Rabu, 11 Maret 2009

Good Governance (GG)

Kebutuhan terhadap penerapan Good Governance (GG) atau tata kelola yang baik di Indonesia pada dasarnya dimulai sejak Indonesia merdeka. Namun, tekanan pentingnya penerapan GG semakin meningkat sejak Indonesia mengalami krisis ekonomi yang dimulai pada tahun 1997. Krisis tersebut terjadi antara lain disebabkan baik sektor publik maupun sektor swasta belum menerapkan GG secara konsisten, khususnya belum diterapkannya etika pengelola pemerintahaan maupun etika bisnis. GG dapat dikatakan sebagai salah satu pilar dalam suatu sistem perekonomian. GG terkait erat dengan kepercayaan baik terhadap penyelenggara negara dan iklim usaha di suatu negara maupun terhadap para pelaku usaha. Untuk membereskan akar masalah dari berbagai persoalan yang mendera bangsa ini pendekatan efektif yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan GG sebagai salah satu pilar membangkitkan kembali bangsa ini sebagai bangsa yang bermartabat.

Good governance dibagi dua, yaitu Good Corporate Governance (GCG) dan Good Public Governance (GPG). Antara GCG dan GPG memiliki hubungan timbal balik. Keduanya saling mempengaruhi. Penerapan GCG akan baik kalau penerapan GPG juga baik. Begitu juga sebaliknya.Walaupun telah mendapatkan pelajaran bersejarah selama sepuluh tahun sejak tahun 1997, sekarang pun kita menyadari, bahwa penerapan baik GCG maupun GPG di Indonesia belum menggembirakan. Sebagai contoh untuk tahun 2007 Asian Corporate Governance Association, CLSA Asia Pacific Market yang menempatkan Indonesia pada urutan kesebelas (terbawah) di Asia. Peringkat satu sampai sepuluh adalah Hongkong, Singapura, India, Taiwan, Jepang, Korea, Malaysia, Thailand, China dan Filipina.

Ada empat penilaian negatif mengenai penerapan GCG di Indonesia. Pertama, hanya sedikit yang yakin, bahwa Pemerintah betul-betul serius dalam mendorong penerapan GCG. Kedua, dalam pemberantasan korupsi Pemerintah menghadapi masalah kredibilitas. Ketiga, keterbukaan informasi yang masih lemah terutama tentang kejadian material dan transaksi saham dari direksi, kurangnya keterlibatan investor, serta masih banyaknya antipati perusahaan terhadap GCG. Keempat, penegakan hukum oleh regulator masih lemah dan kurang independennya Self Regulatory Organization (SRO).

Meski demikian, terdapat juga beberapa penilaian positif, pertama, laporan kuartalan dari perusahaan publik dinilai baik. Kedua, perlindungan yang memadai bagi pemegang saham minoritas. Ketiga, kebijakan anti korupsi sudah menunjukkan hasil yang nyata. Keempat, Indonesia terus melakukan perbaikan GCG melalui penyempurnaan Pedoman GCG dan Pedoman Sektor Perbankan.

Tidaklah sulit mencari contoh kelemahan tersebut. Misalnya dukungan pemerintah terhadap Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) yang secara historis dibentuk oleh Pemerintah justru sekarang menunjukkan kadar yang tidak sekuat dahulu pada awal pembentukannya. Disamping itu, dalam pemberantasn korupsi cukup banyak yang masih meragukan integritas penegak hukum termasuk pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang baru dipilih. Penegakan hukum oleh Regulator khususnya Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM LK) dirasakan belum maksimal baik karena hambatan yuridis maupun non yuridis.

Dalam pelaksanaan GG ada tiga pihak yang bertanggung jawab , yaitu Penyelenggara Negara, termasuk eksekutif, legislatif dan yudikatif, dunia usaha dan masyarakat. Penyelenggara Negara harus menciptakan lingkungan yang kondusif untuk merupakan prasyarat terlaksananya GCG dengan baik, misalnya menyediakan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang menunjang iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan dan melaksanakan penegakan hukum secara konsisten.Dunia Usaha dan Masyarakat harus menerapkan GG dengan baik. Masyarakat juga harus berpartisipasi dan melakukan kontrol sosial terhadap penegakan baik GCG maupun GPG.

Penerapan

Secara umum kebutuhan penerapan GG dapat diklasifikasikan berdasarkan pada 2 (dua) pendekatan yaitu rules based dan market based. Pada rules based atau berbasis regulasi, diharapkan dapat memaksa penyelenggara negara maupun pelaku usaha untuk mematuhi dan menerapkan good governance. Agar efekvitas penerapan GG tercapai maka regulasi juga melakukan pengaturan atas sanksi jika GG tidak diterapkan (regulatory driven). Bagi para penyelenggara negara, penerapan Good Public Governance (GPG) untuk dapat menjalankan praktik-praktik yang mengutamakan perlindungan kepentingan publik dan mensejahterakan masyarakat. Para penyelenggara negara dalam konteks ini merupakan salah satu bagian pelaku usaha yaitu sebagai regulatory body, supervisory maupun katalisator. Salah satu bentuk regulasi terhadap GPG bagi para penyelenggara negara adalah UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Dalam UU ini para penyelenggara negara harus melaksanakan fungsi dan tugasnya secara secara profesional dan bertanggungjawab, serta bebas dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme, etika, perbuatan, sikap, tindakan maupun ucapan tercela lainnya.

Sementara bagi para pelaku usaha, dorongan penerapan Good Corporate Governance (GCG) berdasarkan market based berasal dari dorongan etika atas kesadaran para pelaku usaha menjalankan praktik bisnis yang mengutamakan kelangsungan hidup perusahaan. Penerapan GG yang ini dapat juga disebut sebagai ethical driven. Kedua pendekatan ini masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan dan seyogianya saling melengkapi untuk menciptakan lingkungan penyelenggaraan negara maupun bisnis yang sehat.

Asas
Dalam GCG kita mengenal lima asas, yaitu Transparancy, Akuntability, Responsibility , Independency dan Fairness. Sementar itu, secara umum asas GPG adalah demokrasi, transparansi, akuntanbilitas, budaya hukum, serta keadilan (fairness). Asas demokrasi merupakan perwujudan partisipasi warga negara untuk memilih dan atau dipilih sebagai penyelenggara negara serta dalam menyusun dan menerapkan perundang-undangan dan kebijakan publik. Keikutsertaan atau partisipasi warga negara harus dilaksanakan secara bertanggungjawab trerutama partisipasi dalam penyusunan dan penerapan perundang-undangan dan kebijakan publik dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga-lembaga perwakilan yang sah dan mewakili kepentingan mereka.

Transparansi pengelolaan institusi publik adalah pengelolaan yang memungkinkan dilakukannya pengawasan secara obyektif oleh masyarakat maupun dunia usaha terhadap penyelenggaraan negara. Transparansi mensyaratkan penyediaan informasi yang material, relevan, dan proporsional terhadap perlindungan rahasia negara baik tentang pola perumusan dan isi peraturan perundang-undangan, kebijakan publik, termasuk penyusunan dan penggunaan anggaran.

Akuntabilitas pengelolaan bagi institusi publik mengharuskan bahwa institusi publik harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya. Asas budaya hukum dalam pengelolaan institusi publik mengharuskan bahwa setiap penyelenggara negara harus membangun budaya hukum secara berkelanjutan baik dalam proses penyusunan dan penetapan peraturan perundang-undangan dan kebijakan maupun dalam pelaksanaan dan pertanggungjawabannya. Penetapan peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik harus dilaksanakan atas kepentingan umum dan berbasis law enforcement. Penyelenggara negara berkewajiban untuk memastikan bahwa masyarakat dan dunia usaha membangun budaya hukum.

Asas kewajaran dan kesetaraan mengharuskan bahwa dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya lembaga negara atau instansi harus senantiasa memperhatikan kepentingan dan memberikan pelayanan kepada pemangku kepentingan pada khususnya dan masyarakat pada umumnya berdasarkan asas kewajaran dan kesataraan. Dengan asas ini diharapkan kewajaran dan kesetaraan dapat diciptakan pola kerja lembaga negara atau instansi yang lebih produktif dan dari sudut lain pemangku kepentingan dan masyarakat menjadi lebih mentaati hukum dan dihindari terjadinya benturan kepentingan.

Strategi Penguatan
Secara umum, institusi publik harus berorientasi pada perlindungan kepentingan masyarakat dan mensejahterakan masyarakat. Disamping itu peran serta masyarakat dan dunia usaha merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam pelaksanaan GPG pada institusi publik. Dalam makalah OECD dijelaskan, bahwa terkait dengan pengelolaan pemerintahan pelaksanaan good governance harus mampu mencapai 3E yaitu empower, enable dan enforce. Pertama, empower masyarakat untuk memperoleh pertanggungjawaban penyelenggara pemerintahan (governament accountability) melalui partisipasi dan desentralisasi. Kedua, enable penyelenggara pemerintahan merespon new demands melalui capacity buliding. Ketiga, enforce kepatuhan terhadap perundang-undangan dan transparansi yang lebih luas. Bila tiga hal ini dapat terpenuhi maka dengan sendirinya akar dari stigma yang tertanam di masyarakat itu akan tercerabut dan tergantikan dengan stigma yang harum dan ranum.

Sementara itu menurut Ketua KNKG, Mas Achmad Daniri strategi mewujudkan GCG harus terlebih dahulu mengetahui roadmap permasalahan governance dan rekomendasi strategis perbaikan governance Kemudian perlu disepakati Pedoman GCG yang berlaku nasional dan pendekatan yang akan dilakukan (regulatory driven, market driven atau ethical driven). Penyuluhan, konsultansi dan pendampingan diperlukan untuk melakukan asesment, pembuatan manual dan pelaksanaan GCG. Perlu juga diciptakan agen-agen perubahan dalam bentuk sertifikasi direktur dan komisaris. Akhirnya prioritas perlu diberikan untuk perusahaan publik, bank dan lembaga keuangan lainnya, Badan Usaha Milik Negara, perusahaan tambang dan energi.

Dengan perbaikan GCG dan GPG diharapkan kelemahan-kelemahan di atas dapat diperbaiki dan bangsa Indonesia berhasil bangkit untuk mengejar ketertinggalannya dibandingkan negara lain.

(Thank's to Dr. Yunus Husein...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar