Senin, 30 Maret 2009

TINJAUAN TERHADAP KEJAHATAN PERBANKAN


Akhir-akhir ini masyarakat dikejutkan oleh berbagai skandal perbankan bernilai ratusan miliar hingga triliunan rupiah yang terjadi pada bank milik pemerintah. Dalam perekonomian nasional yang masih belum lepas dari krisis, berita skandal perbankan yang merugikan negara triliunan rupiah itu tentu saja sangat mengusik rasa keadilan masyarakat.
Saat hidup dirasakan sulit, begitu banyak orang yang mencari jalan ke luar dengan memanfaatkan jabatan melalui kolusi dengan oknum karyawan/pengurus bank. Uang rakyat dengan gampangnya dirampok dalam jumlah sangat besar.
Banyak modus operandi yang dilakukan dalam kejahatan ini, dari mulai pemalsuan dokumen bank, penerbitan L/C fiktif, pengucuran kredit kepada perusahaan fiktif, mendirikan bank gelap, menyengaja agar cicilan kredit bermasalah dan perusahaan dinyatakan pailit, pengajuan kredit dengan jaminan bodong, tindak kejahatan melalui internet banking, kejahatan melalui pemalsuan surat berharga (obligasi dan reksadana) dan valuta asing.
Terungkapanya beberapa kasus pada sejumlah bank di Indonesia yang diindifikasi telah melakukan kejahatan di bidang perbankan atau lajimnya disebut kejahatan perbankan. Yang dikategorikan sebagai kejahatan di bidang perbankan berdasarkan Undang-Undang No 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan tidak memberikan definisi yang tertentu tentang kejahatan perbankan. Undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan hanya menetapkan Pasal 46 sampai dengan Pasal 50A adalah kejahatan yang disebutkan pada Pasal 51 Undang-Undang No 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyebutkan bahwa :

“Tindak pidana yang dimaksud dalam pasal 46, Pasal 47, Pasal 48 ayat (1), Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 50 A adalah kejahatan”.

Definisi kejahatan perbankan berdasarkan Undang-Undang No 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No 10 Tahiun 1998 tentang Perbankan tidak memeberika definisi yang tertentu tentang kejahatan perbankan. Meski tidak memberikan definisi tentang kejahatan perbankan, UU perbankan menetapkan 13 definisi dari pasal 46 sampai dengan Pasal 50A. Ketiga belas kejahatan perbankan tersebut dapat digolongkan kepada 4 macam yaitu :

  1. kejahatan yang berakitan degan perizinan
  2. Kejahatanyang berkaitan degan rahasia bank
  3. Kejahatan yang berkaitan degan administrasi, pengawasan dan pembinaan.
  4. Kejahatan yang berkaitan dengan usaha bank

Dengan meningkatnya kejahatan di bidang perbankan yang baik dilakukan oleh pengurus-pengurus bank, bankir-bankir yang memanfaatkan bank yang dikelolanya dijadikan alat untuk memperkaya diri sendiri atau kepentingan diri sendiri sebagaimana contoh telah diuraikan sedikit diatas maupun sebagai jawaban atas meningkatnya resiko yang dihadapi oleh perbankan maka diperlukan suatu pengawasan dan pembinaan yang baik terhadap bank yang merupakan kewenangan Bank Indoensia dan juga penigkatan prinsip kehati-hatian oleh pihak bank sendiri di dalam menjalankan usahanya.

Tinjauan Umum Tentang Kejahatan Perbankan

Bila didefinisikan dari kejahatan bisnis dari beberapa literature dapat disimpulan bahwa kejahatan bisnis yaitu kejahatan yang timbul dari praktek praktek bisnis. termasuk juga kejahatan perbankan termasuk didalamnya contoh dari kejahatan di dalam dunia bisnis. Sedangkan, bisnis itu merupakan salah satu aktivitas usaha yang utama dalam menunjang perkembangan ekonomi.

Kata “bisnis” diambil dari bahasa Inggris bussines” yang berarti kegiatan usaha. Istilah bisnis yang dimaksudkan adalah suatu urusan atau kegiatan dagang, industri atau keuangan yang dihubungkan dengan produksi atau pertukaran atau jasa. dengan menempatkan uang dari para entrepreneur dalam risiko tertentu dalam usaha tertentu dengan motif untuk mendapatkan keuntungan. Begitu juga dengan perbankan yang merupaka kegiatan usaha di bidang jaa yang tujuan utamanya mencari keuntungan, jadi dapat disimpulkan disini kejahatan perbankan merupakan bagian dari kejahatan bisnis.

Pengertian kejahatan bisnis sendiri, dapatlah ditarik dari makna kata “kejahatan” dan “bisnis”. Jadi Kejahatan Bisnis adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan dalam arti luas (hukum), bersifat melawan hukum dan diancam dengan hukuman pidana yang dilakukan baik oleh perorangan maupun perusahaan dalam aktivitas perdagangan (bisnis) yang di dalamnya meliputi: pekerjaan, profesi, penghasilan, mata pencaharian dan keuntungan, dll.

Dalam Hal terjadinya suatu Tindak Pidana Perbankan yang dilakukan oleh orang dalam terdapat beberapa undang-undang yang dapat dan biasanya diterapkan yaitu :

  1. Kitab Undang-Undang hukum Pidana, Ketentuan KUHP yang biasa dipakai misalnya Pasal 263 (pemalsuan), Pasal 372 (penggelapandalam jabatan), 378 (penipuan). 362 (pencurian) Dll. Pasal-pasal KUHP diterapkan biasanya apabila bank menjadi korban dari suatu tindak pidana.
  2. Undang-Undang Pemberantasa Tindak Pidana Korupsi. Diterpkan terhadap kasus-kasus yang menimpa bank pemerintah, Undang-Udnag ini untuk mempermudahkan menjerat para pelaku, mengenakan hukuman yang berat dan memperoleh uang penggnti atas kerugian Negara.

UU Perbankan. Ketentuan dalam Undang-Undang ini biasanya diterapkan apabila komisaris, Direksi, Pegawasi dan Pihak terafilasi dengan bank (orang dalam) atau orang yang mengaku menjalankan usaha bank sendiri sebagai pelakunya.

Berkenaan dengan pasal pasal mengenai tindak pidana perbankan, perubahan yang cukup signifikan yang terdapat dlam Undang-Undang No 10 1998 tentang perubahan Undang-Undang No 7 Tahun 1992 tentang perbankan adalah mengenai pengenaan sanksi yang jauh lebih berat dan ditetapkan minimun dan maksimum dalam hal terjadi tindak pidana di bidang perbankan.

Tidak semua pasal dari undang-undang perbankan dapat menjerat pelaku tindak pidana sebagai mana diatur pasal 49 dan 50 UU no. 10 tahun 1998. maka sepanjang tidak diatur oleh UU ini dapat diterapan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Seperti tindak pidana yang berkaitan dengan tindakan pemalsuan dokumen atau warkat, maka dapat diberlakukan ketentuan Pasal 263 atau Pasal 264 KUH Pidana yang mengatur pemalsuan surat. Atau penggelapan dapat dikenakan pasal 372 KUH Pidana yang mengatur tentang penggelapan, 378 (penipuan) 362 (pencurian).

Kejahatan Perbankan yang juga terjadi dewasa pada dunia perbankan ini yaitu kegiatan money Loudring yang dalam hal ini tidak diatur di dalam UU Perbankan tetapi lebih khusus diatur di dalam Undang-Unang No 15 Tahun 2003 tentang Tindal Pidana Pencucian Uang Keterlibatan Perbankan dalam Kegiatan Pencucian uang dapat berupa :

  1. Penyimpanan uang hasil kejahatan dengan nama palsu atau dalam self deposit box.
  2. Penyimpanan uang dalam bentuk deposito/tabungan/giro.
  3. Penukaran pecahan uang hasil perbuatan illegal.
  4. Pengajuan permohonan kredit, dengan jaminan uang yang disimpan pada bank yang bersangkutan.
  5. Penggunaan fasilitas transfer atau EFT
  6. Pemalsuan Dokument L/C yang bekerjasama dengan oknum pejabat bank terkait
  7. Pendirian.pemanfaatan bank gelap

Dalam rancangan KUHP Baru yang disusun Tim (1981-1993) telah dirumuskan dua pasal tentang money laundring Pasal 641-642, RUU KUHP 1999-2000. mengandung beberapa “pembaruan” yang mungkin merupakan suatu kerangka hukum baru (a new legal framework) untuk mengatasi sifat khusus kejahatan ini. Beberapa kekhususan dapat disebut di bawah ini:

  1. Kejahatan ini merupakan proses lanjutan dari kejahatan lain (“dana yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana : korupsi, penyuapan, penyeludupan, perbankan, narkotika, psikotropika, perdagangan budak-wanita dan anak, perjudian dan terorisme”);
  2. Cara “menyembunyikan atau menyamarkan” dana tersebut akan menyangkut bank dan lembaga keuangan non bank serta akan mempergunakan internet (the global connection of interconnected computer networks spanning state and national borders);
  3. Pelaku kejahatan ini kemungkinan besar akan beroperasi dalam situasi “multi-jurisdictional” (internet) dan dibanyak kasus mempunyai bantuan di dalam lembaga keuangan dan atau perusahaan yang dipergunakan (“inhouse cybercriminal”);
  4. Untuk Indonesia, pola pembangunan dengan ketergantungan pada dana (investasi) luar negeri (hutang luar negeri), menyebabkan Pemerintah harus mengkondisikan agar dana investasi asing dapat dengan mudah masuk ke Indonesia (mengurangi hambatan atau kendala transfer dana).

Masuknya ketentuan Tindak pidana money loundring ke dalam RUU KUHP memiliki beberapa kendala yang perlu dihadapi, antara lain:

  1. Tim konsep RUU KUHP (1981-1993) menggolongkan “money laundering” sebagai delik pemudahan (begunstiging) sekategori dengan “penadahan” (helling). Dalam praktek penegakan hukum delik penadahan (mobil curian) sudah sangat sulit, apalagi dalam hal dana yang baru berasal dari korupsi dan sebagainya. Karena itu pemikiran baru dalam hukum acara pidana (khusus dalam hal pembuktian) perlu dikembangkan.
  2. Dalam mendekteksi “uang haram” ini perlu dierobos kendala peraturan tentang “kerahasiaan data bank” (UU Perbankan 7/1992 sebagaimana telah diubah dengan UU 10/1998 dan Peraturan Bank Indonesia No.2/19/PBI/2000). Kerahasiaan data bank ini mempunyai kaitan erat dengan kepercayaan pada “hubungan nasabah dengan bank”, dan hal ini selanjutnya berpengaruh pula pada iklim investasi yang sangat perlu diperbaiki untuk “economic recovery” Indonesia. Diperlukan strategi bersama bidang ekonomi, bidang keuangan dan bidang penegakan hukum, bahwa tidak terjadi “abuse” (misalnya “data” nasabah diteruskan ke instansi pajak atau “dijual” ke saingan bisnis nasabah bersangkutan) dalam kewenangan memperoleh data keuangan nasabah bank.
  3. Transaksi “money laundering” melalui internet (web transaction) hanya dapat dilacak melalui keahlian khusus tentang sistem komputer dan keamanannya (serupa kemampuan seorang “hacker”) apalagi apabila pelaku “money laundering” dibantu oleh “inhouse cybercriminals”.
  4. Sudah dapat diantisipasi bahwa kejahatan “money laundering” ini akan membawa masalah yurisdiksi, yang tidak dijumpai dalam UU Money Laundering. Masalah yurisdiksi sebenarnya sudah lama menjadi isu dalam kejahatan terorganisasi (KTO). Apalagi kalau kita pahami bahwa bentuk kejahatan money laundering akan memanfaatkan teknologi informasi (internet) dan “cyber space”, sehingga tepat bila kita lebih khusus lagi memikirkan tentang “cyberjurisdiction”.

Berkaitan dengan yurisdiksi ini Barda Nawawi Arief menyatakan tentang kejahatan tanpa batas wilayah “(cybercrime), untuk mempergunakan “asas universal” atau prinsip ubikuitas” (the principle of ubiquity).

Mengantisipasi kasus kejahatan perbankan melalui internet, seperti, pembobolan rekening dan ATM, Bank Indonesia (BI) dalam waktu dekat mengeluarkan ketentuan mengenai internet banking. Lebih lanjut Slamet Riyadi menyatakan “yang akan diatur dalam ketentuan antara lain keabsahan transaksi dan kekuatan pembuktian, keamanan/pelanggaran privacy, perlindungan nasabah, dan sanksi pelanggaran”.

Kejahatan yang dilakukan orang dalam terkait kepemilikan bank pemerintah dapat dikenakan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang ini untuk mempermudahkan menjerat para pelaku, mengenakan hukuman yang berat dan memperoleh uang penggnti atas kerugian Negara.

(sumber : Erwan Suherwana Hadipermana)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar