Selasa, 28 Februari 2012

MEMPERKUAT INDUSTRI PERBANKAN

APAKAH OJK (TIDAK?) DIPERLUKAN

Pengalaman mengajarkan, tidak ada negara  yang kebal terhadap krisis perbankan. Artinya, sistem pengawasan bagaimanapun yang diterapkan, krisis tetap saja terjadi. Pengalaman ini penting dicermati karena pada tahun 2010, pemerintah harus melaksanaan amanat Pasal 34 UU No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia  untuk  mendirikan Lembaga Pengawas Jasa Keuangan yang independen. Amanat tersebut akan mengubah secara  mendasar  struktur pengawasan  bank yang selama ini dilakukan oleh Bank Indonesia dan struktur pengawasan pasar  modal dan lembaga keuangan bukan bank yang dilakukan oleh Bapepam- LK. UU tidak menjelaskan bagaimana bentuk dan desain LPJK (kemudian menjadi Otoritas Jasa Keuangan/OJK) yang akan didirikan tersebut.  Secara historis, ide pembentukan LPJK dimulai saat pembahasan rencana undang-undang tentang Bank Indonesia oleh DPR. Pada awal pemerintahan Presiden Habibie, pemerintah mengajukan RUU tentang Bank Indonesia  yang memberikan independensi kepada bank sentral.
Mendirikan lembaga baru sebesar OJK tentunya membutuhkan sumber daya yang tidak sedikit dan hasil yang belum tentu maksimal. Padahal  masalah utama yang dihadapi industri perbankan saat ini adalah lemahnya penerapan good corporate governance. Masalah good corporate governance tidak selesai dengan beralihnya kewenangan pengawasan. Hal ini terbukti dari pengalaman Jepang dan Inggris dalam menerapkan FSA, suatu lembaga semacam OJK,  Penerapan FSA ternyata tidak membuat industri perbankan Jepang menjadi lebih baik. Hal ini dapat dilihat dari bangkrutnya Long-Term Credit Bank dan Nippon Credit Bank, dua bank besar yang terbukti merekayasa pembukuannya. Masalah koordinasi antara FSA dengan bank sentral juga muncul misalnya dalam kasus Ishikawa Bank di Jepang dan  Northern Rock Bank di Inggris. Terlepas dari siapa yang akan mengawasi bank  yang pasti tidak ada model universal yang tahan krisis. Oleh karena itu, seluruhnya terpulang kepada keputusan politik, Harus diingat, kasus Bank Century tidak boleh dijadikan pijakan dalam mengambil keputusan karena kebijakan yang dipilih dapat menyesatkan.  Beberapa gagasan di bawah dapat menjadi bahan renungan agar good corporate governance efektif diterapkan oleh  industri perbankan.
Pertama,  mengefektifkan pengawasan oleh masyarakat (market discipline) dengan cara memperluas penerapan prinsip transparansi (sunshine regulation). Tujuannya  untuk meningkatkan kemampuan nasabah dan stakeholder  mengawasi bank secara langsung.  Kelompok masyarakat yang potensial sebagai pengawas adalah deposan besar, pemegang pinjaman subordinasi, pemegang saham minoritas (publik) dan perusahaan pemeringkat. Kelompok ini adalah kelompok yang tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).  Pengawasan yang dilakukan oleh kelompok ini ternyata lebih efektif dibandingkan dengan pengawasan yang dilakukan lembaga pengawas manapun. Pengalaman Amerika Serikat  mendukung pandangan ini. Studi  oleh Petty dan Sinkey terhadap 6 bank yang bangkrut menjelaskan   bahwa sinyal pasar terjadi pada rata-rata 33 minggu sebelum lembaga pengawas mencantumkan bank tersebut pada daftar bank bermasalah. Studi serupa yang dilakukan oleh Jonhson dan Weber mengindikasikan bahwa pencantuman bank pada  daftar bank bermasalah tidak menyebabkan timbulnya reaksi pasar signifikan. Hal ini berarti pasar telah bereaksi terlebih dulu sebelum pengawas bertindak. Sedangkan studi yang dilakukan oleh Shick and Sherman menunjukkan bahwa harga saham bank holding company  mulai turun 15 bulan sebelum pengawas mengetahui bahwa bank, anak perusahaan bank holding company tersebut, sedang mengalami masalah.
Basle Committee on Banking Supervision telah mengindentifikasikan 6 kategori informasi yang perlu diungkapkan kepada masyarakat untuk membantu pencapaian tingkat keterbukaan bank, yaitu: (a) kinerja keuangan; (b) posisi keuangan (termasuk permodalan, solvabilitas dan likuiditas); (c) praktik dan strategi manajemen risiko; (d) risk exposure (termasuk risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas dan risiko operasional, hukum dan lainnya); (e) kebijakan akuntansi; dan (f) bisnis dasar, informasi tentang corporate governance dan kualitas manajemen. Jenis  informasi seperti itu  tidak berarti banyak bagi ordinary customer karena masih membutuhkan analisis dan pemahaman. Bagi nasabah kecil yang mereka perlukan adalah informasi yang kongkrit tentang kondisi suatu bank. Untuk itu, informasi tentang suatu bank dikenakan sanksi oleh regulator perlu diungkapkan ke masyarakat karena mudah dipahami sehingga lebih bermanfaat bagi nasabah dalam mengambil keputusan. Oleh sebab itu, ada baiknya regulator mengumumkan kepada publik bank yang dikenakan sanksi. Informasi yang diungkapkan misalnya meliputi jenis sanksi yang dikenakan serta pelangaran yang dilakukan oleh bank tersebut.
Alasan lain perlunya industri perbankan diwajibkan lebih transparan adalah untuk mengimbangi terjadinya peningkatan kompleksitas bisnis perbankan. Kompleksitas bisnis perbankan mempersulit lembaga pengawas mendeteksi secara dini permasalahan yang dihadapi bank. Oleh karena itu kondisi ini harus diikuti oleh peningkatan keterbukaan tentang praktik  manajemen risiko, bentuk risiko dan kinerja manajemen risiko yang dibarengi dengan keterbukaan mengenai permodalan sehingga dapat  memfasilitasi bekerjanya disiplin pasar. Keterbukaan yang tepat waktu mengenai informasi tersebut memungkinkan pengawas dan peserta pasar dapat  melakukan penilaian yang lebih sempurna tentang bagaimana suatu bank memelihara kesehatannya. Indikasi yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk menilai tingkat kesehatan bank misalnya apabila bank secara de fakto tidak punya  akses ke pasar antar bank, atau memiliki akses namun dengan tingkat bunga yang tinggi. Informasi ini secara normal tidak dipublikasikan, tetapi secara adil harus tersedia untuk masyarakat. Penerapan prinsip keterbukaan tentunya akan mempertajam mekanisme sistem peringatan dini (early warning system) sehingga dampak negatif keterlambatan lembaga pengawas yang seringkali terjadi  dapat dinetralisir dengan efektifnya pengawasan oleh masyarakat.
Kedua, penanganan bank bermasalah seolah berlomba dengan waktu. Apabila jangka waktu antara terjadinya economic insolven dan pencabutan ijin usaha terlalu panjang maka kerugian yang akan ditanggung masyarakat menjadi lebih besar. Sebab, diantara waktu tersebut manajemen bank memiliki insentif untuk melakukan kegiatan yang berisiko tinggi dalam upaya menjaga agar bank kelihatan tetap solven. Benar,  internal auditorlah yang seharusnya secara dini mendeteksi permasalahan yang timbul pada bank dan kemudian mendiskusikannya dengan manajemen agar dapat diambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memperbaiknya. Namun, pengalaman menunjukan dalam setiap kasus kebangkrutan bank, justru pemilik dan penguruslah yang punya andil besar dalam menghancurkan bank tersebut.  Lambatnya keputusan pencabutan ijin usaha suatu bank tidak terlepas dari lemahnya pengaturan. Pasal 37 UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan mensyaratkan harus dilakukannya proses penyelamatan yang panjang sebelum suatu bank dinyatakan gagal dan dicabut ijin usahanya. Panjangnya proses ini menimbulkan kesan pengawas lamban mengambil keputusan. Sebelum menyatakan suatu bank sebagai bank gagal, pengawas harus melaksanakan langkah –langkah penyelamatan sebagai berikut: meminta pemegang bank saham menambah modal; pemegang saham  menganti dewan komisaris dan atau direksi; bank menghapusbukukan kredit atau pembiayaan macet dan memperhitungkan kerugian bank dengan modal; bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain; bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban; bank menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada pihak lain; bank menjual sebagian atau seluruh harta dan atau kewajiban bank kepada bank atau pihak lain. Pengaturan seperti ini tidak saja terlalu panjang tetapi juga tidak memberikan kewenangan paksa kepada pengawas untuk memaksa bank mengambil langkah-langkah yang diperlukan sebagai upaya penyelamatan.
Selanjutnya agar lembaga pengawas dapat bertindak tegas, perlu memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pengawas bank  yaitu kewenangan sebagai penyidik.  UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia tidak memberikan kewenangan penyidikan bagi pengawas bank. Tidak dimilikinya kewenangan penyidikan ini mempengaruhi efektifitas dalam menjalankan tugas pengawasan. Seringkali pengawas “kewalahan” menghadapi pengurus bank yang tidak kooperatif dan nakal. Disamping itu, tidak dimilikinya kewenangan penyidikan menyebabkan pengawas tidak dapat melaksanakan upaya paksa dan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh pengawas tidak dapat dijadikan alat bukti di persidangan. Tidak jelas alasannya mengapa pembentuk UU tidak memberikan kewenangan penyidik kepada pengawas bank padahal  kewenangan sebagai penyidik  diberikan kepada pengawas pasar modal. Dukungan pengadilan tentunya sangat dibutuhkan dalam upaya penegakan hukum agar langkah-langkah tegas yang diambil oleh pengawas bank  tidak “dimentahkan” oleh pengadilan. Hakim Agung AS Antonin Scalia mengingatkan “if it is reasonable to think that a Supreme Courts Justice can be bought, the nation is in deeper  trouble.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar