1. Pendahuluan
Para bankir sejatinya sangat menyadari bahwa Akta Otentik merupakan suatu dokumen hukum yang sangat penting bagi bank untuk mengamankan transaksinya. Akta otentik mempunyai daya pembuktian keluar, yang tidak dipunyai oleh akta di bawah tangan. Sedangkan akta di bawah tangan mempunyai kelemahan yang sangat nyata yaitu orang yang tanda tangannya tertera dalam akta di bawah tangan, dapat mengingkari keaslian tanda tangan itu, dan bank sebagai pihak yang akan mempergunakan akta tersebut harus membuktikan bahwa memang tanda tangan debitur adalah asli.
Namun demikian, meskipun sangat memahami pentingnya akta otentik, dalam prakteknya, penggunaan akta di bawah tangan tetap saja masih marak di perbankan. Hal tersebut terlihat dari masih banyaknya penggunaan standard contract dalam perjanjian kredit antara bank dengan debitur. Terkait penggunaan akta otentik dan akta di bawah tangan ini terdapat suatu ungkapan lama yang sangat terkenal yaitu “siapa yang hendak membuat akta di bawah tangan, mengambil pena, siapa yang hendak memperoleh akta otentik, mengambil notaris”. Banyak alasan yang dikemukakan oleh para banker terkait penggunaan akta di bawah tangan ini.
Pertama, penggunaan akta di bawah tangan dalam perjanjian kredit atau yang dikenal dengan standard contract dirasakan sangat efisien dan murah, terutamauntuk fasilitas kredit/pembiayaan yang memiliki nilai nominal relatif kecil. Kedua, dalam beberapa hal, bagi bank-bank yang ada di daerah, terutama BPR-BPR yang lokasinya berada di pelosok pedesaan, sulit/mahal untuk membuat akta otentik karena ketiadaan notaris di lokasi tersebut, sehingga seluruh perjanjian kredit terpaksa dibuat di bawah tangan. Pada sisi lain penggunaan standard contract memberikan kemudahan bagi bank dalam memasukkan seluruh klausula penting yang terkait dengan kepentingan bank dalam melindungi kredit/pembiayaan yang telah diberikan kepada debitur. Hanya hal-hal yang masih memerlukan pembicaraan atau konfirmasi dengan debitur saja yang masih dikosongkan, dan baru diisi setelah dibicarakan dan disetujui debitur. Dalam praktek, penggunaan akta otentik oleh perbankan lebih banyak dimanfaatkan terutama untuk kredit/pembiayaan yang mempunyai nilai nominal yang relatif besar dan sangat besar.
Menyadari bahwa aspek hukum merupakan hal yang sangat penting dalam melindungi bisnis bank (risk mitigation), Bank Indonesia telah memasukkan risiko hukum (termasuk legal document) sebagai bagian dari penilaian manajemen risiko bank Dalam makalah berikut akan diuraikan beberapa hal yang terkait dengan kebijakan Bank Indonesia yang terkait dengan manajemen risiko d.h.i legal risk dan tinjauan terhadap praktek dan kendala-kendala hukum dalam dokumentasi hukum pemberian kredit.
2. Kebijakan Bank Indonesia
Kebijakan Bank Indonesia terkait dengan pemberian kredit oleh bank dan pengawasan Bank Indonesia terhadap bank, khususnya dalam penilaian manajemen risiko (legal risk) dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Regulasi Bank Indonesia terkait dengan pemberian kredit bankPemberian kredit merupakan kegiatan utama bank yang mengandung risiko yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan dan kelangsungan usaha bank. Di sisi lain, sebagian besar dana yang dimiliki oleh bank adalah merupakan dana yang berasal dari penghimpunan dana masyarakat. Oleh karena itu maka pemberian kredit oleh perbankan harus diatur secara hati-hati (prudent) oleh ketentuan undang-undang dan ketentuan Bank Indonesia. UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan dengan tegas mengatur agar bank senantiasa berpegang pada prinsip kehati-hatian dalam melaksanakan kegiatan usahanya, termasuk dalam memberikan kredit. Dalam implementasinya, Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan menetapkan berbagai regulasi dan batasan-batasan kepada bank dalam pemberian kreditnya. Beberapa regulasi dimaksud antara lain adalah mengenai Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan, Batas Maksimum Pemberian Kredit, Penilaian Kualitas Aktiva Produktif, Sistem Informasi Debitur, dan pembatasan lainnya dalam pemberian kredit kepada sektor-sektor tertentu, termasuk pembatasan kredit kepada pihak asing dan untuk tujuan transaksi derivatif. Dalam ketentuan tentang kewajiban bank untuk memiliki kebijakan perkreditan bank, diatur beberapa hal yaitu antara lain bahwa selain harus tertulis dan mendapat persetujuan dewan komisaris, kebijakan perkreditan bank sekurang-kurangnya harus memuat dan mengatur hal-hal pokok sebagai berikut :
1. prinsip kehati-hatian dalam perkreditan;
2. organisasi dan manajemen perkreditan;
3. kebijakan persetujuan kredit;
4. dokumentasi dan administrasi kredit;
5. pengawasan kredit;
6. penyelesaian kredit bermasalah.
Dalam ketentuan kebijakan perkreditan bank, pendokumentasian dan administrasi kredit, termasuk di dalamnya legal documentation, merupakan salah satu hal penting yang harus mendapatkan pengaturan oleh bank. Pedoman kebijakan perkreditan tersebut diperlukan dalam rangka mendukung keyakinan bank dalam memastikan keamanan penyaluran kreditnya. Sejalan dengan hal tersebut, sesuai Pasal 8 UU Perbankan, diatur bahwa dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Dalam penjelasan Pasal 8 UU Perbankan tersebut ditegaskan bahwa “.........Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal agunan dan prospek usaha dari nasabah debitur.”
Terkait jaminan pemberian kredit ini, jaminan yang dikehendaki oleh pemberi kredit atau bank, adalah jaminan yang berdaya guna dan berhasil guna, artinya jaminan tersebut harus mendapatkan kepastian kepada pemberi kredit dan mudah untuk dijual atau diuangkan, guna menutup pinjaman yang tidak dapat dilunasi oleh debitur. Jadi fungsi pemberian jaminan adalah memberi hak dan kekuasaan kepada bank, untuk mendapatkan pelunasan dari hasil lelang benda yang dijaminkan itu, apabila debitur tidak membayar kembali hutangnya tepat pada waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian. Dengan kata lain, fungsi jaminan adalah dalam rangka memperkecil risiko kerugian yang mungkin akan timbul apabila debitur inkar janji . Dalam praktek perbankan, perjanjian jaminan selalu dituangkan dalam bentuk tertulis, yaitu dituangkan dalam Akta Notaris atau akta di bawah tangan.
b. Pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap bank, khususnya dalam manajemen risiko. Untuk memelihara kelangsungan usahanya, bank harus meminimalkan potensi kerugian atas penyediaan dana, antara lain dengan memelihara eksposur risiko kredit pada tingkat yang memadai dan didukung dengan dokumentasi kredit yang aman secara hukum. Dalam hal ini, pengurus bank wajib menerapkan manajemen risiko kredit secara efektif pada setiap jenis penyediaan dana serta melaksanakan prinsip kehati-hatian yang terkait dengan transaksi-transaksi dimaksud. Penyediaan dana dalam bentuk pemberian kredit merupakan salah satu jenis aktiva produktif yang paling penting bagi bank untuk memperoleh penghasilan, disamping jenis penyediaan dana lainnya seperti surat berharga, penempatan dana antar bank, tagihan akseptasi, tagihan atas surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali (reverse repurchase agreement), tagihan derivatif, penyertaan, pemberian garansi (bank garansi), transaksi rekening administratif lainnya serta bentuk penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu. Begitu juga halnya pemberian Bank Garansi yang merupakan salah satu bentuk pemberian kredit non tunai (non cash loan) juga merupakan sumber pendapatan berbasis fee (fee based income) yang cukup penting bagi bank . Mengingat eksposur risiko terhadap penyediaan dana baik dalam bentuk-kredit maupun pemberian garansi bank cukup tinggi, maka pendokumentasian yang aman dari sisi hukum merupakan salah satu hal penting yang wajib diperhatikan oleh bank. Otentifikasi dokumen perjanjian dalam penyediaandana yang besar akan dapat memitigasi risiko, khususnya apabila penyediaan dana tersebut mengalami masalah di kemudian hari, sehingga harus dilakukan eksekusi jaminan dalam penyelesaiannya.
3. Kendala-kendala Dalam Praktek
Sebagaimana telah diuraikan dalam pendahuluan, meskipun para bankir sangat menyadari pentingnya otentifikasi dalam pendokumentasian pemberian kredit, dalam praktek tetap saja hal tersebut belum
dapat dilakukan sepenuhnya, karena adanya permasalahan yang terkait dengan biaya dibandingkan dengan jumlah kredit yang akan diberikan. Di sisi lain, dalam beberapa kasus yang dialami oleh perbankan, ternyata meskipun pendokumentasian tersebut sudah dilakukan “secara aman” dengan akta otentik notaries sekalipun, namun hal tersebut ternyata tidak menghilangkan terjadinya manipulasi (fraud) oleh debitur dan/atau pengurus bank.
a. Beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam praktek adalah sbb:
i. Untuk kredit yang nilai nominalnya relatif kecil, pembebanan biaya otentifikasi dokumentasi kredit (biaya notaris dan pengurusan dokumentasi hukum di instansi terkait) dirasakan memberatkan beban debitur kecil. Sebagai solusinya bank biasanya akan melakukan pendokumentasian di bawah tangan, dan pengikatan agunan tidak dilakukan secara sempurna.
ii. Pada daerah tertentu (di pelosok pedesaan), lokasi bank dan kantor notaris berjauhan, sehingga dirasakan tidak praktis untuk membuat akta notaris karena harus meluangkan waktu yang cukup dan biaya bagi bank dan debitur.
iii. Jangka waktu kredit relatif pendek (biasanya untuk fasilitas kredit yang bersifat talangan/bridging), sehingga otentifikasi dokumentasi kredit dengan biaya yang relatif besar dirasakan tidak efisien.
iv. Dalam beberapa kasus, bank mengalami kendala pada saat melakukan ekseskusi berdasarkangrosse akte , terutama karena adanya sanggahan dari debitur mengenai jumlah hutang yang sebenarnya. Dalam beberapa kasus sanggahan debitur ini hanyalah merupakan akal-akalan untuk menghalangi eksekusi.
b. Akta Notaris yang “Otentik tetapi tidak otentik”
Dalam banyak kasus di perbankan, akta otentik yang dibuat notaris, tidak selalu menjamin kebenaran para pihak yang melakukan transaksi. Hal ini misalnya terlihat dari kasus kredit fiktif (kredit topengan) dengan memanfaatkan “peranan notaris” untuk membuat “akta otentik yang tidak otentik”. Kasus yang banyak terjadi adalah dengan cara memalsukan identitas atau menggunakan orang-orang tertentu (misalnya, sopir pribadi, pegawai, sekretaris) yang bertindak seolah-olah sebagai pengurus dan atau pemilik dalam pendirian sebuah Perusahan Terbatas. Padahal dalam kenyataannya para “pemilik dan atau pengurus” yang tercantum dalam Akta Pendirian Perusahaan tersebut adalah hanya merupakan topeng (boneka) yang tidak mengetahui apa-apa dan sepenuhnya dikendalikan oleh “pemilik asli” dari belakang layar. Berbekal perusahaan “fiktif” tersebut selanjutnya “pemilik asli” mengeruk kredit dari bank dalam jumlah yang sangat besar. Dalam kasus demikian biasanya bank merupakan korban yang paling dirugikan. Terlepas bahwa kasus tersebut dapat terjadi karena adanya kerjasama dengan orang dalam bank, peranan notaris dalam kasus ini menjadi demikian penting. Salah satu kasus yang ditemukan dalam pemeriksaan oleh Bank Indonesia , debitur tersebut adalah paper company, dimana alamat perusahaan adalah fiktif dan nama-nama pengurus perusahaan tidak tahu menahu tentang keberadaan perusahaan tersebut hanya karena KTP ybs pernah dipinjam dan ternyata namanya dicantumkan sebagai pengurus perusahaan. Dalam kasus perusahaan fiktif seperti ini, akta notariil yang seharusnya merupakan dokumen hukum penting yang bisa diyakini oleh bank dan dapat dijadikan dasar dalam mencari kebenaran (originalitas) suatu dokumen, ternyata menjadi malapetaka bagi bank dan orang yang KTP-nya dipinjam tersebut. Terkait hal ini, kiranya perlu didorong terciptanya tanggungjawab moril dari notaris pada saat membuat “akta otentik” ini.
Notaris seyogiyanya hanya akan menerbitkan sebuah akta yang benar-benar telah diyakini kebenarannya, baik tentang peristiwanya maupun substansinya. Kepastian isi akta notaris mencerminkan apa yang dikehendaki oleh para pihak, dan juga isi akta itu telah disaring oleh notaris bahwa tidak melanggar hukum sebab notaris sesuai dengan sumpahnya, akan menepati dengan seteliti-setelitinya semua atau segala peraturan bagi jabatan notaris yang sedang berlaku ataupun yang akan diadakan. Apabila yang tertulis dalam akta itu melanggar ketentuan hukum, maka notaris itu harus menolaknya . Selanjutnya terkait dengan kepastian orang berarti bahwa yang menghadap kepada notaris memang orang yang disebutkan dalam akta notaris, bukan orang lain dan ditandatangani oleh orang lain. Sebab setiap orang yang membuat akta harus harus terlebih dahulu dikenal oleh notaris. Apabila notaris tidak mengenal orang tersebut, maka orang itu tidak dapat membuat akta notaris. Tidak dikenal oleh notaris, orang tersebut bisa membuat akta tetapi harus diperkenalkan oleh dua orang saksi yang dikenal oleh notaris . Sebagaimana diketahui bahwa akta otentik mempunyai 3 (tiga) macam kekuatan , yakni:
a) kekuatan pembuktian formil, membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang tertulis dalam akta tersebut;
b) kekuatan pembuktian materiil, membuktikan antara para pihak, bahwa benar-benar peristiwa yang tersebut dalam akta itu telah terjadi.
c) Kekuatan mengikat, membuktikan antara para pihak dan pihak ketiga bahwa pada tanggal yang tersebut dalam akta yang bersangkutan telah menghadap kepada pegawai umum tadi dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
Berkenaan dengan akta otentik tersebut, kiranya tidak berlebihan apabila notaris yang ditunjuk oleh Undang-Undang sebagai pejabat negara dalam penerbitan sebuah akta otentik tersebut, dapat berperan lebih luas dalam melakukan penelitian tentang kebenaran dari akta yang dibuatnya. Dengan adanya kewajiban hadir bagi para pihak di depan notaris, dan adanya pernyataan dalam akta notaris bahwa notaris mengenal para pihak yang menghadap kepadanya tersebut, maka kebenaran isi akta tersebut seharusnya tidak lagi diragukan.
Dengan demikian maka “penggunaan lembaga notaris” oleh para pihak yang bermaksud melakukan kejahatan dengan memalsukan kebenaran akta, dapat dihindari.
5. Penutup
a. Peranan akta otentik dalam pemberian kredit di bank sangat penting, karena mempunyai daya pembuktian keluar, yang tidak dipunyai oleh akta di bawah tangan. Sedangkan akta di bawah tangan mempunyai kelemahan yang sangat nyata yaitu orang yang tanda tangannya tertera dalam akta di bawah tangan tsb, dapat mengingkari keaslian tanda tangan itu.
b. Dalam praktek diperbankan, penggunaan akta di bawah tangan lazim digunakan terutama untuk pemberian kredit yang nilai nominalnya relative kecil.
c. Meskipun peranan notaris dalam pembuatan suatu akta otentik ini hanya untuk menerangkan tentang kebenaran suatu peristiwa, namun seyogianya peranan notaris yang sangat penting dan terhormat tersebut tidak dimanfaatkan secara negatif oleh para “pelaku kejahatan”.
Footnote :
*) Pimpinan BI Pontianak
1. Berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata, suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya. Menurut Mr. A. Pitlo, akta otentik adalah akta yang dibuat menurut bentuk undang-undang oleh dan dihadapan seorang pegawai umum yang berwenang di tempat itu (Pembuktian dan Kadaluwarsa; alih bahasa oleh M. Isa Arief SH).
2. Menurut Black’s Law Dictionary, standard-form contract is A usual preprinted contract containing set clauses, used repeatedly by a business or within a particular industry with only slight additions or modifications to meet the specific situatiom.
3. Retnowulan Sutantio, SH, Kapita Selekta Hukum Ekonomi dan Hukum Perbankan, Seri Varia Yustitia 1, 1996.
4. Namun mengingat besarnya risiko dalam pemberian garansi tersebut, maka bank perlu memperhatikan beberapa hal sbb:
a. Garansi dalam bentuk warkat yang diterbitkan oleh bank yang mengakibatkan kewajiban membayar terhadap pihak yang menerima garansi apabila pihak yang dijamin wanprestasi. Dalam hal ini pemberian garansi dapat berupa Garansi Bank atau Standby Letter of Credit.
b. Garansi dalam bentuk penandatanganan kedua dan seterusnya atas surat-surat berharga seperti aval dan endosemen dengan hak regres yang dapat menimbulkan kewajiban membayar bagi bank apabila pihak yang dijamin wanprestasi, sebagaimana telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang.
c. Garansi lainnya yang terjadi karena perjanjian bersyarat sehingga dapat menimbulkan kewajiban finansial bagi bank. Pemberian garansi tersebut adalah berupa surat yang dapat menimbulkan kewajiban membayar suatu jumlah tertentu apabila pihak yang dijamin wanprestasi dan Letter of Credit. Sebagaimana halnya pemberian kredit, karena pemberian garansi dapat menimbulkan kewajiban membayar bagi bank, yang mempengaruhi likuiditas dan solvabilitasnya, maka pemberian garansi dikenakan ketentuan tentang BMPK dan Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum.
5. Grosse Akte adalah Akta Otentik yang mempunyai kekuatan eksekutorial. Berbeda dengan Akta Otentik dimana apabila akan dilakukan eksekusi maka kreditur harus terlebih dahulu mengajukan gugatan ke Pengadilan, maka dengan Grosse Akte pihak kreditur tidak perlu mengajukan gugatan namun cukup mengajukan permohonan untuk melaksanakan isi dari grosse akte tersebut. Secara lengkap lihat dalam Pasal 224 HIR
6. Lihat kumpulan kasus dalam “Modus Operandi Kejahatan Perbankan di Indonesia”, Unit Khusus Inventigasi Perbankan Bank Indonesia, 2003
7. Victor M. Situmorang, SH dan Dra. Cormentyna Sitanggang, Grosse Akta dalam Pembuktian dan Eksekusi, Penerbit Rineka Cipta 1993.
8. Ibid
9. Retnowulan Sutantio, SH dan Iskandar Oeripkartawinata, SH, “ Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek” Penerbit CV. Mandar Maju, 2002
Oleh : Hilman Tisnawan*)
terima kasih sangat membantu
BalasHapus