Senin, 09 Maret 2009

FASILITAS PEMBIAYAAN DARURAT BAGI BANK UMUM

Dalam menjalankan usahanya Bank menghadapi berbagai risiko antara lain risiko likuiditas. Risiko likuiditas merupakan kesulitan pendanaan jangka pendek yang timbul akibat ketidaksesuaian (mismatch) antara arus dana masuk (cash inflow) dengan arus dana keluar (cash outflow). Kondisi tersebut dapat mengakibatkan terjadinya saldo giro negatif Bank pada Bank Indonesia. Apabila tidak segera diatasi, kesulitan likuiditas tersebut dapat menimbulkan masalah yang lebih besar bahkan dapat menimbulkan kesulitan likuiditas bagi bank-bank lainnya.

Untuk menutup kesulitan likuiditas, pada dasarnya Bank pertama-tama harus mengupayakan dana di pasar uang dengan menggunakan berbagai instrumen pasar uang yang tersedia. Apabila Bank gagal memperoleh dana di pasar uang, maka Bank Indonesia dalam fungsinya sebagai lender of last resort dapat membantu Bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek tersebut.

Kebijakan lender of last resort tersebut merupakan bagian dari jaring pengaman keuangan (financial safety net) yang diperlukan dalam rangka memelihara stabilitas sistem keuangan. Kerangka jaring pengaman keuangan yang komprehensif memuat secara jelas mengenai peran masing-masing lembaga terkait dan mekanisme koordinasi baik dalam pencegahan maupun penyelesaian krisis. Stabilitas sistem keuangan tersebut mutlak dipelihara untuk stabilitas moneter dalam rangka menunjang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Fasilitas lender of last resort yang diberikan bank sentral kepada bank, baik untuk situasi normal maupun untuk penanganan krisis, secara umum dapat dikategorikan kedalam beberapa jenis yakni:
  1. Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI) untuk mengatasi kekurangan likuiditas (liquidity mismatch) akibat kesenjangan antara arus dana masuk dan arus dana keluar. Pemberian fasilitas ini kepada Bank ditujukan untuk memperlancar operasi sistem pembayaran dengan didukung agunan likuid dan bernilai tinggi kepada Bank Indonesia;
  2. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) diberikan kepada Bank yang mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek. Pemberian FPJP harus didukung dengan agunan yang berkualitas tinggi yang nilainya memadai;
  3. Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD) kepada Bank yang mengalami kesulitan likuiditas, tetapi masih memenuhi tingkat solvabilitas yang ditetapkan Bank Indonesia, serta berdampak sistemik yang pemberiannya didasarkan pada keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).


FLI dan FPJP merupakan fasilitas yang diberikan Bank Indonesia untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam kondisi normal, sedangkan FPD merupakan fasilitas untuk mengatasi dampak atau risiko sistemik dalam kondisi darurat untuk mencegah dan mengatasi krisis. FPD yang diberikan dalam rangka pencegahan krisis diberikan oleh Bank Indonesia dan dijamin oleh Pemerintah. Sedangkan FPD dalam rangka penanganan krisis pendanaannya berasal dari Pemerintah yang diberikan melalui Bank Indonesia. Oleh karena itu, sumber pendanaan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis terkait dengan pemberian FPD menjadi beban APBN melalui penerbitan SBN atau tunai oleh Pemerintah.


Untuk meyakinkan akuntabilitas dan transparansi, proses pengambilan keputusan dalam penetapan dampak atau risiko sistemik dan pemberian FPD kepada Bank dilakukan secara bersama (joint decision) oleh Menteri Keuangan dan Bank Indonesia melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan. Keputusan pemberian FPD dilakukan berdasarkan penilaian atas potensi risiko sistemik yang dapat terjadi terhadap stabilitas sistem keuangan dan dampak negatif terhadap perekonomian jika FPD tersebut tidak diberikan kepada Bank.

berikut PBI tersebut :


PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/ 31 /PBI/2008
TENTANG
FASILITAS PEMBIAYAAN DARURAT BAGI BANK UMUM

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR BANK INDONESIA,

Menimbang :
a. bahwa dalam menjalankan kegiatan usahanya, Bank dapat mengalami Kesulitan Likuiditas yang membahayakan kelangsungan usahanya dan memiliki Dampak Sistemik sehingga berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan stabilitas sistem keuangan;
b. bahwa untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas yang memiliki Dampak Sistemik, Bank Indonesia dalam melaksanakan fungsinya sebagai lender of last resort dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat kepada Bank Umum dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis;

c. bahwa sehubungan dengan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, dipandang perlu untuk mengatur ketentuan mengenai fasilitas pembiayaan darurat bagi Bank umum dalam Peraturan Bank Indonesia;

Mengingat :
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
  2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah
    Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4901);
  3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4236);
  4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
  5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
  6. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
  7. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4907);


MEMUTUSKAN:


Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG FASILITAS PEMBIAYAAN DARURAT BAGI BANK UMUM.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:

  1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
  2. Bank Bermasalah adalah Bank yang mengalami kesulitan keuangan dalam bentuk kesulitan likuiditas dan/atau kesulitan solvabilitas yang membahayakan kelangsungan usahanya.
  3. Bank Gagal adalah Bank yang mengalami kesulitan keuangan dan membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan tidak dapat lagi disehatkan oleh Bank Indonesia.
  4. Rekening Giro Rupiah adalah Rekening Giro dalam mata uang rupiah sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia mengenai Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia dengan Pihak Ekstern
  5. Kesulitan Likuiditas adalah kesulitan pendanaan jangka pendek yang dialami Bank yang disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar (mismatch) yang diperkirakan dapat mengakibatkan terjadinya saldo giro negatif.
  6. Permasalahan Solvabilitas adalah kesulitan permodalan yang dialami Bank sehingga tidak memenuhi Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
  7. Krisis adalah suatu kondisi sistem keuangan yang sudah gagal secara efektif menjalankan fungsi dan perannya dalam perekonomian nasional.
  8. Dampak Sistemik adalah potensi penyebaran masalah (contagion effect) dari satu Bank Bermasalah ke bank lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga mengakibatkan kesulitan likuiditas Bank-Bank lain dan berpotensi menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap sistem perbankan dan mengancam stabilitas sistem keuangan.
  9. Fasilitas Pembiayaan Darurat, yang selanjutnya disebut FPD, adalah fasilitas pembiayaan dari Bank Indonesia yang diputuskan oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), yang dijamin oleh Pemerintah kepada Bank yang mengalami kesulitan likuiditas yang Memiliki Dampak Sistemik dan berpotensi Krisis namunmasih memenuhi tingkat solvabilitas.
  10. Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) adalah komite yang terdiri dari Menteri Keuangan sebagai Ketua merangkap Anggota dan Gubernur Bank Indonesia sebagai Anggota yang berfungsi sebagai sarana pengambilan keputusan pemberian FPD.
  11. Surat Berharga Negara, yang selanjutnya disebut SBN, adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Surat Utang Negara dan surat berharga syariah negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Surat Berharga Syariah Negara.
  12. Pasar Uang Antar Bank yang untuk selanjutnya disingkat PUAB adalah kegiatan pinjam-meminjam dana antara satu Bank dengan Bank lainnya.
  13. Pencegahan Krisis adalah tindakan untuk mencegah terjadinya Krisis.
  14. Penanganan Krisis adalah tindakan untuk mengatasi dan menyelesaikan Krisis agar sistem keuangan kembali berfungsi secara normal.



BAB II
TUJUAN DAN RUANG LINGKUP


Pasal 2


FPD diberikan untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Bank yang memiliki Dampak Sistemik baik dalam rangka Pencegahan Krisis maupun Penanganan Krisis;


BAB III
SUMBER PENDANAAN FPD


Pasal 3
(1) Sumber pendanaan FPD dalam rangka Pencegahan Krisis berasal dari Bank Indonesia yang dijamin oleh Pemerintah.
(2) Sumber pendanaan FPD dalam rangka Penanganan Krisis berasal dari Pemerintah.


BAB IV
PEMBERIAN FPD

Bagian Kesatu

Persyaratan Pengajuan FPD


Pasal 4


(1) Bank wajib melaksanakan kegiatan usahanya dengan berpedoman pada prinsip kehati-hatian yang berlaku, termasuk dalam menjaga kecukupan likuiditasnya.


(2) Dalam hal mengalami Kesulitan Likuiditas, Bank wajib mencari sumber dana lain untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas dimaksud.

Pasal 5
(1) Dalam hal Bank tidak dapat memperoleh dana untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), Bank dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh FPD dari Bank Indonesia dengan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.

(2) Persyaratan pemberian FPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Bank mengalami Kesulitan Likuiditas yang memiliki Dampak Sistemik;
b. Bank memiliki rasio kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) positif; dan
c. Bank memiliki aset yang dapat dijadikan agunan.

Pasal 6

FPD hanya diberikan kepada Bank yang berbadan hukum Indonesia.

Bagian Kedua
Permohonan Pengajuan FPD

Pasal 7

(1) Permohonan FPD ditujukan kepada Gubernur Bank Indonesia dengan alamat Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta Pusat dengan tembusan kepada Menteri Keuangan RI dengan alamat Jalan Lapangan Banteng No. 2-4 Jakarta Pusat dan:
a. Direktorat Pengelolaan Moneter dengan alamat Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta Pusat;
b. Direktorat Pengawasan Bank dengan alamat Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta Pusat untuk Bank yang berkantor pusat di Jakarta;
c. Direktorat Perbankan Syariah dengan alamat Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta Pusat untuk Bank Umum Syariah yang berkantor pusat di Jakarta; atau
d. Kantor Bank Indonesia setempat bagi Bank umum konvensional dan Bank Umum Syariah yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia.

(2) Bank penerima FPD wajib menyampaikan action plan, realisasi action plan dan
laporan likuiditas harian sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini
kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b, huruf c, dan huruf d.

Pasal 8

Permohonan FPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) harus dilengkapi dengan dokumen-dokumen yang dipersyaratkan, yaitu:

a. Surat Pernyataan dari Pengurus Bank bahwa Bank telah mencari sumber dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) sebelum mengajukan FPD;
b. Dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan FPD;
c. Daftar aset yang akan dijadikan agunan beserta nilai taksiran sementara dan dokumen asli bukti kepemilikan, yang akan diikuti dengan pemasangan Hak Tanggungan, gadai, atau jaminan fidusia;
d. Surat Pernyataan Kesanggupan Pemegang Saham Pengendali dan atau Pengurus Bank untuk menyerahkan tambahan aset yang akan diagunkan kepada Pemerintah dalam hal Bank tidak dapat melunasi FPD yang dibuat dihadapan notaris;
e. Surat Pernyataan Kesanggupan dari Pemegang Saham Pengendali untuk menyerahkan kewenangan RUPS;
f. Surat Pernyataan Kesanggupan Pemegang Saham Pengendali dan Pengurus Bank untuk membayar kembali FPD yang dibuat di hadapan notaris;

g. Surat Kesanggupan untuk menerbitkan Personal Guarantee dan/atau Corporate Guarantee dari Pemegang Saham Pengendali yang dibuat di hadapan notaris, dan dilampiri daftar aset; dan

h. Surat Pernyataan kesediaan Pemegang Saham Pengendali dan Pengurus Bank Bermasalah untuk melakukan tindakan yang diperintahkan oleh BI yang dibuat di hadapan notaris.

Bagian Ketiga
Mekanisme Pengambilan Keputusan

Pasal 9
(1) Dalam hal Bank Indonesia mengindikasikan bahwa Bank yang mengajukan permohonan FPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) memiliki Dampak Sistemik, Gubernur Bank Indonesia segera meminta kepada Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan rapat KSSK guna membahas permasalahan Bank dan menetapkan langkah-langkah penyelesaian.

(2) Indikasi mengenai adanya Bank yang memiliki Dampak Sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan antara lain pada analisis kondisi keuangan Bank dan dampaknya terhadap sistem perbankan.

Pasal 10

(1) Rapat KSSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, memutuskan kondisi Bank tersebut memiliki Dampak Sistemik atau tidak memiliki Dampak Sistemik.

(2) Dalam hal Bank diputuskan Memiliki Dampak Sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KSSK memutuskan :
a. pemberian FPD;
b. penetapan pagu FPD;
c. jangka waktu;
d. suku bunga atau imbalan; dan
e. kriteria umum agunan FPD.
(3) Pemberian FPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat diberikan kepada Bank yang mengajukan permohonan FPD dan memenuhi kriteria solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b.

(4) Dalam hal rapat KSSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 memutuskan Bank memiliki Dampak Sistemik namun tidak mengajukan permohonan FPD, atau mengajukan permohonan FPD namun diputuskan bahwa Bank tidak Memiliki Dampak Sistemik, Bank Indonesia menetapkan Bank dimaksud sebagai Bank Gagal.

(5) Tindak lanjut penanganan terhadap Bank Gagal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 11

(1) Penetapan pagu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b dengan mempertimbangkan perkiraan kebutuhan likuiditas yang diajukan oleh Bank.

(2) Jangka waktu FPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf c paling lama adalah 90 (sembilan puluh) hari kalender yang dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender.

BAB V
KRITERIA UMUM AGUNAN FPD

Pasal 12

(1) Bank yang mengajukan permohonan FPD wajib menyerahkan agunan pokok dan agunan tambahan.

(2) Agunan pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa aset Bank yang tersedia dengan prioritas dari aset yang paling likuid dan berkualitas.
(3) Agunan tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa aset pemegang saham pengendali.

(4) Bank menyampaikan nilai taksasi agunan pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang penilaiannya terakhir kali dilakukan oleh penilai independen.
Pasal 13

(1) Aset yang dijadikan agunan oleh Bank Penerima FPD harus bebas dari sitaan, tidak sedang digadaikan, atau dipertanggungkan secara apapun juga kepada pihak lain, serta tidak tersangkut dalam suatu perkara atau sengketa.

(2) Aset yang dijadikan agunan oleh Bank penerima FPD tidak dapat dialihkan, diperjualbelikan atau dijaminkan kembali oleh Bank penerima FPD.
(3) Bank penerima FPD wajib mengganti agunan FPD apabila tidak memenuhi kondisi-kondisi sebagaimana diatur pada ayat (1) dan ayat (2).

Pasal 14

(1) Agunan dinilai oleh Penilai Independen yang ditetapkan oleh Bank Indonesia berdasarkan daftar nominasi penilai independen yang disampaikan Bank penerima FPD.

(2) Seluruh biaya yang timbul dalam rangka penilaian agunan menjadi beban Bank penerima FPD.

Pasal 15

(1) Pengikatan agunan dilaksanakan oleh Bank Indonesia setelah dokumen agunan lengkap.

(2) Pengikatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengacu pada nilai yang ditetapkan oleh penilai independen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1).

(3) Penatausahaan bukti kepemilikan agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Bank Indonesia.

(4) Bank dan/atau Pemegang Saham Pengendali Bank wajib memelihara fisik agunan yang diserahkan dalam rangka FPD.

BAB VI
PERJANJIAN FPD DAN REALISASI PEMBERIAN FPD

Bagian Kesatu
Pencegahan Krisis

Pasal 16

Perjanjian pemberian FPD dilakukan secara notariil dan ditandatangani oleh pengurus Bank penerima FPD dengan Bank Indonesia.

Pasal 17

(1) Pemberian FPD dilakukan setelah ditandatanganinya perjanjian FPD.

(2) Realisasi pemberian FPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mendebet rekening khusus FPD di Bank Indonesia dan mengkredit Rekening Giro Rupiah Bank penerima FPD di Bank Indonesia.

(3) Realisasi pemberian FPD dilakukan sebesar kebutuhan Bank untuk memenuhi kebutuhan Giro Wajib Minimum (GWM) yang berlaku.

Pasal 18

(1) FPD yang telah digunakan oleh Bank penerima FPD dikenakan bunga atau imbalan sesuai suku bunga atau imbalan yang besarnya ditetapkan oleh KSSK.

(2) Suku bunga atau imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) nilainya sebesar BI Rate ditambah dengan marjin tertentu.

(3) Bank Indonesia melakukan perhitungan bunga atau imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan saldo akhir hari FPD.

(4) Pembebanan bunga atau imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan pada saat FPD jatuh tempo yang dibebankan ke Rekening Giro Rupiah Bank penerima FPD di Bank Indonesia.

Pasal 19

(1) Bank Indonesia memperoleh jaminan secara tertulis dari Menteri Keuangan atas nama Pemerintah atas FPD yang diberikan kepada Bank.

(2) Jaminan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa penggantian dana FPD yang belum dilunasi oleh Bank kepada Bank Indonesia dalam hal:

a. Bank tidak melunasi FPD dalam jangka waktu yang ditetapkan KSSK; atau
b. Bank dinyatakan sebagai Bank Gagal sebelum berakhirnya jangka waktu FPD.
(3) Dalam hal Bank penerima FPD tidak melunasi FPD dan/atau dinyatakan sebagai Bank Gagal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka:
a. Pemerintah mengganti dana FPD yang belum dilunasi oleh Bank penerima FPD kepada Bank Indonesia baik dalam bentuk tunai dan atau penerbitan SBN;

b. Bank Indonesia menyerahkan piutang FPD dan agunannya kepada Menteri Keuangan melalui Perjanjian Pengalihan Hak Atas Piutang beserta seluruh dokumen yang telah dicek kelengkapannya oleh Bank Indonesia;

c. Dengan adanya pengalihan piutang sebagaimana dimaksud huruf b, maka utang Bank Penerima FPD beralih dari utang kepada Bank Indonesia menjadi utang kepada Pemerintah.

Bagian Kedua
Penanganan Krisis
Pasal 20

(1) Pemberian FPD dalam kondisi Krisis kepada Bank yang mengalami Kesulitan Likuiditas dilakukan oleh Bank Indonesia yang pembiayaannya dari Pemerintah.

(2) Pemberian FPD dalam kondisi Krisis dituangkan dalam perjanjian antara Bank dan Bank Indonesia yang bertindak untuk dan atas nama Pemerintah, yang dilengkapi dengan:
a. daftar aset Bank dengan nilai transaksi sementara yang menjadi agunan FPD;dan

b. rencana kerja Bank dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.

(3) Perjanjian pemberian FPD dilakukan secara notariil dan ditandatangani oleh pengurus Bank penerima FPD dengan Bank Indonesia yang bertindak untuk dan atas nama Pemerintah.

(4) Pencairan FPD dalam rangka penanganan Krisis dilakukan setelah Pemerintah melakukan penerbitan SBN dan/atau dengan mendebet rekening Pemerintah di Bank Indonesia.
BAB VII
BIAYA-BIAYA PEMBERIAN FPD

Pasal 21

Biaya-biaya yang timbul berkaitan dengan:

a. penilaian atas agunan yang dilakukan oleh Perusahaan Penilai Independen;

b. biaya pembuatan Perjanjian FPD berikut Pengikatan Agunan yang dilakukan oleh Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT); dan

c. biaya-biaya lain yang terkait dengan pemberian FPD;
menjadi beban Bank penerima FPD.

BAB VIII
PELUNASAN FPD

Pasal 22

(1) Bank dapat melakukan pelunasan dan atau pengurangan baki debet FPD selama jangka waktu pemberian FPD.

(2) Pelunasan dan atau pengurangan baki debet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan mendebet Rekening Giro Rupiah Bank penerima FPD di Bank Indonesia apabila saldo Rekening Giro Rupiah Bank penerima FPD di Bank Indonesia telah melebihi ketentuan GWM.

(1) Bank Indonesia mendebet Rekening Giro Rupiah Bank penerima FPD yang bersangkutan dan mengkredit rekening khusus FPD Bank Indonesia pada saat FPD jatuh tempo sebagai pelunasan FPD.

(2) Dalam hal saldo Rekening Giro Rupiah Bank penerima FPD yang bersangkutan di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk pelunasan FPD pada saat FPD jatuh tempo, Gubernur Bank Indonesia meminta rapat KSSK membahas permasalahan Bank antara lain mengenai kondisi dan prospek keuangan Bank, serta memutuskan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasinya.

(3) Langkah-langkah untuk mengatasi permasalahan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah untuk memutuskan :
a. FPD tersebut dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender, apabila rasio KPMM Bank masih positif; atau
b. FPD tidak diperpanjang apabila rasio KPMM bank negatif .

(4) Perpanjangan dan perubahan perjanjian FPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a didasarkan pada permohonan yang diajukan oleh Bank Penerima FPD.

Pasal 24

(1) Dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) huruf b, atau Bank Penerima FPD tidak mampu melunasi FPD pada saat jatuh tempo setelah adanya perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) huruf a maka Bank Indonesia menyatakan sebagai Bank Gagal.

(2) Gubernur Bank Indonesia meminta Rapat KSSK untuk memutuskan langkahlangkah penanganan Bank Gagal sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 25
(1) Dalam hal Bank penerima FPD tidak mampu membayar FPD (default) dan FPD dialihkan kepada Pemerintah, maka Pemerintah selaku kreditur dapat melakukan eksekusi atas agunan.

(2) Apabila hasil eksekusi agunan lebih kecil dari nilai FPD dan kewajiban bunga yang harus dilunasi oleh Bank Penerima FPD, maka kekurangan pelunasan FPD merupakan utang Bank dan/atau Pemegang Saham Pengendali Bank kepada Pemerintah.
BAB IX
PENGAWASAN
Pasal 26

Dengan diberikannya FPD kepada Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 20, Bank Indonesia berwenang:

a. mengambil alih hak dan wewenang Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk mengganti sebagian atau seluruh direksi dan komisaris Bank;

b. menempatkan pihak yang mewakili Bank Indonesia sebagai direksi dan/atau komisaris Bank sampai dengan FPD dilunasi.

c. melaksanakan kewenangan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 27

(1) Bank penerima FPD ditempatkan dalam status Bank Dalam Pengawasan Khusus.

(2) Status Bank Dalam Pengawasan Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir apabila Bank penerima FPD telah menyelesaikan kewajiban pelunasan FPD dan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia yang berlaku.

Pasal 28

(1) Bank Penerima FPD wajib menyampaikan action plan kepada Bank Indonesia dengan tembusan kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah realisasi FPD untuk menyelesaikan masalah likuiditas serta menyusun rencana pengembalian FPD yang diterima.
(2) Bank wajib menyampaikan laporan pelaksanaan action plan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara mingguan kepada Bank Indonesia dengan tembusan kepada Menteri Keuangan.
(3) Bank penerima FPD wajib melaporkan kondisi likuiditasnya kepada Bank Indonesia secara harian.

(4) Bank dianggap terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) apabila Bank belum menyampaikan laporan sampai dengan batas waktu penyampaian laporan.

(5) Bank dianggap tidak menyampaikan laporan apabila Bank tidak menyampaikan laporan sampai dengan periode laporan berikutnya.
Pasal 29

(1) Bank penerima FPD dilarang mencairkan rekening simpanan pihak terkait kecuali ditetapkan lain oleh KSSK.

(2) Bank penerima FPD dilarang membagikan dividen dalam bentuk apapun selama kewajiban Bank atas FPD belum lunas.

(3) Pemegang Saham Pengendali Bank Penerima FPD dilarang mengalihkan kepemilikan sahamnya kepada pihak lain tanpa seijin Bank Indonesia.

BAB X
LAPORAN KEPADA DPR

Pasal 30

Gubernur Bank Indonesia bersama-sama Menteri Keuangan menyampaikan dan menjelaskan keputusan KSSK kepada Dewan Perwakilan Rakyat paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak Keputusan pemberian FPD.

BAB XI
SANKSI

Pasal 31

Dalam hal Bank tidak melunasi FPD dan/atau melakukan pelanggaran atas ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan/atau berdasarkan pemeriksaan Bank Indonesia diketahui adanya penyimpangan penggunaan FPD, maka Bank dikenakan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, antara lain berupa teguran tertulis, larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring, pembekuan kegiatan usaha tertentu, dan/atau pemberhentian pengurus Bank.

Pasal 32

Apabila Pengurus Bank, Pemegang Saham Pengendali dan pejabat eksekutif Bank dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank terhadap ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini, dan/atau memberikan keterangan atau dokumen yang diwajibkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini secara tidak benar, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dikenakan juga sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.

BAB XII
PENUTUP

Pasal 33

Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/1/PBI/2006 tentang Fasilitas Pembiayaan Darurat dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 34

Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 18 November 2008.
GUBERNUR BANK INDONESIA,

BOEDIONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 18 November 2008.

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 178

1 komentar:

  1. INI BUKTINYA : PUTUSAN SESAT PERADILAN INDONESIA

    Putusan PN. Jkt. Pst No. 551/Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan demi hukum atas Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
    Sebaliknya, putusan PN Surakarta No. 13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku Usaha (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap di Polda Jateng.
    Inilah realitas peradilan di Indonesia.
    Quo vadis Hukum Indonesia?

    David
    (0274)9345675

    BalasHapus