segera dikaji untuk kemudian dihilangkan secara bertahap. Selain itu, ketentuan yang bersifat protektif juga perlu dikaji untuk mengetahui sejauhmana ketentuan tersebut masih diperlukan dan sejauhmana efektif untuk mencapai tujuannya.

Dalam konteks ini maka beberapa ketentuan seperti pembatasan kepemilikan bank oleh pihak asing, program subsidi seperti blanket guarantee, serta ketentuan-ketentuan khusus bagi bank asing perlu dilakukan pengkajian sejauhmana ketentuan-ketentuan tersebut masih diperlukan dan efektif untuk mencapai tujuannya. Dari segi kelembagaan, perlu ada forum atau media bagi otoritas perbankan (BI) dan otoritas persaingan (KPPU) untuk melakukan koordinasi secara efektif. Seperti dikemukakan diatas, tujuan UU No. 5 Tahun 1999 tidak akan tercapai tanpa ada dukungan dari lembaga-lembaga terkait. Melalui BI kegiatan-kegiatan strategis seperti advokasi dan sosialisasi secara efektif dapat dilakukan di lingkungan perbankan. Melalui BI internalisasi kebijakan persaingan dalam kebijakan perbankan juga akan efektif dapat dilakukan. Dan tidak kalah pentingnya, melalui BI perubahan budaya menuju budaya persaingan sehat dapat diupayakan melalui berbagai media misalnya pelatihan perbankan baik untuk staf maupun pimpinan bank. Dengan pendekatan - pendekatan tersebut diharapkan sektor perbankan menjadi lebih sehat dan dalam melakukan kegiatan usahanya dijalankan melalui persaingan yang sehat.

(Oleh: Syamsul Maarif, S.H., LL.M., DCL)

3 komentar:

  1. RUMAH SAKIT ISLAM SAKINAH MOJOKERTO
    Jalan RA Basuni 12 Sooko
    Kabupaten Mojokerto
    Jawa Timur indonesia
    Phone: (0321) 321922, 326991, 329669. Sms:085648280307
    Fax: (0321) 329670
    Email: rsisakinah@telkom.net

    BalasHapus
  2. terimakasih, artikel nya sangat membantu dalam referensi tugas.

    BalasHapus