Selasa, 28 Februari 2012

Daluwarsa Gugatan PHK

Oleh : Juanda Pangaribuan, SH, MH.
Rabu, 30 Maret 2011 - 10:21 WIB

Bila membaca UU Ketenagakerjaan secara sempit muncul kesimpulan sederhana mengatakan bahwa semua kasus PHK akan kedaluwarsa bila dalam satu tahun tidak digugat ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Perdebatan tentang daluwarsa PHK sampai saat ini masih terus bergulir di antara praktisi hubungan industrial. Sejauh ini, ada yang berharap meraup untung dari daluwarsa kasus. Karena itu, diskusi tentang daluwarsa PHK makin menarik manakala perdebatan itu menelisik ketentuan hukum yang saling bertolakbelakang.

Hukum ketenagakerjaan kita mengenal dua macam kedaluwarsa. Pertama, daluarsa hak yang timbul dalam hubungan kerja. Termasuk di antaranya adalah kekurangan pembayaran upah seperti upah lembur. Kedua, daluwarsa hak atas berakhirnya hubungan kerja, misalnya, uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak. Sesuai Pasal 96 UU No. 13 tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1981 – kesempatan menuntut hak yang timbul dalam hubungan kerja berakhir setelah lewat 2 (dua) tahun. Apakah kekurangan bayar uang pensiun bisa dikualifikasi kedaluwarsa ? Uang pensiun adalah hak yang timbil akibat pengakhiran hubungan kerja yang ditetapkan sejak awal sebagai hak mutlak pekerja sehingga kekurangan bayar uang pensiun tidak dapat dikualifikasi kedaluwarsa.

Dalam perspektif hukum perdata kedaluwarsa mengakibatkan dua hal. Pertama, membebaskan seseorang dari kewajiban atau menyebabkan gugur hak menuntut seseorang (praescriptio/extinctive verjaring). Dalam konteks ini, kesempatan mendapatkan hak berakhir karena alasan daluwarsa. Kedua, kedaluwarsa menyebabkan seseorang memperoleh hak tertentu (usucapio/acquisitieve verjaring). Merujuk pada beberapa ketentuan hukum ketenagakerjaan, kedaluwarsa dalam hubungan industrial mengakibatkan dua hal, yakni : hapus atau gugurnya hak dan berakhirnya kewajiban. Dalam posisi itu daluwarsa menguntungkan bagi pengusaha. Kedaluwarsa hak mutatis mutandis membebaskan pengusaha melunasi kewajibannya kepada pekerja. Karena itu, daluwarsa bisa disetarakan sebagai proses hukum diam-diam yang menguntungkan pengusaha.

Apakah hak pekerja menuntut uang pesangon bisa terancam kedaluwarsa ? Pasal 170 UU No. 13 tahun 2003 dan Pasal 82 UU No. 2 tahun 2004 secara limitatif mengatur batas waktu mengajukan gugatan PHK tidak lebih dari waktu 1 (satu) tahun. Apabila ketentuan ini dipahami secara sempit akan muncul kesimpulan yang mengatakan PHK karena alasan apapun bisa daluwarsa apabila diajukan lewat dari satu tahun setelah surat PHK diterima pekerja. Sebelum Mahkamah konstitusi (MK) melalui putusan No : 012/PUU-I/2003 membatalkan beberapa pasal-pasal yang terdapat dalam UU No. 13 tahun 2003, semua alasan PHK bisa terancam daluwarsa. Putusan MK mengabulkan judicial review dari sejumlah serikat pekerja mengakibatkan beberapa pasal dalam UU Ketenagakerjaan tidak mengikat. Konsekuensinya, daluwarsa gugatan PHK hanya dapat dilakukan terhadap dua hal. Pertama, PHK karena alasan mengundurkan diri (Pasal 162 UU No. 13 tahun 2003). Kedua, PHK yang timbul karena menjalani proses pidana lebih dari 6 bulan (Pasal 161 ayat (3) UU No. 13 tahun 2003). Untuk tiba pada kesimpulan ini kita dapat menelusuri penjelasan berikut ini.

Pasal 82 UU No. 2 tahun 2004 dan Pasal 171 UU No. 13 tahun 2003 merupakan ketentuan yang tidak berdiri sendiri. Pasal 82 merujuk pada Pasal 158, Pasal 159, dan Pasal 171 UU No. 13 tahun 2003, sedangkan Pasal 171 menunjuk pada Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3) dan Pasal 162 UU No. 13 tahun 2003. Pasal-pasal terkait dengan Pasal 82 dan Pasal 171 yang tidak dibatalkan oleh MK hanya Pasal 160 ayat (3) dan Pasal 162 UU No. 13 tahun 2003. Dengan demikian, PHK karena alasan di luar Pasal 160 ayat (3) dan Pasal 162 UU No. 13 tahun 2003 tidak dapat dikualifikasi daluwarsa. Penegasan lain dari uraian di atas memastikan bahwa Pasal 82 UU No. 2 tahun 2004 dan Pasal 171 UU No. 13 tahun 2003 tetap berlaku sebagai hukum positif tentang daluwarsa PHK.

Di antara praktisi hukum ketenagakerjaan berpendapat, semua jenis PHK tetap terancam daluwarsa apabila diajukan lewat dari satu tahun. Basis argumen kelompok ini merujuk pada Pasal 1603t KUHPerdata. Ketentuan yang terdapat dalam buku ketiga bab ketujuh A Bagian Kelima KUHPerdata ini selengkapnya mengatur “tiap hak untuk menuntut sesuatu yang berdasarkan pasal yang lalu, gugur dengan lewatnya waktu satu tahun”. 

Apabila praktik hukum mau membenarkan Pasal 1603t KUHPerdata sebagai dasar hukum menyatakan semua gugatan PHK dapat daluwarsa, sama artinya hukum ketenagakerjaan mengenal tiga hukum positif mengatur hal yang sama. Secara historikal Pasal 1603t KUHPerdata berlaku sejak masa kolonial Belanda. Karena itu bisa dipastikan, UU No. 2 tahun 2004 dan UU No. 13 tahun 2003 berlaku belakangan dari KUHPerdata. Asas hukum menandaskan, ketentuan yang berlaku belakangan menghapuskan ketentuan terdahulu (lex posteriori derogat legi priori). Bersandar pada asas lex posteriori derogat legi priori maka Pasal 1603t KUHPerdata tidak berlaku lagi sejak UU No. 13 tahun 2003 dan UU No. 2 tahun 2004 diberlakukan sebagai hukum positif. 

Pasal 82 UU No. 2 tahun 2004 dan Pasal 171 UU No. 13 tahun 2003 adalah dua ketentuan mengatur hal yang sama secara membingungkan. Daluwarsa PHK menurut Pasal 171 terhitung satu tahun sejak PHK dilakukan. Ketentuan ini berbeda dengan Pasal 82. Gugatan PHK menurut Pasal 82 dianggap daluwarsa apabila satu tahun sejak menerima pemberitahuan keputusan PHK pekerja tidak mengajukan gugatan. Pasal 171 tidak mempersoalkan apakah pemberitahuan PHK sudah sampai atu tidak pada pekerja, sedangkan Pasal 82 dengan tegas menghitung masa daluwarsa dari waktu kapan pekerja menerima pemberitahuan PHK. Dari segi substansi, Pasal 82 merupakan landasan yang lebih tepat menghitung masa daluwarsa PHK. Namun demikian, kedua ketentuan itu sama-sama memberi pilihan bagi dan karenanya pengusaha dapat melakukan PHK baik secara lisan maupun tertulis.
Bila substansi Pasal 82 UU No. 2 tahun 2004 dan Pasal 171 UU No. 13 tahun 2003 dibandingkan dengan Pasal 1603t KUHPerdata maka secara redaksional kedua UU di atas lebih tegas mengatur batas waktu menghitung daluwarsa. Dengan merujuk pada asas hukum dan kepentingan harmonisasi perundang-undangan maka tepat memposisikan Pasal 1603t KUHPerdata tidak lagi sebagai hukum positif.

Daluwarsa terhadap PHK karena alasan mengundurkan diri tidak menyisahkan masalah baru. Beda halnya dengan PHK yang timbul karena menjalani proses pidana lebih dari 6 bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 ayat (3) UU No. 13 tahun 2003. Ketentuan yang menjadi dasar hukum daluwarsa itu berpotensi menimbulkan masalah hukum baru. Seandainya pengadilan pidana memutuskan pekerja tidak bersalah, sementara putusan PHK secara formil telah diterbitkan, apakah pekerja yang bersangkutan dapat menggugat PHK tersebut ke PHI ? Apabila dalam menghadapi masalah seperti itu pengadilan menolak gugatan pekerja dengan alasan daluwarsa, akan timbul ketidakadilan bagi pekerja. Dalam kondisi seperti itu, beralasan bagi pengadilan memberi ruang bagi pekerja menggugat surat PHK sebab putusan membebaskan dari dakwaan sama artinya tidak bersalah. Pembentuk UU tampak kurang memperhatikan dilema daluwarsa ini. Untuk menghormati hak pekerja yang dinyatakan tidak bersalah akan sangat tepat bila pembentuk UU dari awal mengatur solusi atas masalah tersebut. Pemberian hak kepada pengusaha melakukan PHK di dalam proses hukum dan tiadanya solusi hukum yang pasti bila pekerja dinyatakan bebas oleh pengadilan memposisikan Pasal 160 ayat (3) sebagai ketentuan antagonis karena tidak menghormati asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence).

Substansi pembahasan daluwarsa hubungan industrial yang terdapat dalam hukum ketenagakerjaan hanya menguntungkan pengusaha dan samasekali tidak memberi kontribusi positif bagi pekerja. Oleh karena itu, praktisi hubungan industrial perlu mengetahui hal-hal berikut ini :
a. Daluwarsa hak dan PHK merugikan pekerja dan memberi keuntungan finansial kepada pengusaha
b. Daluwarsa efektif menghapus kewajiban pengusaha membayar hak pekerja
c. Pengusaha berpeluang mendaluwarsakan hak pekerja selama pekerja tidak mengajukan tuntutan hak
d. Kelalaian pekerja faktor utama penyebab daluwarsa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar