Oleh Agus Suharsono, Widyaiswara Madya, Pusdiklat Pajak
Pendahuluan
Bahasa Hukum di Indonesia sepengetahuan penulis jarang sekali dibahas, padahal hukum
pertama kali ditafsirkan berdasarkan bahasanya. Tulisan ini akan membahas pengunaan
kata “salah” dan “keliru” dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 2008
tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-undang (UU KUP) sebagai
bagian dari bahasa hukum.
Ruang lingkup pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 UU KUP adalah
kesalahan atau kekeliruan yang bersifat manusiawi dan tidak mengandung persengketaan
antara fiskus dan Wajib Pajak. Saat berdiskusi dalam beberapa kelas Diklat di Pusdiklat
Pajak, sering penulis jumpai peserta Diklat rancu memahami antara kesalahan dengan
kekeliruan. Tidak jarang peserta Diklat hanya memahami yang harus dibetulkan jika
terjadi kesalahan atau beberapa yang lain menganggap kesalahan dengan kekeliruan itu
sama saja. Padahal dua hal tersebut berbeda.
Perbedaan tersebut coba dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 34 ayat (1) Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2011, tetapi penjelasan tersebut justru menimbulkan
kerancuan untuk tidak menyebutnya salah, atau mungkin justru keliru. Tulisan ini akan
membahas makna kesalahan serta kekeliruan secara kebahasaan dan penerapannya
dalam ketentuan perundang-undangan.
Ruang Lingkup Pembetulan
Penjelasan Pasal 16 ayat (1) UU KUP menjelaskan ruang lingkup pembetulan terbatas
pada kesalahan atau kekeliruan sebagai akibat dari:
a. kesalahan tulis, antara lain kesalahan yang dapat berupa nama, alamat, Nomor
Pokok Wajib Pajak, nomor surat ketetapan pajak, jenis pajak, Masa Pajak atau
Tahun Pajak, dan tanggal jatuh tempo;
b. kesalahan hitung, antara lain kesalahan yang berasal dari penjumlahan dan/atau
pengurangan dan/atau perkalian dan/atau pembagian suatu bilangan; atau
c. kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundangundangan
perpajakan, yaitu kekeliruan dalam penerapan tarif, kekeliruan penerapan
2
persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto, kekeliruan penerapan sanksi
administrasi, kekeliruan Penghasilan Tidak Kena Pajak, kekeliruan penghitungan
Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan, dan kekeliruan dalam pengkreditan pajak.
Bahasa Peraturan Perundang-undangan
Menurut ketentuan Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, bahasa Peraturan Perundang-undangan pada dasarnya
tunduk pada kaidah tata Bahasa Indonesia, baik pembentukan kata, penyusunan kalimat,
teknik penulisan, maupun pengejaannya. Namun bahasa Peraturan Perundang-undangan
mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian,
kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum baik
dalam perumusan maupun cara penulisan. Ciri-ciri bahasa Peraturan Perundang-undangan
antara lain membakukan makna kata, ungkapan atau istilah yang digunakan secara
konsisten, juga memberikan definisi atau batasan pengertian secara cermat.
Walaupun mempunyai corak serta ciri tersendiri bahasa Peraturan Perundang-Undangan
pada prinsipnya tunduk pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang
Disempurnakan yang mencabut Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor
0543a/U/1987 tentang Penyempurnaan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan. Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam peraturan perundang-undangan
merupakan ketentuan Pasal 26 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009
Tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan.
Makna Kesalahan atau Kekeliruan
Bahasa Peraturan Perundang-undangan harus membakukan makna kata. Untuk mencari
makna kata kita harus merujuk ke Kamus Besar Bahasa Indonesia. Makna kata yang sering
dirancukan dalam memahami ketentuan Pasal 16 UU KUP adalah makna kata „kesalahan‟
serta „kekeliruan‟.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) makna kata „kesalahan‟ serta „kekeliruan‟
adalah sebagai berikut:
a. Kesalahan berasal dari kata dasar „salah‟ yang dimaknai:
- tidak benar; tidak betul: ia membetulkan hitungannya yg --;
- keliru; khilaf: ia -- menafsirkan ayat itu;
- menyimpang dari yang seharusnya: mereka -- jalan;
- luput; tidak mengenai sasaran; gagal: dua kali tembakannya -- dan baru yg ketigalah ia berhasil;
- cela; cacat: meskipun sudah tua, tidak ada -- nya jika engkau mau belajar lagi;
- kekeliruan: bukan -- ku jika ia tidak menepati janjinya;
- salah: anggapan yang --;
- khilaf; silap: ia -- menendang bola ke gawang sendiri;
- sesat: ajaran yang --;
- tertukar: sandalnya -- dengan sandalku;
- ke·ke·li·ru·an n kesalahan; kekhilafan.
Pasal 34 ayat (3) PPemerintah Nomor 74 Tahun 2011 mengatur bahwa dalam hal terdapat
kekeliruan pengkreditan Pajak Masukan Pajak Pertambahan Nilai pada surat keputusan atau
surat ketetapan, pembetulan atas kekeliruan tersebut hanya dapat dilakukan apabila
terdapat perbedaan besarnya Pajak Masukan yang menjadi kredit pajak dan Pajak Masukan
tersebut tidak mengandung persengketaan antara fiskus dan Wajib Pajak. Sebenarnya tidak
4
terdapat masalah dalam ketentuan ini, tetapi dalam penjelasannya diberikan contoh sebagai
berikut:
Telah diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai atas
nama PT A untuk Masa Pajak Februari 2012, dengan rincian sebagai berikut:
Pajak Keluaran sebesar Rp100.000.000,00
Pajak Masukan sebesar Rp75.000.000,00
Dari Pajak Masukan tersebut terdapat 1 (satu) Faktur Pajak sebesar Rp7.500.000,00
yang telah terjadi kekeliruan dalam penghitungan Pajak Masukan pada saat
Pemeriksaan menjadi sebesar Rp5.700.000,00....”
Dalam contoh ini terjadi kerancuan pemakaian kata yang seharusnya kesalahan tetapi
digunakan kata kekeliruan. Kata „kekeliruan dalam penghitungan‟ seharusnya „kesalahan
dalam penghitungan karena penghitungan masuk dalam kategori kesalahan bukan
kekeliruan. Jika sebenarnya besarnya kredit pajak dalam Faktur Pajak Masukan tersebut
sebesar Rp7.500.000,00 tetapi pada saat pemeriksaan terjadi kesalahan tulis bukan salah
hitung -dan tentu saja bukan kekeliruan- menjadi sebesar Rp5.700.000,00.
Pengunan kata kekeliruan dalam Pembetulan Pasal 16 UU KUP adalah untuk kekeliruan
dalam penerapan tarif, kekeliruan penerapan persentase Norma Penghitungan Penghasilan
Neto, kekeliruan penerapan sanksi administrasi, kekeliruan Penghasilan Tidak Kena Pajak,
kekeliruan penghitungan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan, dan kekeliruan dalam
pengkreditan pajak.
Kekeliruan yang mungkin terjadi dalam pembuatan faktur pajak misalnya keliru dalam
menerapkan tarif misalnya jumlah yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak adalah
Rp75.000.000,00 seharusnya dikenakan PPN dengan tarif 10% sehingga jumlah PPN-nya
sebesar Rp.7.500.000,00 tetapi dikenakan tarif 7,6% sehingga jumlah PPN-nya sebesar
Rp.5.700.000,00. Jika Faktur Pajak Masukan tersebut dikreditkan oleh Pengusaha Kena
Pajak kemudian di koreksi oleh Pemeriksa Pajak maka upaya yang dapat ditempuh oleh
Pengusaha Kena Pajak bukan pembetulan tetapi keberatan.
Setelah menelusuri makna kata salah serta keliru dan penerapannya dalam ketentuan Pasal
16 UU KUP maka penggunaan kata „kekeliruan dalam penghitungan‟ dalam penjelasan Pasal
34 ayat (3) PP Nomor 74 Tahun 2011 dapat dikatakan menggunakan ungkapan atau istilah
yang tidak konsisten atau memberikan definisi atau batasan pengertian yang tidak cermat
sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
Penutup
Kata salah serta keliru menurut KBBI bisa dimaknai bebeda tetapi bisa juga sama.
Berdasarkan Pasal 16 UU KUP kata salah digunakan untuk salah tulis atau salah hitung.
Sedangkan kekeliruan digunakan untuk penerapan ketentuan peraturan perundangundangan
perpajakan. Ciri-ciri bahasa Peraturan Perundang-undangan berdasarkan UU
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan antara lain
membakukan makna kata, ungkapan atau istilah yang digunakan secara konsisten, juga
memberikan definisi atau batasan pengertian secara cermat. Penjelasan Pasal 34 ayat (3) PP
Nomor 74 Tahun 2011 mengunakan kata kekeliruan dalam penghitungan adalah tidak
konsisten juga tidak cermat. Untuk „penghitungan‟ kata yang tepat adalah kesalahan bukan
kekeliruan.
*)
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis
bekerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar