Rabu, 11 Maret 2009

Investasi Ilegal: Bagaimana Sikap Pemerintah dan Masyarakat

Akhir-akhir ini muncul lagi berbagai kasus investasi illegal (tidak sah) yang menelan banyak korban. Salah satunya adalah kasus Wahana Bersama Globalindo (WBG) yang memakan korban ribuan orang dengan nilai investasi sekitar Rp 3,5 triliun. Kasus ini menjadi lebih menarik karena di antara korbannya terdapat pula selebriti dan investor yang biasa bermain di pasar modal. Terkait hal tersebut, kemudian muncul sebuah pertanyaan, bagaimana sebaiknya pemerintah dan masyarakat menyikapi investasi illegal semacam ini? Tulisan ini merupakan opini pribadi.

Ketidakjelasan Hukum

Setidaknya terdapat tiga instansi pemerintah yang terkait dengan pengaturan, perizinan, atau pengawasan produk investasi, yaitu Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) untuk produk yang terkait pasar modal, Bank Indonesia (BI) untuk produk yang terkait pasar uang, serta Badan Pengawas Bursa Komoditi (Bapebti) untuk produk yang terkait bursa komoditas.

Biasanya produk investasi yang ditawarkan berada pada wilayah abu (grey area), sehingga ketiga otoritas itu pun menjadi ragu-ragu apakah berwenang untuk mengambil tindakan. Dalam hal inilah salah satu letak dari kelalaian dari orang atau pengusaha yang menawarkan produk investasi tersebut terjadi. Karena itu, sangat diperlukan koordinasi yang baik antara instansi pemerintah yang satu dengan yang lain. Koordinasi ini bukan hanya terjadi di antara ketiga instansi tersebut, tetapi juga dengan Departemen Keuangan dan Kepolisian, serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Untuk mengatasi masalah produk investasi ilagal WBG, Bapepam-LK telah melakukan inisiatif yang baik dengan cara berkoordinasi dengan berbagai instansi terkait. Selain berkoordinasi, pemerintah — melalui berbagai instansi tersebut — harus pula melakukan pengumuman kepada publik untuk lebih berhati-hati terhadap berbagai produk investasi yang ditawarkan berbagai pihak yang tidak terdaftar atau diakui oleh otoritas di pasar uang, pasar modal, dan bursa komoditas. Seringkali peraturan mengenai produk investasi ini tidak jelas bagi masyarakat, mungkin juga bagi berbagai instansi pemerintah. Mengingat aturan yang belum memberi jawaban yang jelas dan letaknya pada grey area, salah satu instansi tersebut harus berani melakukan penafsiran terhadap ketentuan yang berlaku sebagai jalan keluar untuk memecahkan masalah yang ada. Apabila diperlukan, instansi tersebut harus mengeluarkan peraturan yang memasukkan produk investasi ke dalam wilayah yurisdiksinya sehingga diharapkan dapat dikenai ketentuan yang berlaku. Misalnya produk yang ditawarkan WBG suatu investasi yang menawarkan bunga 24-28% dianggap sebagai salah satu bentuk efek lainnya berdasarkan keputusan Kepala Bapepam yang dibuat berdasarkan ketentuan Pasal 5 (p) Undang-undang (UU) No. 8/1995 tentang Pasar Modal. Ketentuan ini memberikan kewenangan Bapepam-LK untuk menetapkan instrumen lain sebagai tambahan terhadap pengertian efek yang didefinisikan oleh Pasal 1 (5) UU Pasar Modal. Dengan demikian, terhadap produk investasi yang ditawarkan, perusahaan penerbit dan pengurusnya tunduk pada ketentuan pasar modal. Dalam hal ini, apabila ketentuan yang berlaku tidak ditaati, dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 107 UU Pasar Modal dengan ancaman pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar. Kalau dibandingkan dengan jumlah kerugian finansial para investor WBG, tampaknya denda Rp 5 miliar itu terlalu kecil. Karena itu, perlu kiranya diadakan penyempurnaan terhadap aturan ini. Dalam hal ini, apabila suatu produk investasi tersebut bertentangan dengan ketentuan yang berlaku, instansi yang berwenang dapat menyatakan sikapnya dengan tegas dan kemudian mengumumkannya kepada publik.
Suatu produk investasi, selain masuk dalam ranah pasar modal juga dapat masuk ke dalam ranah perbankan yang diawasi BI. Apabila produk investasi ini masuk dalam kategori penghimpunan dana dari masyarakat, diperlukan izin dari Gubernur BI. Tanpa izin Gubernur BI, usaha ini dapat dianggap sebagai usaha bank tanpa izin atau bank gelap yang melanggar Pasal 16 dan 46 UU Perbankan No. 7/1992 sebagaimana telag diubah dengan UU No. 10/1998. Ancaman pidananya berupa hukuman penjara paling sedikit lima tahun dan paling lama lima belas tahun, serta denda paling sedikit Rp 100 miliar dan paling banyak Rp 200 miliar. Tampak jelas bahwa sanksi pidana ini lebih berat dibandingkan sanksi pidana pada UU Pasar Modal. Contohnya kasus Banyumas Multi Abadi yang berusaha menghimpun dana masyarakat yang berkedok sebagai multilevel marketing (MLM). Para pelaku biasanya menawarkan suatu produk yang namanya berbeda dengan nama produk perbankan seperti giro, tabungan dan deposito berjangka. Mereka menggunakan nama lain seperti investasi, pernyertaan yang hakikatnya berupa bunga yang mirip dengan deposito berjangka.

Perlindungan Masyarakat

Mengenai apakah suatu produk investasi sah atau tidak, biasanya tidak mudah diketahui masyarakat yang menginvestasikan uangnya pada produk itu. Karena itu, peran instansi pemerintah sangat penting untuk memberikan edukasi dan perlindungan kepada masyarakat agar tidak menjadi korban investasi ilegal. Selain otoritas pasar uang dan pasar modal dapat melakukan tindakan yang sesuai dengan kewenangan dan kasusnya, Departemen Perdagangan sebagai lembaga yang menerbitkan izin bagi badan usaha juga dapat mengambil tindakan kepada badan hukum yang menyimpang dalam pelaksanaan tugas. Dalam hal ini, terdapat ketentuan dalam Bedrijven Wet yang lahir pada zaman Hindia Belanda yang telah dilengkapi dengan sanksi pidana.

Selain dilindungi oleh pemerintah, masyarakat juga harus berusaha melindungi dirinya sendiri dengan pengetahuan yang memadai tentang ketentuan yang berlaku dan kasus-kasus serupa yang pernah ada. Kasus yang terjadi kemudian merupakan pengulangan dari kasus-kasus yang terjadi pada masa lalu, sehingga pelajaran dari kasus-kasus yang lalu sangat penting untuk melindungi diri sendiri. Kasus semacam ini terus berulang karena masyarakat tidak pernah mau belajar dari kasus yang lalu. Di samping itu, masyarakat investor kerap tergiur keuntungan besar walaupun tidak masuk akal atau di luar perhitungan bisnis yang wajar. Kasus-kasus semacam ini merupakan pencerminan dari budaya masyarakat yang kurang rajin belajar dan bekerja, tetapi ingin memperoleh keuntungan semata.

(Thank's to DR. Yunus Husein...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar