Senin, 09 Maret 2009

Ikhtisar Undang -Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah


PENDAHULUAN

Undang undang No. 21 tahun 2008 yang disahkan pada tanggal 16 Juli 2008 memiliki beberapa ketentuan umum yang menarik untuk dicermati. Ketentuan umum dimaksud (Pasal 1) adalah merupakan sesuatu yang baru dan akan memberikan implikasi tertentu, meliputi:

  • Istilah Bank Perkreditan Rakyat yang diubah menjadi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Perubahan ini untuk lebih menegaskan adanya perbedaan antara kredit dan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
  • Definisi Prinsip Syariah. Dalam definisi dimaksud memiliki dua pesan penting yaitu (1) prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dan (2) penetapan pihak/lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa yang menjadi dasar prinsip syariah.
    Penetapan Dewan Pengawas Syariah sebagai pihak terafiliasi seperti halnya akuntan publik, konsultan dan penilai.
  • Definisi pembiayaan yang berubah secara signifikan dibandingkan definisi yang ada dalam UU sebelumnya tentang perbankan (UU No. 10 tahun 1998).

    Dalam definisi terbaru, pembiayaan dapat berupa transaksi bagi hasil, transaksi sewa menyewa, transaksi jual beli, transaksi pinjam meminjam dan transaksi sewa menyewa jasa (multijasa).

ASAS, TUJUAN DAN FUNGSI

Asas dari kegiatan usaha perbankan syariah adalah prinsip syariah, demokrasi ekonomi dan prinsip kehati-hatian. Yang dimaksud dengan berasaskan prinsip syariah adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung riba, maisir, gharar, objek haram dan menimbulkan kezaliman. Sedangkan yang dimaksud dengan berasaskan demokrasi ekonomi adalah kegiatan usaha yang mengandung nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan dan kemanfaatan.


Tujuan dari perbankan syariah adalah menunjang pelaksanaan pembangunan nasional(Pasal 2 dan Pasal 3). Fungsi dari perbankan syariah, selain melakukan fungsi penghimpunan dan penyaluran dana masya rakat, juga melakukan fungsi sosial yaitu (1) dalam bentuk lembaga baitul maal yang menerima dana zakat, infak, sedekah, hibah dan lainnya untuk disalurkan ke organisasi pengelola zakat, dan (2) dalam bentuk lembaga keuangan syariah penerima wakaf uang yang menerim a wakaf uang dan menyalurkannya ke pengelola (nazhir) yang ditunjuk (Pasal 4).

PERIZINAN, BENTUK BADAN HUKUM, ANGGARAN DASAR DAN KEPEMILIKAN

Pihak - pihak yang akan melakukan kegiatan usaha Bank Syariah atau UUS wajib terlebih dahulu memperoleh izin usa ha sebagai Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah (UUS) dari Bank Indonesia. Dalam rangka memperoleh izin usaha dimaksud Bank Syariah harus memenuhi persyaratan sekurang-kurangnya tentang susunan organisasi dan kepengurusan; permodalan; kepemilikan; keahlian di bidang Perbankan Syariah; dan kelayakan usaha. Sedangkan Bank Umum Konvensional yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib membuka UUS di kantor pusat Bank dengan izin Bank Indonesia (Pasal 5).

Bank Syariah yang telah mendapatkan izin usaha setelah berlakunya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ini, wajib mencantumkan dengan jelas kata ”syariah” setelah kata ”bank” atau nama bank . Sedangkan UUS yang telah mendapatkan izin usaha setelah berlakunya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ini, wajib mencantumkan dengan jelas frase ”Unit Usaha Syariah” setelah nama Bank pada kantor UUS yang bersangkutan (Pasal 5).

Selain mendirikan Bank Syariah atau UUS baru, pihak-pihak yang ingin melakukan kegiatan usaha perbankan syariah dapat melakukan pengubahan (konversi) bank konvensional menjadi Bank syariah. Pengubahan dari Bank Syariah menjadi bank konvensional merupakan hal yang dilarang dalam UU ini (Pasal 5).Disamping itu, pendirian Bank Umum Syariah baru dapat dilakukan dengan cara pemisahan (spin off) UUS dari induknya yang dilakukan secara sukarela (Pasal 16) atau dilakukan dalam rangka memenuhi kewajiban (Pasal 68).

Bank Syariah atau UUS dapat membuka kantor cabang dan /atau kantor di bawah kantor cabang. Pembukaan kantor cabang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin dari Bank Indonesia. Sedangkan pembukaan kantor di bawah kantor cabang cukup dilaporkan kepada Bank Indonesia dan dapat segera beroperasi setelah mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia (Pasal 6).

Pembukaan Kantor Cabang, kantor perwakilan dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri oleh Bank Umum Syariah dan UUS hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia . Sedangkan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) tidak diizinkan membuka kantor cabang, kantor perwakilan dan jenis kantor lainnya di luar negeri (Pasal 6).


Bentuk badan hukum Bank Syariah harus berupa perseroan terbatas (Pasal 7) dimana anggaran dasarnya selain memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan, juga memuat hal-hal mengenaipengangkatan anggota direksi dan komisaris serta penyelenggaran Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang mencakup penetapan tugas manajemen, remunerasi komisaris dan direksi, laporan pertanggungjawaban tahunan, penunjukkan dan biaya jasa akuntan publik, penggunaan laba, dan hal-hal lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia (Pasal 8).

Bank Umum Syariah hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh warga negara Indonesia (WNI) dan/atau badan hukum Indonesia, WNI dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing (WNA) dan/atau badan hukum asing secara kemitraan, atau Pemerintah daerah. Sedangkan BPRS hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh WNI dan/atau badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya WNI, pemerintah daerah, atau gabungan dua pihak atau lebih dari WNI, badan hukum Indonesia dan pemerintah daerah (Pasal 9).

Bank Syariah hanya dapat menerbitkan saham atas nama. Bank Umum Syariah dapat melakukan penawaran umum efek melalui pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan perundang-undangan di bidang pasar moda l (Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14).

Setiap upaya penggabungan, peleburan dan pengambilalihan Bank Syariah wajib mendapat izin terlebih dahulu dari Bank Indonesia. Hasil penggabungan dan peleburan antara Bank Syariah dengan bank lainnya diwajibkan untuk menjadi Bank Syariah (Pasal 17).


JENIS DAN KEGIATAN USAHA, KELAYAKAN PENYALURAN DANA DAN, LARANGAN BAGI BANK SYARIAH DAN UUS

Bank Syariah yang terdiri dari BUS dan BPRS (Pasal 18) serta UUS, pada dasarnya melakukan kegiatan usaha yang sama dengan bank konvensional yaitu melakukan penghimpunan dan penyaluran dana masyarakat disamping penyediaan jasa keuangan lainnya. Perbedaannya adalah seluruh kegiatan usaha bank syariah dan UUS didasarkan pada prinsip syariah. Implikasinya, disamping harus selalu sesuai de ngan prinsip hukum Islam juga adalah karena dalam prinsip syariah memiliki berbagai variasi akad yang akan menimbulkan variasi produk yang lebih banyak dibandingka n produk bank konvensional (Pasal 19).

Dalam kaitan dengan hal tersebut di atas, maka setiap pihak dilarang untuk melakukan kegiatan penghimpunan dana berdasarkan prinsip syariah tanpa izin Bank Indonesia (Pasal 22). Sedangkan di sisi lain, kegiatan penyaluran dana berdasarkan prinsip syariah harus dilakukan secara berhati-hati melalui penilaian secara seksama, agar bank syariah dan UUS memiliki keyakinan atas kemauan dan kemampuan nasabah dalam menyelesaikan kewajibannya sesuai akad serta keyakinan atas ke sesuaian dengan prinsip syariah (Pasal 23).

Secara umum bank syariah dan UUS dilarang untuk melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah, melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung di lantai bursa serta kegiatan perasuransian kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi syariah (Pasal 24 dan Pasal 25). Bagi BPRS , selain larangan di atas, juga dilarang untuk membuka produk simpanan giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran serta kegiatan valuta asing kecuali penukaran valuta asing (Pasal 25).

Seluruh kegiatan usaha bank syariah dan UUS pada dasarnya wajib sesuai dengan prinsip syariah yang difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia. Penuangan prinsip syariah yang telah difatwakan dimaksud ke dalam Peraturan Bank Indonesia, dilakukan oleh Bank Indonesia yang dibantu oleh Komite Perbankan Syariah (KPS). KPS sendiri dibentuk oleh Bank Indonesia yang terdiri dari unsur Bank Indonesia, Departemen Agama dan unsur masyarakat lainnya yang memiliki keahlian di bidang syariah (Pasal 26).


PEMEGANG SAHAM PENGENDALI, DEWAN KOMISARIS, DEWAN PENGAWAS SYARIAH, DIREKSI DAN TENAGA KERJA ASING

Secara umum para calon Pemegang Saham Pengendali (PSP), Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah (DPS), Direksi dan Tenaga Kerja Asing (TKA) wajib memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan Bank Indonesia. Termasuk di dalam pemenuhan persyaratan dimaksud adalah dinyatakan lupus dalam uji kemampuan dan kepatutan, kecuali bagi calon DPS dan TKA yang akan menjabat sebagai konsultan. Uji kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai integritas, kompetensi dan aspek keuangan (Pasal 27).

Pemegang saham pengendali yang dinyatakan tidak lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan, diwajibkan untuk menurunkan kepemilikan sahamnya menjadi paling banyak 10% (se puluh persen). Apabila penurunan dimaksud tidak dipenuhi maka hak suara PSP tidak diperhitungkan dalam RUPS, tidak diperhitungkan dalam penghitungan kuorum, hanya dapat memperoleh 10% dari dividen (90% dividen akan dibayarkan setelah penurunan kepemilikan dilakukan) serta diumumkan kepada publik di 2 media massa yang mempunyai peredaran luas (Pasal 27).

BUS wajib memiliki 1 (satu) orang direktur kepatuhan yang bertugas untuk memastikan kepatuhan BUS terhadap pelaksanaan ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan lainnya. Bagi anggota dewan komisaris dan direksi yang sedang menjabat dan dinyatakan tidak lulus uji kemampuan dan kepatutan, maka diwajibkan untuk melepaskan jabatannya (Pasal 29 dan Pasal 30). Bank Syariah dan UUS wajib membentuk DPS yang bertugas untuk memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan Prinsip Syariah. DPS diangkat oleh RUPS atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia (Pasal 32).


TATA KELOLA, PRINSIP KEHATI-HATIAN, DAN PENGELOLAAN RISIKO
PERBANKAN SYARIAH

Secara umum dalam melaksanakan kegiatan usahanya, Bank Syariah dan UUS wajib memenuhi tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance), prinsip kehati-hatian dan pengelolaan risiko. Selain itu, Bank Syariah dan UUS diwajibkan pula untuk menerapkan prinsip mengenal nasabah dan perlindungan nasabah termasuk kewajiban untuk menjelaskan kepada Nasabah mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui Bank Syariah (Pasal 34, Pasal 35, Pasal 38 dan Pasal 39).

Tata kelola yang baik (good corporate governance) mencakup prinsip transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, profesional, dan kewajaran dalam menjalankan kegiatan operasional bank. Dalam pelaksanaannya Bank Syariah dan UUS diwajibkan untuk menyusun prosedur internal yang mengacu pada prinsip -prinsip tersebut di atas (Pasal 34).

Dalam penerapan prinsip kehati-hatian, Bank Syariah dan UUS diwajibkan untuk menempuh cara-cara yang tidak merugikan kepentingan nasabah deposan, yaitu antara lain wajib mentaati ketentuan mengenai Batas Maksimum Pemberian Pembiayaan (BMPP). Besarnya BMPP adalah 30% dari modal Bank Syariah bagi nasabah penerima fasilitas atau sekelompok nasabah penerima fasilitas, termasuk kepada perusahaan dalam kelompok yang sama dengan Bank Syariah atau UUS. Sedangkan bagi pihak -pihak antara lain pemegang saham yang memiliki 10% atau lebih, anggota dewan komisaris dan keluarga, anggota dewan direksi dan keluarga, pejabat bank, perusahaan yang didalamnya terdapat kepentingan pihak tersebut di atas, besarnya BMPP adalah 20% (Pasal 36 dan Pasal 37).

Terkait risiko pembiayaan dimana nasabah penerima fasilitas tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka Bank Syariah dan UUS dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui maupun di luar pelelangan yang wajib diselesaikan (dijual) oleh Bank dalam jangka waktu 1 (satu) tahun. Selain dapat dibeli oleh bank, agunan juga dapat dikuasakan oleh pemilik agunan lepada bank untuk dijual (Pasal 40).

RAHASIA BANK

Dalam rangka menjaga kepercayaan masyarakat kepada Bank maka Bank dan Pihak terafiliasi wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya serta nasabah investor dan investasinya (Pasal 41).

Pengecualian atas rahasia bank berlaku dalam hal:

  • kepentingan penyidikan pidana perpajakan (Pasal 42)
  • kepentingan peradilan dalam perkara pidana (Pasal 43)
  • kepentingan perkara perdata antara bank dan nasabah (Pasal 45)
  • kepentingan tukar menukar informasi antarbank (Pasal 46)
  • adanya permintaa n, persetujuan, atau kuasa tertulis dari nasabah penyimpan atau nasabah investor (Pasal 47).
  • Adanya ahli waris yang sah untuk memperoleh keterangan mengenai simpanan nasabah (Pasal 48).

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pembinaan dan Pengawasan terhadap Bank Sya riah dan UUS dilakukan oleh Bank Indonesia (Pasal 50). Pembinaan dan Pengawasan dilakukan dengan antara lain mewajibkan Bank Syariah dan UUS untuk memelihara tingkat kesehatan bank yang meliputi kecukupan modal, kualitas aset, likuiditas, rentabillitas, solvabilitas, kualitas manajemen serta aspek lainnya yang berhubungan dengan usaha Bank Syariah dan UUS. Kualitas manajemen mencakup kapabilitas dalam aspek keuangan, kepatuhan terhadap prinsip syariah dan prinsip manajemen Islami (Pasal 51).

Dalam rangka pelaksanaan pembinaan dan pengawasan, maka :

  1. Bank syariah wajib menyampaikan segala keterangan dan penjelasan mengenai usahanya kepada Bank Indonesia termasuk memberikan kesempatan bagi pemeriksaan atas buku-buku, berkas-berkas dan dokumen yang dimiliki ole h bank (Pasal 52).
  2. Bank Indonesia berwenang untuk memeriksa dan mengambil data/dokumen
    dan keterangan dari setiap tempat yang terkait dengan Bank dan dari setiap pihak yang memiliki pengaruh terhadap bank (Pasal 52).
  3. Bank Indonesia berwenang memerintahkan Bank memblokir rekening tertentu, baik rekening simpanan maupun rekening pembiayaan (Pasal 52).
  4. Bank Indonesia dapat menugaskan kantor akuntan publik atau pihak lainnya untuk dan atas nama Bank Indonesia melaksanakan pemeriksaan (Pasal 53). Apabila Bank Syariah mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Bank Indonesia berwenang melakukan tindakan pengawasan, antara lain (Pasal 54):
  • membatasi kewenangan RUPS/komisaris/direksi dan pemegang saham; meminta pemegang saham menambah modal; meminta pemegang saham mengganti anggota dewan, komisaris dan/atau direksi Bank Syariah;
  • meminta Bank Syariah menghapus bukukan penyaluran, dana yang macet dan memperhitungkan kerugian Bank Syariah dengan modalnya;
  • meminta Bank Syariah melakukan penggabungan atau peleburan dengan Bank Syariah lain;
  • meminta Bank Syariah dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajibannya; meminta Bank Syariah menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan Bank Syariah kepada pihak lain;
  • dan/atau meminta Bank Syariah menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban Bank Syariah kepada pihak lain Selanjutnya, apabila tindakan penyehatan tersebut di atas tidak dapat membantu penyehatan bank maka Bank Indonesia menyerahkan penangannya kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk diselamatkan atau tidak. Apabila LPS menyatakan tidak diselamatkan, maka BI atas permintaan LPS mencabut izin usaha Bank dan menyerahkannya kepada LPS untuk penanganan lebih lanjut (Pasal 54).

PENYELESAIAN SENGKETA

Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama atau di luar Peradilan Agama apabila dalam akad telah diperjanjikan sebelumnya sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah (Pasal 55).

SANKSI ADMINISTRATIF

Sanksi administratif dapat dikenakan oleh Bank Indonesia kepada Bank Syariah atau UUS, anggota dewan komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, direksi, dan/atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS dalam hal:

  • menghalangi dan/atau tidak melaksanakan Prinsip Syariah dalam menjalankan usaha atau tugasnya (Pasal 56). ? tidak memenuhi kewajibannya untuk menjaga kerahasian bank (Pasal 5 7).
  • Tidak memenuhi kewajibannya untuk memberikan keterangan untuk kepentingan penyidikan pidana perpajakan dan untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana (Pasal 57).

    Sanksi administratif yang ditetapkan meliputi:
  • denda uang;
  • teguran tertulis;
  • penurunan tingkat kesehatan Bank Syariah dan UUS;
  • pelarangan turut serta dalam kegiatan kliring;
  • pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik kantor cabang tertentu maupun Bank Syariah dan UUS secara keseluruhan;
  • pemberhentian pengurus Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai RUPS mengangkat pengganti tetap dengan persetujuan Bank Indonesia;
  • pencantuman anggota pengurus, pegawai, dan pemegang saham Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS dalam daftar orang tercela di bidang perbankan; dan/atau
  • pencabutan izin usaha (Pasal 58).

KETENTUAN PIDANA
Tindakan atau perbuatan yang diancam dengan pidana dalam UU ini meliputi:

  • setiap orang yang melakukan kegiatan usaha Bank Syariah/UUS atau penghimpunan dana berdasarkan prinsip syariah tanpa izin BI, diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling sedikit Rp10 miliar dan paling banyak Rp200 miliar (Pasal 59).
  • setiap orang yang memberikan keterangan mengenai keuangan nasabah kepada pejabat/polisi/jaksa/hakim atau penyidik la in tanpa izin tertulis dari BI, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 4 tahun serta denda paling sedikit Rp10 miliar dan paling banyak Rp200 miliar (Pasal 60).
  • Pengurus bank, pegawai Bank Syariah/UUS atau pihak terafiliasi lainnya yang memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 4 tahun serta denda paling sedikit Rp4 miliar dan paling banyak Rp8 miliar (Pasal 60).
  • Pengurus bank atau pegawai Bank Syariah/UUS yang dengan sengaja tidak
    memberikan keterangan yang wajib dipenuhi untuk penyidikan dankepentingan peradilan perkara pidana diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 7 tahun serta denda paling sedikit Rp4 miliar dan paling banyak Rp15 miliar (Pasal 61).
  • Pengurus bank atau pegawai Bank Syariah/UUS yang dengan sengaja tidak
    memberikan keterangan yang wajib dipenuhi untuk penyidikan dan kepentingan peradilan perkara pidana diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 7 tahun serta denda paling sedikit Rp4 miliar dan paling banyak Rp15 miliar (Pasal 61).
  • Pengurus bank atau pegawai Bank Syariah/UUS yang dengan sengaja tidak
    menyampaikan laporan keuangan tahunan dan laporan berkala lainnya dan/atau tidak memberikan keterangan atau tidak melaksanakan perintah yang wajib dipenuhi kepada BI diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 10 tahun serta denda paling sedikit Rp5 miliar dan paling banyak Rp100 miliar (Pasal 62).
  • Pengurus bank atau pegawai Bank Syariah/UUS yang lalai tidak menyampaikan laporan keuangan tahunan dan laporan berkala lanilla dan/atau tidak memberikan keterangan atau tidak melaksanakan perintah yang wajib dipenuhi kepada BI diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 2 tahun serta denda paling sedikit Rp1 miliar dan paling banyak Rp2 miliar (Pasal 62).
  • Pengurus bank atau pegawai Bank Syariah/UUS yang dengan sengaja membuat atau menyebabkan pencatatan palsu, menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan, mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus atau menghilangkan statu pencatatan dalam pembukuan atau laporan, dokumen, atau laboran kegiatan usaha diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling sedikit Rp10 miliar dan paling banyak Rp200 miliar (Pasal 63).
  • Pengurus bank atau pegawai Bank Syariah/UUS yang dengan sengaja meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui menerima statu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang berharga untuk kekuntungan pribadi/keluarga, dalam rangka mendapatkan bagi orang lain uang muka, bank garansi, fasilitas penyaluran dana, membeli surat wesel, surat promes, cek, memberi persetujuan bagi orang lain untuk menarik dana yang melebihi batas penyalurannya diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 8 tahun serta denda paling sedikit Rp5 miliar dan paling banyak Rp100 miliar (Pasal 63).
  • Pihak terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk mentaati ketentuan dalam UU ini diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 8 tahun serta denda paling sedikit Rp5 miliar dan paling banyak Rp100 miliar (Pasal 64).
  • Pemegang saham yang dengan sengaja menyuruh pengurus atau pegawai Bank Syariah/UUS untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan Bank Syariah/UUS tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk mentaati UU ini diancam dengan pidana penjara paling singkat 7 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling sedikit Rp10 miliar dan paling banyak Rp200 miliar (Pasal 65).
  • Anggota direksi dan pegawai Bank Syariah/UUS yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang bertentangan dengan UU ini, menghalangi pemerik saan yang dilakukan komisaris atau kantor akuntan public yang ditugasi dewan komisaris, menyalurkan dana atau fasilitas penjaminan dengan melanggar ketentuan yang berlaku yang mengakibatkan kerugian bagi Bank Syariah/UUS atau menyebabkan keuangan bank Syariah/UUS tidak sehat, dan/atau tidak melakukan langkah-langkah untuk memastikan ketaatan Bank Syariah/UUS terhadap ketentuan BMPK, diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun serta denda paling sedikit Rp1 miliar dan paling banyak Rp2 miliar (Pasal 66).
  • Anggota direksi dan pegawai Bank Syariah/UUS yang dengan sengaja melakukan penyalahgunaan dana nasabah, Bank Syariah/UUS, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 8 tahun serta denda paling sedikit Rp2 miliar dan paling banyak Rp4 miliar (Pasal 66).

KETENTUAN PERALIHAN DAN PENUTUP

Bank Syariah/UUS yang telah memiliki izin usaha pada saat UU ini berlaku dinyatakan telah memperoleh izin usaha dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam UU ini paling lama 1 tahun sejak UU ini mulai berlaku (Pasal 67).

Bagi UUS yang nilai asetnya telah mencapai 50% dari total aset bank induknya atau 15 tahun sejak berlakunya UU ini maka wajib melakukan pemisahan UUS menjadi Bank Umum Syariah (Pasal 68).

Segala ketentuan mengenai Perbankan Syariah yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1998 beserta peraturan pelaksanaannya dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini (Pasal 69).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar