Selasa, 08 Maret 2011

Law and Morals

oleh: Dr. Chairul Huda, SH., MH
  1. Masalah klasik filsafat hukum di antaranya adalah konstelasi antara hukum dan moral. Baik dalam strukturnya yang normatif atau pun empiris, tataran substance maupun language.
  1. Masalah ini terutama dihubungkan dengan apa yang umumnya dikenal dengan “kewajiban” (ought, obligation dan duty), padahal filsafat hukum juga harus mengkaji ketika hukum atau moral itu dilihat sebagai “hak”.
  1. Ketika “kewajiban hukum” timbul karena “authority”, maka “kewajiban moral” penampakkan dirinya akan sangat tergantung dari “reason”.
  1. Berbeda dengan agama, sekalipun diyakini Wahyu juga merupakan “authority of God”, sehingga lebih dekat kepada Etika daripada hukum, maka reduksi moral juga secara imperatif akan dikomparasikan dengan hukum.
  1. Sebaliknya, bagaimanapun interkoneksi antara agama dan moral tidak dapat dinafikkan.
  1. Tidak sulit untuk menyaksikan karya para filsuf yang membeda-bedakan antara hukum (language) dan moral, tetapi seharusnya filsafat hukum tidak berhenti sampai disitu, karena sebenarnya yang tersulit adalah menemukan perbedaan substance diantara keduanya.
  2. Ketika filsuf natural law mengatakan bahwa keduanya saling menentukan dan para positivist akan melihatnya sebagai tidak harus saling terkait, maka hal itu hanya dapat diejawantahkan terhadap materi yang netral.
  3. Sedangkan perbuatan manusia sebagian diantaranya sepenuhnya masuk kedalam wilayah moral, sebagian yang lain adalah netral, sementara tidak terjawab ketika menyakut perbuatan manusia yang menjadi sekaligus objek hukum dam moral.
  1. Ketika Austin dan Bentham mengatakan validitas hukum positif sama sekali tidak tergantung dengan moral, maka tidak akan ditemukan pertentangan secara logika atau formal mengenai hal itu, tetapi pandangan ini hanya menunjukkan perbedaan secara “de facto” antara dua sistem norma yang ditemukan secara berdampingan dalam kehidupan manusia.
  1. Dalam berbagai fakta sosial, terdapat banyak alasan mengapa hukum dan moral gagal untuk “correspond” dalam banyak hal, sekalipun dapat diyakini bahwa koinsidensi antara keduanya menjadi sangat esensial bekerja dalam kehidupan manusia.
  1. Ketika banyak positivistis yang menggariskan bahwa hukum kehilangan dasar moral jika menyangkut materi yang tidak melukai orang lain (homosexuality, drug abuse), maka hal itu masih bisa dijawab bahwa hukum pun sebenarnya bukan hanya dimaksudkan untuk melindungi seseorang dari orang lain, tetapi juga untuk melindungi seseorang dari dirinya sendiri.
  2. Sekalipun sentimen-sentimen moral dalam hal-hal tertentu masuk ke dalam membangun dan memobilisasi hukum, tetapi hanya berhasil membedakannya dalam masalah-masalah netral (kendaraan jalan di sebelah kiri).
  3. Apakah kemudian mungkin untuk menentukan titik perbedaan substansial yang berguna untuk kita dalam membedakan hukum dari noma-norma moral. Sementara banyak pendekatan para filsuf yang secara umum mengikuti atau mengambil pandangan Kant bahwa hukum menekan prilaku secara eksternal sementara moral menilainya secara internal, dimana moral sendiri dengan begitu karenanya berkenaan dengan faktor-faktor subjektif dari hukum, seperti misalnya motif.
  1. Dimana hukum kemudian dilihat sebagai manifestasi eksternal dari perilaku manusia, yang kemudian dihubung-hubungkan dengan sanksi sebagai konsekuensinya, seolah-olah ketika secara subjektif menilainya dari segi moral yang ditegakkan tanpa sanksi. Padahal para filsuf hanya sebatas dapat mempertegas perbedaan antara karakteristik formal dari sistem hukum, tetapi gagal menjelaskan mengapa sejarah kehidupan manusia diwarnai keingkaran atas regular sanctions yang dikelola sistem hukum.
Sumber : http://aafandia.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar