Selasa, 08 Maret 2011

Hukum Islam di Negara Brunei Darussalam

Oleh: Inna Zunia Fauziana dan Harsani
I. PENDAHULUAN
Negara Brunei Darussalam merupakan salah satu negara kerajaan Islam di utara Kalimantan berbatasan dengan Lautan Cina Selatan di utara, dan Serawak di barat, dan timur. Luas : 5765 km. Penduduk: 264.000 (1991). Komposisi penduduk: Melayu (69%), Asli (5%), Cina (18%), dan bangsa-bangsa lain (8%). Agama resmi Islam (67%) dengan bermazhab Syafi’i.[1]
Sedang yang lainnya Budha (14%), Kristen (9,7%) dan lainnya (12%) termasuk agama pribumi suku dayak. Bahasa resmi Melayu. Ibukota Bandar Sribegawan. Mata uang: Dollar Brunei (100 Cents). Sumber utama penghasilan negara: gas bumi dan minyak.[2]
Populasi penduduk Brunei adalah 301.000 yang terdiri dari 70,5 % orang Melayu yang umumnya bekerja di pemerintahan dan sipil, orang Cina 16 % dimana 80 % nya tidak terakomodasi sebagai warga negara resmi, dan beberapa kelompok lokal seperti orang Iban, Kedayan, Kayan, Kenyah, Kiput, Muru dan Tutung, pendatang yang berjumlah 8,2 % umumnya sebagai pekerja industri yang berasal dari Inggris 6.000 orang, Asia Selatan 4.200 orang, Gurkha 1.000 orang, Korea dan Fhilipina.
Bahasa Melayu menjadi bahasa utama, disertai bahasa Inggris, Cina, Iban, dan belasan dialek daerah yang berjumlah 17 bahasa. Brunei dikenal sebagai salah satu negara terkaya di Asia karena hasil minyak buminya.[3]
Negara ini mempunyai otoritas tidak hanya meliputi seluruh Pulau Borneo tetapi juga beberapa bagian pulau-pulau Suluh dan Fhilipina namun mulai abad ke-17 lebih-lebih pada abad ke-18 dan ke-19. Kekuasaan kesultanan Brunei mulai berkurang akibat adanya konsesi yang dibuat dengan Belanda, Inggris, Raja Serawak, British North borneo Company dan serangan-serangan para pembajak. Pada abad ke-19 wilayah negar Brunei Darussalam tereduksi menjadi sangat ecil smpai batas-batas yang ada sekarang.
Pada tahun 1847 Sultan Brunei mengadakan perjanjian dengan Inggris Raya untuk memajukan hubungan dagang dan penumpasan para pembajak. Perjanjian berikutnya diadakan pada tahun 1881 yaitu perjanjian negara Brunei berada dibawah proteksi Inggris Raya. Pada tahun 1963 negara Brunei berbentuk negara Merdeka Melayu Inggris dengan tidak bergabung dengan federasi Malaysia. Sampai akhirnya tanggal 1 Januari 1984 Brunei Darusalam menjadi negara Kesulatanan yang merdeka dan berdaulat.[4]
Bentuk pemerintahan Brunei menurut konstitusi di kesultanan dijalankan oleh Majelis Umum, Dewan Menteri, dan Badan Legislatif. Sultan mempunyai kekuasaan yang sangat besar kuasa eksekutif tertinggi berada di tangan Sultan sebagai Menteri Besar (Ketua Menteri).
II. PEMBAHASAN
Diperkirakan Islam mulai diperkenalkan di Brunei Darussalam pada tahun 1977 melalui jalur Timur Asia Tenggara oleh pedgang-pedagang dari Cina. Islam menjadi agama resmi negara semenjak Raja Awang Alak Betatar masuk Islam dan berganti nama menjadi Muhammad Shah (1406-1408).[5] Perkembangan islam semakin maju setelah pusat penyebaran dan kebudayaan Islam, Malak jatuh ketangan portugis (1511) sehingga banyak ahli agama Islam pindah ke Brunei. Kemajuan dan perkembangan Islam semakian nyata pada masa pemerintahan Sultan Bolkiah (sultan ke-5), yang wilayahnya meliputi Suluk, Selandung, seluruh Pulau Kalimantan (Borneo), Kepulauan Sulu, Kepulauan Balakac, Pulau Banggi, Pulau Balambangan, Matanani, dan Utara Pulau Pallawan sampai ke Manila.
Pada masa Sultan Hassan (Sultan ke-9) dilakukan beberapa hal yang menyangkut tata pemerintahan: 1) menyusun institusi-institusi pemerintahan agama, karena agama memainkan peranan penting dalam memandu negara Brunei ke arah kesejahteraan. 2) menyusun adat-istiadat yang dipakai dalam semua upacara, baik suka maupun duka, disamping menciptakan atribut kebesaran dan perhiasan raja; 3) menguatkan undang-undang Islam, yaitu hukum Qanun yang mengandung 46 pasal dan 6 bagian. Pada tahun 1888-1983 Brunei di bawah penguasaan Inggris. Brunei memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 31 Desember 1983. Setelah merdeka, Brunei Darussalam menjadi sebuah negara Melayu Islam Beraja “ melayu” diartikan dengan unsur-unsur kebaikan dan menguntungkan. “Islam” diartikan sebagai suatu kepercayaan yang dianut negara yang bermadzhab Ahlussunnah Wal Jamaah sesuai dengan konstitusi dan cita-cita kemerdekaannya. “Beraja” adalah suatu sistem tradisi melayu yang telah lama ada.
Brunei merdeka sebagai negara Islam dibawah pimpinan Sultan ke-29, yaitu Sultan Hasanah Bolkiah Mu’izzadin Waddaulah. Panggilan resmi kenegaraan Sultan adalah “Ke Bawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Sri Baginda Sultan dan Yang Dipertuan Negara.” Gelar Mu’izzadin Waddaulah “(penata agama dan negara) menunjukkan ciri keIslaman yang selalu melekat pada setiap raja yang memerintah.
Sultan telah melakukan usaha penyempurnaan pemerintah, antara lain dengan membentuk Majelis Agama Islam atas dasar Undang-Undang Agama dan Mahkamah kadi tahun 1955. Majelis ini bertugas menasehati sultan dalam masalah agama Islam. Langkah ini yang ditempuh sultan adalah menjadikan Islam benar-benar berfungsi sebagai pandangan hidup rakyat Brunei dan satu-satunya ideologi negara. Untuk itu, dibentuk jabatan hal ikhwal agama yang tugasnya menyebarluaskan paham Islam, baik kepada pemerintah beserta aparatnya maupun kepada masyarakat luas. Untuk kepentingan penelitian agama Islam, pada tanggal 16 september 1985 didirikan pusat Dakwah, yang juga bertugas melaksanakan program dakwah serta pendidikan pada pegawai-pegawai agama serta masyarakat luas dan pusat pameran perkembangan dunia Islam. Di Brunei, orang-orang cacat dan anak yatim menjadi tanggungan negara. Seluruh pendidikan rakyat (dari TK sampai perguruan tinggi) dan pelayanan kesehatan diberikan secara gratis. Brunei juga mengembangkan hubungan luar negeri dengan masuk Organisasi Konferensi Islam, ASEAN, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa.[6]
Sebelum datangnya Inggris, Undang-Undang yang dilaksanakan di Brunei ialah Undang-Undang Islam yang telah dikanunkan dengan hukum qanun Brunei. Hukum Qanun Brunei tersebut sudah ditulis pada masa pemerintahan Sultan Hassan (1605-1619 M) yang disempurnakan oleh Jalilul jabbar (1619-1652 M).[7]
Pemberian kekuasaan di bidang hukum secara penuh baru diberikan kepada Inggris setelah ditandatanganinya perjanjian pada 1888 dalam Artikel VII yang membuat aturan :
  1. Bidang kuasa sivil dan jinayah kepada jawatan kuasa Inggris untuk mengendalikan kes rakyat, kes rakyat asing dari negara-negara jajahan Inggris dan kes rakyat negara lain jika mendapat persetujuan kerajaan negara mereka.
  2. Bidang kuasa untuk menghakimkan kes yang melibatkan rakyat Brunei jika rakyat Brunei dalam kes tersebut merupakan seorang penuntut atau pendakwa. Tetapi jika didalam sesuatu kes tersebut, rakyat Brunei adalah orang yang dituntut atau didakwa maka kes itu akan diadili oleh Mahkamah Tempatan.
Kekuasaan yang lebih luas lagi dalam bidang hukum diberikan setelah adanya perjanjian tahun 1906. Dengan perjanjian tersebut Inggris lebih leluasa mendapat kekuasaan yang luas untuk campur tangan dalam urusan per-Uuan, Pentadbiran keadilan dan kehakiman, masalah negara dan pemerintahan kecuali dalam perkara-perkara agama Islam.
Karena undang-undang adat dan kedudukan hukum syara’ dirasa tidak begitu jelas, kesultanan Brunei memberi petisi kepada Pesuruh Jaya British pada 2 Juli 1906 yang isinya menuntut:
  1. Setiap kasus yang berkaitan dengan agama Islam diadili oleh hakim-hakim setempat.
  2. Meminta agar adat-adat dan undang-undang setempat tidak dirombak, dipindah, dan dilanggar selama-lamanya.
Dari kedua petisi ini, yang disetujui oleh Inggris hanya masalah nomor satu dan ditindaklanjuti dengan mengembangkan Mahkamah Syari’ah yang akan mengendalikan urusan-urusan agama Islam. Sedangkan yang kedua ditolak, penolakan itu didasarkan pada tujuan perjanjian 1906 adalah untuk memperbaiki adat dan undang-undang setempat sebagai langkah untuk menyelamatkan Brunei dari kehilangan-kehilangan wilayahnya.
Untuk seterusnya Mahkamah Syari’ah Brunei hanya dibenarkan melaksanakan undang-undang Islam yang berikatan dengan perkara-perkara kawin, cerai, dan ibdat (khusus) saja. Sedangkan masalah yang berkaitan dengan jinayat diserahkan kepada undang-undang Inggris yang berdasarkan Common Law England.
Peraturan dan perundang-undangan di Brunei terus menerus dirombak, seperti pada tahun 1912 majelis Masyuarat Negeri telah mengundangkan undang-undang agama Islam yang dikenal dengan “Muhammadans Marriages and Divorce Enactement.” Sampai yang terakhir yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang Majelis Ugama, Adat Negeri dan Mahkamah Kadi tahun 1955, yang telah berlaku pada tanggal 1 Januari 1956. Setelah tahun itu berturut-turut undang-Undang mengalami amandemen yaitu mulai tahun 1957, 1960, 1961, dan 1967.[8] Ketika terjadi Revision Laws of Brunei pada tahun 1984, undang-undang inipun mengalami revisi tapi hanya sedikit saja disamping namanya ditukar dengan akta Majelis Agama dan Mahkamah Kadi Penggal 77.[9]
Sebenarnya perundang-undangan ini, menurut Hooker, didasarkan pada perundangan yang berlaku di negeri Kelantan dengan mengalami penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi Brunei. Peraturan ini membuat peraturan tentang :
  1. pendahuluan (Bagian I pasal 1-4)
  2. Majelis Ugama Islam (Bagian II pasal 5-44)
  3. Mahkamah syari’ah (Bagian III pasal 45-96)
  4. Masalah Keuangan (Bagian IV pasal 97-122)
  5. Masjid (Bagian V pasal 123-133)
  6. Perkawinan dan perceraian (Bagian VI pasal 134-156)
  7. Nafkah Tanggungan (Bagian VII pasal 157-163)
  8. Muallaf (Bagian VIII pasal 164-168)
  9. Kesalahan (Bagian IX pasal 169-195)
  10. Perkara Umum (Bagian X pasal 196-204)
Undang-undang keluarga Islam Brunei yang terdapat dalam Undang-undang Majelis Ugama Islam dan Mahkamah Kadi Penggal 77 bentuk dan kandungannya masih sama dengan undang-undang Majelis Ugama Islam, Adat Negeri dan Mahkamah Kadi No. 20/1955. Dalam undang-undang tersebut masalah hukum keluarga Islam diatur hanya 29 Bab yaitu di bawah aturan-aturan Marriage and Divorce di bagian VI yang diawali dari pasal 134-156, dan Maintenance of Dependent di bagian VII yang dimulai dari pasal 157-163.[10]
Untuk lebih memberikan wawasan, sebagian dari aturan ini akan dijelaskan di bawah ini dengan diberikan perbandingan dengan negara yang berada diwilayah Asia Tenggara yaitu Malaysia dan Singapura. Alasannya karena ketiga negara ini bertetangga dan mempunyai kesamaan dalam warisan sosial, budaya dan adatnya, disamping itu madzhab yang dianut oleh penduduknya adalah madzhab Syafi’i.[11]
a. Pembatalan Pertunangan
Perbuatan membatalkan perjanjian pertunangan oleh pihak laki-laki yang dibuat baik secara lisan maupun secara tertulis yang dilakukan mengikuti hukum muslim, akan berakibat pada pihak laki-laki, yaitu harus membayar sejumlah sama dengan banyaknya mas kawin, ditambah dengan perbelanjaan yang diberikan secara suka rela untuk persiapan perkawinan. Apabila yang membatalkan perjanjian tersebut dari pihak perempuan, maka hadiah pertunangan harus dikembalikan bersama dengan uang yang diberikan dengan suka rela. Semua pembayaran baik yang digariskan tadi bisa didapatkan kembali melalui perkawinan. Hal ini tidak dijelaskan dalam fikih Syafi’i secara eksplisit.
b. Pendaftaran Nikah
Dalam Undang-undang Brunei orang yang bisa menjadi pendaftar nikah cerai selain kadi besar dan kadi-kadi adalah imam-imam masjid, disamping imam-imam itu merupakan juru nikah yang diberi tauliah untuk menjalankan setiap akad nikah. Orang biasa melangsungkan sebuah pernikahan adalah orang yang diberi kuasa (tauliah) oleh sultan atau yang diberi kuasa oleh hukum untuk orang Islam. Tetapi dalam hal kehadiran dan kebenaran pendaftaran juga diperlukan. Walaupun demikian pernikahan yang tidak mengikuti aturan ini tetap dilangsungkan (sah), tetapi menurut aturan hukum muslim dianggap sah dan hendaknya didaftarkan. Sedangkan yang dinamakan perkawinan yang tidak sah adalah perkawinan yang tidak mengikuti hukum madzhab yang dianut oleh kedua belah pihak. Aturan-aturan yang berlaku di atas merupakan reformasi hukum keluarga Islam yang sifatnya regulatory, karena dengan tidak adanya pencatatan dan pendaftaran tidak menyebabkan batalnya suatu perkawinan bahkan dalam hal ini ternyata di Brunei terasa lebih longgar dibanding dengan negara tetangganya, karena dengan tidak mendaftarkan perkawinan tersebut tidak merupakan suatu pelanggaran. [12]
c. Wali Nikah
Persetujuan kedua belah pihak dalam perkawinan sangat diperlukan selain itu wali pengantin perempuan harus memberikan persetujuan atau kadi yang mempunyai kewenangan bertindak sebagai wali raja yaitu apabila tidak ada wali nasab atau wali naab tidak menyetujui dengan alasan yang kurang tepat hal ini juga terjadi di Malaysia, yang memberikan aturan tentang keharusan adanya izin wali dalam nikah. Jika tidak ada wali nasab atau wali tidak memberikan izin dengan alasan yang tidak masuk akal pengadilan dapat memberikan izin kepada orang lain untuk bertindak sebagai wali. Di Singapura aturan ini ditetapkan melalui ordonansi muslim 1957 yang memberikan otoritas kepada kadi untuk menyelenggarakan pernikahan seorang perempuan yang tidak mempunyai wali nasab, atau walinya tidak memberikan izin denagn alasan yang tidak masuk akal, asalkan tidak ada halangan berdasarkan hukum islam.
d. Perceraian yang dilakukan suami
Jika perempuan cerai sebelum disetubuhi maka ia tidak boleh dikawinkan dengan orang lain kecuali dengan suaminya yang terdahulu dalam masa iddah. Kecuali telah dibenarkan oleh kadi yang berkuasa dimana ia tinggal.
Dalam Undang-undang Brunei selanjutnya disebutkan bahwa bagi perempuan yang dicerai dengan talak tiga tidak boleh nikah lagi dengan suaminya yang terdahulu. Kecuali ia kawin dengan laki-laki lain denagn cara yang sah dan bersetubuh dengannya kemudian diceraikan dengan cara yang sah sesuai dengan undang-undang. Peraturan perceraian Brunei yang lainnya adalah seorang suami bisa menceraikan istrinya denagn talak 1, 2, 3, denagn hukum Muslim seorang suami mesti memberitahukan tentang perceraiannya kepada pendaftar dalam tempo 7 hari. Jika seorang perempuan yang sudah menikah bisa juga mengajukan permohonan cerai kepada kadi dengan mengikuti hukum muslim. Apabila suaminya rela hendaknya dia mengucapnya cerai. Kemudian didaftarkan dan kadi akan mengeluarkan akta perceraian kepada kedua belah pihak sebagai perbandingan di negara malaysia hukum yang berlaku ternyata membatasi kebebasan seorang suami muslim untuk menceraikan istriny, lain hal denag hukum yang berlaku di serawak, jika suami menuntut perceraian pada istrinya maka ketika dibuktikan bahwa ia tidak bersalah pengadilan akan memberikan waktu 15 hari untuk mempertimbangkan kembali seandainya waktu yang diberikan habis sedang ia masih dalam keputusannya maka di izinkan kepadanya untuk menceraikan istrinya dengan membayar denda.
e. Perceraian dengan talak tebus
Di Brunei juga diberlakukan aturan yang menyatakan bahwa jika pihak tidak menyetujui perceraian denagn penuh kerelaan maka kedua belah pihak bisa menyetujui perceraian dengan tebusan atau cerai tebus talak kadi akan menilai jumlah yang dibayar sesuai dengan taraf kemampuan kedua belah pihak tersebut. Serta mendaftarkan perceraian itu. Perceraian dengan cara ini ternyata berlaku juga di Malaysia.
f. Talak tafwid, fasakh dan perceraian oleh pengadilan
Perempuan di Brunei bisa memohon kepada Mahkamah Kadi untuk mendapatkan perceraian lewat fasakh. Yaitu suatu pernyataan pembubaran perkawinan menurut hukum Muslim pernyataan fasakh ini tidak akan dikeluarkan, kecuali mengikuti hukum Islam dan pihak perempuan dapat memberikan keterangan dihadapan sekurang-kurangnya dua saksi denagn mengangkat sumpah atau membuat pengakuan. Bagi para istri di Malaysia, pihak istri diberikan hak untuk mengajukan perceraian dengan alasan bahwa suaminya impoten sedangkan di Singapura pengadilan dapat menerima tuntutan dari kaum perempuan muslimah untuk mengadakan perceraian (fasakh) dan memutuskannya berdasarkan hukum keluarga Islam.
g. Hakam (Arbitrator)
Apabila selalu muncul masalah antara suami dan istri maka kadi bisa mengangkat seorang, dua orang pendamai atau hakam dari keluarga yang dekat dari masing-masing pihak yang mengetahui keadaannya. Kadi memberikan petunjuk kepada hakam untuk melaksanakan arbiterase dan harus melaksanakannya sesuai dengan hukum Muslim, apabila kadi tidak sanggup atau tidak menyetujui apa yang dilakukan oleh hakam kadi akan mengganti dan mengangkat hakam yang lain. Haruslah di angkat seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan, kedua hakam yang diangkat itu adalah orang yang terpercaya dengan persetujuan suami istri dan kedua suami istri itu mewakilkan kepada kedua hakam untuk kumpul lagi atau bercerai apabila kedua hakam itu berpendapat demikian.
h. Rujuk
Dalam Undang-undang ini disebutkan adanya rujuk setelah dijatuhkannya talak, yaitu apabila cerainya dengan talak satu atau dua. Tinggal bersama setelah bercerai mesti berlaku dengan kerelaan kedua belah pihak denagn syarat tidak melanggar hukum Muslim dan kadi harus mendaftarkan untuk tinggal bersama. Apabila perceraian yang bisa dirujuk kembali dilakukan dengan tanpa sepengetahuan istri maka ia tidak dapat diminta untuk tinggal bersama sampai diberitahukan tentang perkara itu. Kemudian jika setelah menjatuhkan talak yang masih bisa dirujuk kembali pihak suami mengucapkan rujuk dan pihak istri menerimanya, maka istri dapat diperintahkan kadi untuk tinggal bersama tetapi pihak tersebut tidak bisa dibuat sekiranya pihak istri tidak memberi kerelaan.
i. Nafkah dan tanggungan anak
Pembicaan nafkah hanya dipakai dlam tuntutan yang dibuat oleh orang Islam terhadap orang Islam yang lainnya. Yang termasuk kedalam ini adalah para istri, anak sah yang masih belum dewasa, orang yang tidak mampu membiayai (fiskal), orang yang berpenyakit dan anak diluar nikah. Tiga syarat ini bisa dijadikan tuntutan berdasarkan hukum Muslim yang dalam hal menentukan hak untuk nafkah. Dalam kasus anak diluar nikah, Mahkamah Kadi akan membuat ketentuan yang dianggap sesuai. Perintah bisa dikuatkan melalui Mahkamah Majistret atau Mahkamah Kadi Besar.
III. PENUTUP
Dapat kita ambil kesimpulan bahwa hukum Islam di Brunei Darussalam mengalami perubahan setelah adanya perjanjian-perjanjian dengan Inggris yang menyebabkan Inggris campur tangan dalam urusan kekuasaan kehakiman, keadilan, hukum serta perundang-undangan. Pelaksanaan hukum Islam secara khusus diserahkan kepada pemerintah Brunei, yang kemudian dilanjutkan dengan pembentukan mahkamah Syari’ah. Negara Brunei Darussalam mengakomodasi hukum Islam, adat, dan barat tetapi yang sering sekali digunakan adalah hukum Muslim (Islam). Pengambilan hukum Islam di brunei secara utuh dikembangkan dari mazhab Syafi’i dan sebagian besar bersifat regulatory, meskipun demikian ternyata pembaharuan hukum yang bersifat substansial tidak sejalan dengan Syafi’i sendiri bahkan dengan mazhab lain seperti masalah iddah yang belum disetubuhi oleh suaminya, kemudian ganti rugi batalnya perjanjian pertunangan. Kita ketahui hukum di Brunei dipengaruhi oleh Inggris melalui perjanjian-perjanjian sehingga memungkinkan Inggris campur tangan dan Brunei menjadi pemerintahan bergantung pada Inggris. Andaikan pada waktu itu Kesultanan Brunei tegas tidak lemah, serta mampu menangani konflik yang ada di negara brunei mungkin Bruneei menjadi negara-negara yang mempunyai undang-undang hukum Islam yamg kuat. Strategi kuatnya kekuatan negara dalam menghadapi persoalan menjadi hal yang penting di Brunei dan seluruh negara. Semoga Brunei terus-menerus melakukan pembaharuan hukum dan tidak menyimpang jauh dari hukum islam sehingga tidak tertinggal dwengan negara-negara lainnya dan diharapkan pengetahuan hukum Islam di brunei menjadikan kita lebih yakin dan percaya bahwa hukum Isalm yang kita gunakan adalah hukum yang benar yang sesuai dengan Al-Qur’an dan As-sunnah katrena negara lain seperti Brunei berprinsip yang sama dengan umat Islam di Indonesia.
IV. PENGANTAR DISKUSI
Negara Brunei mempunyai otoritas tidak hanya meliputi seluruh pulau Borneo tetapi juga beberapa bagian pulau-pulau Sulu dan Fhilipina. Pada abad ke-18 dan ke-19 kekuasaan kesultanan Brunei mulai berkurang akibat adanya konsesi yang dibuat dengan Belanda, Inggris, Raja Serawak, British North Borneo Company.
Perlu diketahui di Brunei Darussalam terjadi perjanjian kurang lebih sekitar lima perjanjian yaitu:
  1. Perjanjian pada tahun 1847 Sultan Brunei mengadakan perjanjian dengan Inggris Raya untuk memajukan hubungan dagang dan penumpasan para pembajak.
  2. Perjanjian kedua pada tahun 1881 yaitu perjanjian negara brunei berada dibawah proteksi Inggris Raya.
  3. Perjanjian pada tahun 1856 intervensi Inggris dalam tulisan hukum Brunei (intervensi )
  4. Perjanjian pada tahun 1888 tentang bidang kekuasaan kehakiman di Brunei (pembagian kekuasaan kehakiman dengan pihak Inggris)
  5. Perjanjian pada tahun 1906 tentang kekuasaan dalam bidang hukum (kekuasaan intervensi perundangan-undangan, pentadbiran keadilan, dan kehakiman, masalah negara dan pemerintahan )
Perjanjian-perjanjian tersebut menimbulkan efek yang sangat jelas bagi perkembangan hukum di negara Brunei. Brunei Darussalam memiliki kekuasaan kehakiman yang terpisah yaitu kekuasaan kehakiman Inggris dan kekuasaan kehakiman Brunei. Sungguh mengherankan bukan suatu negara mempunyai kekuasaan kehakiman yang lain disamping kekuasaan kehakiman Brunei. Disamping itu pula Inggris mempunyai kekuasaan untuk intervensi dalam urusan perundang-undangan kehakiman masalah negara terkecuali perkara-perkara agama islam. Terlihat jelas sekali bahwa perjanjian-perjanjian denagn pihak Inggris banyak berdampak negatif yaitu merugikan bangsa Brunei dalam hal mereka sebagai bangsa yang ingin merdeka.faktor-faktor yang menyebabkan Brunei selalu terposok atau tersudut dalam perjanjian kemungkinan karna lemahnya sultan dalam menghadapi tekanan-tekanan Inggris dan juga lemahnya pengetahuan strategis politik sehingga terjadi ketidak adilan dalam pembagian kekuasaan. Seperti pada [etisi yang diajukan pada Kesultanan Brunei kepada seluruh Jaya British pada 2 Juli 1986 dimana petisi itu berisi dua tuntutan dari kedua petisi hanya masalah nomor satu yang disetujui oleh Inggris dan tidak dilanjuti dengan mengembangkan Mahkamah Syari'ah sedangkan yang kedua ditolak karena isinya bertentangan dengan isi perjanjian tahun 1906.
Mahkamah syari'ah Bunei hanya dibenarkan melaksanakan Undang-undang Islam yang berkaitan denagn perkara-perkara kawin, cerai, dan ibadah (khusus). Sedangkan masalah yang berkaitan dengan jinayah diserahkan kepada Undang-undang Inggris yang berdasarkan Common Law England.
Untuk seterusnya peraturan dan perundang-undangan di Brunei terus-menerus mengalami perombakan.

[1] David Leake, JR., Dalam John L. Eposito (Ed), The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, (New York: Oxford University Press, 1995), Cet. 1, hal. 232
[2] Redaksi Ensiklopedia, Ensiklopedia Islam, hal.256.
[3] http// :www hukumislamdibruneidarussalam. Com.
[4] Inamulah khan (Ed), The World MuslimGazeteer, (Delhi: International Islamic publisher, 1992), p. 175/
[5] Ibid
[6] Ensiklopedia Islam, Op.Cit., hal. 257-258
[7] Haji Mahmud Saedon Awang Othman, Mahkamah Syari’ah di Negara Brunei Darussalam dan Permasalahannya, dalam Mimbar hukum No. 23 Tahun VI, 1995, p. 41-42
[8] Tahir Mahmud, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analysis, (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1978), h. 198-199.
[9] Haji Salim bin Haji Besar, Pelaksanaan Undang-undang keluarga Islam di Negara Brunei Daruss alam dan Permasalahannya dalam Mimbar Hukum, h. 9-10
[10] Prof. Dr. Atho Mudzhar dan Dr. Khoerudin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), Cet. I, h. 178-182
[11] Tahir Mahmood,Family Law Reform in the muslim world, (Bombay: N.M. Tripathi pvt. Ltd., 1972), h. 198.
[12] Prof, Dr. Atho Mudzar, op. cit., hal. 184-185




Sumber : http://aafandia.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar