Kamis, 12 Maret 2009

Kajian Konstruksi Hukum Instrumen Pembayaran Giral di Indonesia (3)

Hasil Pembahasan Kajian Putaran Pertama dan Kedua

I. Hasil Pembahasan Kajian Konstruksi Hukum Instrumen Pembayaran Giral Putaran Pertama

A. Materi Diskusi

1. Pengertian surat berharga, baik terkait maupun tidak terkait dengan penggunaan surat berharga sebagai alat pembayaran Secara konvensional terdapat pembedaan pengertian surat berharga dengan surat yang berharga. Dalam hal ini, para pakar masih berbeda pendapat tentang penggunaan term ‘surat berharga’ ini.

Prof. Dr. Rudhi Prasetya, S.H. cenderung untuk tidak menggunakan istilah surat berharga, mengingat penggunaan istilah dimaksud kurang memiliki arti penting bahkan di Belanda sendiri tidak ada pembedaan surat berharga, sedangkan Dr. Felix. O. Soebagja dan Roedjiono, S.H., LL.M. menyatakan bahwa term surat berharga masih memiliki arti penting yaitu untuk menamai surat-surat yang memenuhi kualifikasi tertentu, diantaranya memiliki nilai uang dan dapat dipindahtangankan. Sehingga, apabila suatu surat dikategorikan sebagai surat berharga, ia memiliki konsekuensi-konsekuensi tertentu diantaranya hanya dapat dialihkan kepemilikan dan hak kewajibannya dengan cara-cara tertentu pula(diantaranya dengan endossemen untuk aan order atau cessie untuk aantonder). Selain itu, istilah surat berharga juga terdapat dalam Undang-Undang Perbankan. Surat berharga diputuskan dengan perjanjian dasarnya. Jadi termasuk kedalam perjanjian dengan causa indiscreta.

2. Apakah semua jenis ‘surat berharga’ di Indonesia wajib diatur dalam Undang-undang?

Jika berkaitan dengan hak dan kewajiban publik maka harus diatur dalam Undang-Undang, bukan Peraturan Bank Indonesia/Surat Edaran Bank Indonesia.

Bagaimana halnya dengan penggunaan cek-cek derivatif?

Menurut Prof. Dr. Prasetya, alternative solusi terkait dengan penggunaan cek-cek derivatif adalah penggunaan cek-cek yang muncul dan digunakan dalam parktek masyarakat tersebut tetap absah dan tunduk hukum negara dimana cek-cek dimaksud berasal. Namun, hal ini juga harus dibatasi jangan sampai semua pihak bebas menggunakan cek-cek bentuk baru tersebut sehingga kesulitan dalam mekanisme pengendaliannya.

Jika praktek tersebut ingin senyata-nyatanya dilarang maka harus dengan Undang-Undang. Dalam jangka pendek, pengaturan praktek dimaksud dapat dilakukan dengan menetapkan barriers tertentu dalam ketentuan penyelenggaraan kliring oleh Bank Indonesia. Untuk menghindari konsekuensi yang lebih berat maka pengaturan cek-cek derivatif dapat dilakukan dengan menjabarkan hal-hal yang belum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan atau dengan menetapkan peraturan yang tidak bertentangan dengan KHUD apabila
telah ada (meskipun belum lengkap/tidak jelas). Bank Indonesia dapat mengatur cek-cek dimaksud sepanjang berkaitan dengan Bank.

Menurut Puji Atmoko, meskipun sebuah surat bertitle “cek”, belum tentu ia cek sebagaimana dimaksud dalam KUHD sehingga belum tentu pula ia harus tunduk dalam ketentuan-ketentuan KUHD dimaksud. Untuk ini, harus dilihat case by case secara hati-hati apakah ‘cek’ derivatif dimaksud memenuhi persyaratan-persyaratan yang terdapat dalam KUHD atau tidak. Salah satu contoh ‘cek’ yang sebenarnya bukan cek sebagaimana dimaksud dalam KUHD adalah ‘cek’ multiguna BNI.

Prof. Dr. Prasetya memberikan pendapat bahwa terkait dengan cek-cek derivatif ini Bank Indonesia hanya mengatur tentang cek-cek yang diproses dalam sistem kliring. Cek dan derivatifnya dibiarkan sesuai praktek karena kita memiliki Hukum Perdata Intenasional. Cek tunduk pada hukum dimana cek dimaksud diterbitkan.Sukarelawati Permana menyampaikan bahwa saat ini dalam ketentuan Bank Indonesia diantaranya diatur bahwa cek boleh menggunakan Bahasa Inggris yg disertakan setelah Bahasa Indonesianya. Terkait dengan hal ini, Dr. Soebagja mengungkapkan bahwa penggunaan dua bahasa dalam cek harus dilakukan dengan hati-hati. Saat ini yang bersangkutan sedang menangani kasus akibat penggunaan bahasa yang diterjemahkan dari bahasa aslinya dan mengalami pembiasan makna.

3. Apakah Bilyet Giro dapat dikategorikan sebagai surat berharga?

Sampai saat ini, para pakar yang terlibat dalam Kajian Konstruksi Hukum Instrumen Pembayaran Giral Putaran I sepakat bahwa Bilyet Giro dikategorikan sebagai non negotiable instrument, non Commercial Paper tetapi termasuk surat yang berharga. Ciri surat berharga diantaranya adalah dapat dipindahtangankan dengan mudah. Meskipun pada prakteknya Bilyet Giro dapat dipindahtangankan dengan mengosongkan nama penerima, sebenarnya secara legal berdasarkan ketentuan Bank Indonesia, Bilyet Giro tidak dapat dipindahtangankan.

Bilyet Giro adalah instrumen atas nama sehingga apabila akan dipindahtangankan harus dengan cessie. Term Commercial Paper dengan warkat-warkat kliring adalah berbeda dan harus dibedakan. Dalam hal terdapat suatu rencana untuk menyusun suatu RUU Commercial Paper, maka Bilyet Giro dan atau warkat-warkat dalam proses kliring tidak (belum tentu) dimasukkan dalam term Commercial Paper dimaksud.

Perlu diperhatikan bahwa ketentuan-ketentuan Bilyet Giro tidak mengacu pada ketentuan cek dalam KUHD. Cek dan Bilyet Giro adalah dua instrumen yang berbeda, sehingga pemberlakuan ketentuannya juga berbeda dan tidak dapat dicampuradukkan. Bilyet Giro pada dasarnya menyangkut hubungan-hubungan antara pihak-pihak, sehingga sebenarnya kewenangan pengaturan Bank Indonesia hanya menyangkut ihwal administrasi, khususnya terkait dengan bank.

Prof. Dr. Prasetya menambahkan bahwa pada prinsipnya Bilyet Giro adalah sama dengan cek putih yang berasal dari memo, sehingga wajar apabila dapat dibatalkan. Dyah N.K. Makhijani menambahkan jika memang konstruksi Bilyet Giro dipersamakan dengan cek putih yang berasal dari memo, maka hal ini juga sama dengan Letter of Authorization (LoA) yang saat ini berkembang di wilayah Batam.

Mengingat dapat dibatalkan dan berasal dari memo, perlindungan terhadap konsumen/pemegang instrumen tersebut sangat lemah. Untuk itu, Bank Indonesia hanya akan membatasi tanggung jawab dengan mengatur instrumen-instrumen yang akan diproses melalui kliring.

Bagaimana dengan praktek penggunaan Bilyet Giro yang dipindahtangankan dengan pengosongan penerima?

Dalam praktek penggunaan Bilyet Giro, hubungan hukum yang terjadi hanya antara Penerbit/Penarik dengan pemegang Bilyet Giro. Jika terjadi dispute, maka akan tergantung hakim untuk memutuskan dengan melihat proses pembuktian. Yang jelas, terdapat ketentuan yang menyebutkan bahwa Bilyet Giro tidak dapat dipindahtangankan.

Dalam hal Bilyet Giro dimaksud dipindahtangankan, kedudukan pemegang Bilyet Giro terakhir sama sekali tidak aman, meskipun nama pemegang terakhir dimaksud tercantum pada lembar Bilyet Giro. Praktek penggunaan Bilyet Giro dengan pengosongan penerima adalah sangat berisiko. Hak regress yang ada pada pemegang Bilyet Giro terkahir menjadi tidak jelas. Hak regress hanya bersifat penuntutan balik atas dana secara langsung.

Dari hasil pembahasan adanya fenomena praktek pemindahtanganan Bilyet Giro ini, peserta pembahasan sepakat agar Bank Indonesia jangan sampai mengatur ihwal pemindahtanganan Bilyet Giro di atas. Terkait dengan hal ini, Tim Pengaturan dan Perizinan Sistem Pembayaran harus meninjau ulang pasal 4 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 28/32/KEP/DIR tanggal 4 Juli 1995 tentang Bilyet Giro.

4. Apakah cek itu alat pembayaran tunai atau non tunai?

Pada prinsipnya cek adalah alat pembayaran tunai. Historisnya, dahulu de Javasche bank mencetak uang dengan dibackup cadangan emas. Sedangkan cek dicetak dengan dibeck-up dana pada banker. Oleh karenanya cek disebut sebagai alat pembayaran tunai. Namun demikian, Prof. Dr. Prasetya lebih suka menggunakan istilah “dapat dicairkan” daripada menggunakan istilah “tunai”.

Dyah N.K. Makhijani mengklarifikasikan bahwa sebagai konsekuensi fungsi cek sebagai alat bayar maka cek harus diback-up dengan dana. Hal ini berbeda dengan Bilyet Giro yang berfungsi sebagai alat kredit.

5. Apakah arti penting dari ‘syarat formal’ Cek dan Bilyet Giro, serta konsekuensi hukumnya bila sampai terdapat kekuranglengkapan atas ‘syarat formal’ tersebut?

Untuk cek, ketentuan dimaksud terdapat dalam Pasal 178 KHUD. Yang perlu digali adalah apakah visi pembentuk Undang-Undang benar menghendaki pasal 178 KUHD dimaksud sebagai syarat formal cek?

Dalam referensi yg ditemui Prof. Dr. Rudhi Prasetya, S.H. tidak pernah ada yang menyatakan bahwa Pasal 178 KHUD merupakan syarat formal Cek. Bisa jadi Pasal 178 hanyalah unsur-unsur yang harus ada dalam cek.

Salah satu contoh kasus adalah bagaimana jika cek tidak ditandatangani?Menurut Wirjono Prodjodikoro, dalam hal cek tidak ditandatangani, permasalahan ini tidak tunduk pada hukum cek, melainkan pada hukum pembuktian. Prof. Scheltema juga berpendapat demikian untuk tanggal cek. Tanggal cek hanya untuk menentukan masa penawaran. Dalam hal tanggal dimaksud diakui oleh para pihak, meskipun tidak secara nyata-nyata tertulis pada lembar cek maka hal tersebut tidak menjadi masalah.

Perlu diperhatikan bahwa redaksional Pasal 178 KUHD hanya menyatakan bahwa cek harus memuat: nama “cek”, perintah tak bersyarat untuk membayar sejunlah uang tertentu, nama tertarik, penetapan tempat pembayaran, tanggal dan tempat cek ditarik, dan tanda tangan penarik. Meskipun terdapat ketentuan dalam Pasal berikutnya bahwa dalam hal unsur-unsur dimaksud tidak dipenuhi maka hal tersebut dianggap bukan sebagai cek, hal ini tidak serta merta membuat cek dimaksud menjadi “bukan sebuah cek”, melainkan harus dilihat satu per satu sesuai dengan kasusnya (hal demikian berlaku juga untuk ketentuan kadaluwarsa).

Alternatif perlakuan cek yang tidak memenuhi ‘syarat formal’ tersebut oleh bank yang menerima cek adalah wajib ditolak, dapat ditolak, atau tidak ditolak Perlu dipikirkan reason dari masing-masing alternatif dimaksud dan dipilih mana yang terbaik. Misalnya tanggal cek memiliki arti penting untuk kadaluwarsa, meskipun tidak terkait dengan penyediaan dana dan kapan penarikan cek dimaksud dapat dilakukan.

Menurut Dr. Soebagja, syarat formal memang tidak langsung disebutkan dalam KUHD, namun syarat-syarat dimaksud sifatnya mutlak untuk pemberlakuan cek. Syarat-syarat dimaksud perlu dirinci mana yang benar-benar penting dan mana yang tidak. Untuk tanggal cek mempunyai arti penting kapan saat cek tersebut mulai berlaku atau menjadi tidak berlaku lagi. Sebagai analog, dalam hukum pembuktian akte notaris memiliki kekuatan pembuktian yang berbeda antara yang dibuat oleh notaris dan yang dibuat dihadapan notaris (ada gradasinya). Untuk title “cek’, Dr. Subagya melihat bahwa title ini masih sangat penting karena akan mengacu referensi-referensi tertentu yang terkait, menentukan muatan dari yang barang yang ber-title dimaksud akan mengacu pada ketentuan-ketentuan mana serta menentukan hukum apa yang akan diberlakukan.

Menurut Bambang Setijoprodjo, S.H., LL.M., syarat formal masih sangat relevan khususnya untuk keperluan praktek perbankan yang menghendaki kepastian dan ketertiban (civilized). Menurut Roedjiono, yang perlu diperhatikan adalah pengubahan kata-kata “syarat formal” untuk cek menjadi “memuat”. Namun muatan materinya adalah sama, termasuk pemberlakuannya.

Tim Bank Indonesia memandang bahwa terkait dengan Bilyet Giro , SK/SE Dirkesi BI tentang Bilyet Giro perlu ditinjau ulang terkait dengan syarat muatan tanda tangan, nama jelas dan atau cap. Untuk keperluankelancaran praktek, cukup tanda tangan saja. Terkait dengan antisipasi pemindahtanganan Bilyet Giro dengan mengosongkan nama, Dr. Subagya menyampaikan wacana, dapat dilakukan dengan pencantuman nama pada buku Bilyet Giro. Namun praktek ini, menurut praktisi perbankan dari BCA, akan menemui kesulitan penerapannya mengingat frekuensi pergantian yg berhak menandatangani relatif tinggi.

Menurut A. Rasjid Majdid praktek perbankan dalam penggunaan Bilyet Giro yang diproses melalui kliring adalah berbeda. Kebanyakan bank ‘mensiasati’ ketentuan syarat formal yaitu dengan mencantumkan alasan penolakan Bilyet Giro dengan ‘tidak dipenuhinya syarat formal’ untuk menggantikan alasan penolakan ‘dana tidak mencukupi’ agar tidak dikategorikan penolakan Bilyet Giro kosong, sehingga tidak masuk kedalam Daftar Hitam.

Menurut Roedjiono, Bank Indonesia perlu melakukan survai kepada kalangan bank atas penggunaan nama dalam cek, exactly penggunaan nama ini seperti apa. Menurut Dyah N.K. Makhijani, pada prinsipnya yang harusdiperhatikan adalah kepentingan security dalam penggunaan cek ini. Menurut praktisi perbankan dari BNI, perlu juga diperhatikan coverage specimen seperti apa, jangan sampai kenyataan tanda tangan dalam Bilyet Giro berbeda dengan yang ada pada specimen sehingga menempatkan bank pada posisi yang berisiko di-claim.

Menurut Iwan Setiawan, Pasal 179 KUHD adalah pengecualian muatan cek yang berupa tempat pembayaran. Dalam hal tidak ada penetapan tempat secara khusus, tempat yang tertulis di samping nama tertarik dianggap sebagai tempat pembayaran; jika di samping nama tertarik terdapat lebih dari satu tempat yang disebut, maka cek itu harus dibayarkan di tempat yang tersebut pertama. Dalam hal penunjukan-penunjukan tersebut tidak ada, maka cek tersebut harus dibayar di tempat kantor pusat tertarik. Tiap-tiap cek yang tidak diterangkan tempat ditariknya, ia pun dianggap ditandatangani di tempat yang tertulis di samping nama penarik.

Dalam hal tempat di samping nama penarik tersebut tidak disebutkan bagaimana?

Menurut Dr. Soebagja hal tersebut tunduk pada perjanjian pembukaan rekening, mengingat dalam perjanjian pembukaan rekening telah direcord domisili pemilik rekening. Jika dalam perjanjian pembukaan rekening tidak disebutkan domisili pemilik rekening adalah tempat yang disepakati oleh kedua belah pihak.

Dyah N.K. Makhijani mempertanyakan bahwasanya Pasal 179 KUHD terdiri dari dua hal yaitu tempat tertarik dan tempat penarikan. Apa relevansi pengaturan tempat penarikan?

Menurut Roedjiono, saat KUHD dibentuk adalah sangat berbeda dengan sekarang, baik bank, sistem yang digunakan (saat itu belum ada sistem transfer dana seperti sistem kliring) maupun tempat-tempat penarikan cek (sangat limited). Salah satu manfaat tempat penarikan adalah choice of law atau choice of forum dalam hal terjadi konflik adalah antara penerbit dengan pemegang.

Terkait dengan referensi pengaturan cek secara internasional, tugas Bank Indonesia adalah mencari konvensi-konvensi terakhir tentang cek mengingat rujukan yang ada saat ini adalah dari Prof. scheltema (tahun 1931). Referensi yang dicari terutama adalah konvensi tahun 1974 yang menggabungkan dua sistem hukum: common law dan eropa continental.

6. Apakah perbedaan cek dan wesel?

Wesel dalam KUHD tidak harus diterbitkan pada seorang banker. Cek adalah Wesel bank.

7. Apakah lewatnya masa penawaran Cek dan BG otomatis mewajibkan bank menolak Cek dan BG yang ditagihkan meskipun terdapat dana yang cukup dalam rekening nasabah (terdapat dalam praktek perbankan di Solo – Jateng)?

Apakah konsekuensi hukum atas praktek tersebut?

Semula sebagian besar peserta sepakat bahwa mekanisme yang paling fair adalah dengan melakukan konfirmasi ke penarik, apakah mau dibayar atau tidak. Namun setelah dilihat kembali dalam KUHD Pasal 209 mekanisme yang seharusnya sesuai Undang-Undang adalah tertarik membayar cek dimaksud sepanjang tidak ada pembatalan.

Menurut Prof. Dr. Prasetya, sebenarnya kewajiban menarik cek dari peredaran ada pada si penarik. Jika tidak ditarik dari peredaran/dibatalkan, maka bank/tertarik melakukan pembayaran.

Peserta sepakat bahwa ada dua pendekatan yang dapat digunakan, yaitu:

  • Dibuat PBI yang menegaskan bahwa jika tidak terdapat penarikan/pembatalan cek maka sepanjang dananya ada maka bank dapat membayar. Namun demikian, opsi ini terkesan PBI akan mengatur materi yang terlalu ‘jauh’ dan bersifat melimitasi ketentuan KUHD. Oleh karena itu disepakati bahwa PBI hanya akan mengajurkan kepada perbankan untuk memasukkan opsi kedua dibawah ini dalam perjanjian standar pembukaan rekeningnya.
  • Dibuat klausula dalam perjanjian rekening yang mengatur bahwa jika terdapat penarikan cek/Bilyet Giro yang telah melewati 70 hari dan tidak ada pembatalan serta terdapat dana yang cukup, maka bank dapat membayar cek/Bilyet Giro tersebut.
  • Terkait dengan tanggal pembuatan surat pembatalan, disepakati bahwa seharusnya penarik dapat membuat surat pembatalan jauh sebelum 70 hari berakhir dengan isi pembatalan/penarikan cek akan berlaku sejak hari ke 71. Terkait dengan kemungkinan adanyadiscrepancies antara tanggal pembuatan surat dengan tanggal penerimaan surat tersebut oleh bank, maka yang berlaku adalah tanggal surat diterima oleh bank (teori penerimaan), dan hal ini akan diperjelas dalam PBI.
Rosmaya Hadi menambahkan bahwasanya dalam praktek perbankan juga terjadi penolakan cek yang dikarenakan didalam cek dimaksud terdapat perbedaan penulisan jumlah nominal antara angka dan huruf atau terdapat pencoretan-pencoretan, padahal sesuai KUHD seharusnya cek-cek dimaksud tidak ditolak. Untuk perbedaan penulisan nominal, yang berlaku adalah tulisan nominal dengan huruf, sedangkan untuk pencoretan-pencoretan seharusnya dikonfirmasikan terlebih dahulu kepada penarik.

8. Kapankah saat kewajiban penyediaan dana atas Cek (konvensional) bila penagihannya dilakukan secara langsung kepada Bank Tertarik?

Saat pengunjukkan.

9. Apakah konsekuensi hukum atas materi pengaturan Bilyet Giro dalam Surat Edaran BI No. 28/32/UPG tanggal 4 Juli 1995 perihal Bilyet Giro yang menyatakan, “Pengaturan mengenai Bilyet Giro tidak dapat terlepas dari ketentuan dalam KUHD, khususnya mengenai Cek dan Wesel”, misalnya dikaitkan dengan saat kewajiban penyediaan dana dalam Bilyet Giro sejak tanggal efektif sampai dengan kadaluarsa yang tampaknya berbeda dengan saat penyediaan dana pada Cek (konvensional) sebagaimana diatur dalam KUHD (sejak saat dilakukannya penagihan dan bukan sejak tanggal penarikan Cek)?

Seharusnya klausula ini tidak boleh karena wesel dan cek berbeda dengan Bilyet Giro. Jalan keluarnya adalah peraturan dalam KUHD dapat dikopi untuk dijadikan norma dalam ketentuan Bilyet Giro.

10. Kapankan saat kewajiban penyediaan dana atas Cek dan Bilyet Giro (dalam satuan jam, menit dan detik), khususnya bila dikaitkan dengan penagihan Cek dan BG yang dilakukan melalui mekanisme Kliring (apakah tepat saat Cek datang dari penyelenggara kliring dalam ‘kliring penyerahan’1, ataukah dapat di extent sampai dengan saat tutupnya jadwal ‘kliring retur’2 di Bank Indonesia? Hal ini penting untuk kepastianhukum surat berharga, mengingat dalam prakteknya terdapat perbedaan persepsi mengenai saat kewajiban penyediaan dana antara pihak Penarik Cek/BG, perbankan dan aparat penegak hukum (hakim).

Terdapat sedikit perbedaan saat kewajiban penyediaan dana antara cek dan BG. Untuk Cek adalah pada saat pengunjukan, sedangkan untuk BG harus lebih jelas (limitative), yaitu ditambahkan klausul “sesuai ketentuan sistem transfer dana yang digunakan (sistem kliring) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia” pada ketentuan SE Bilyet Giro-nya, mengingat tanggal efektif BG adalah pada suatu tanggal yang dimulai dari pukul 00.00 sampai dengan pukul 24.00. Bisa saja si Penarik Bilyet Giro menyediakan dana pada tanggal yang sama dalam range pukul dimaksud namun penarikan Bilyet Giro via kliring telah selesai diproses dan Bilyet Giro dimaksud telah ditolak dengan alasan dana tidak mencukupi (Bilyet Giro kosong).

Additional information:
Konsekuensi persetujuan BI atas penggunaan warkat2 dalam kliring (khususnya SB) ada dua jenis, yaitu limitative hanya untuk persetujuan bahwa warkat tersebut dapat diproses dalam kliring tanpa bertanggung jawab atas keabsahan warkat dimaksud atau persetujuan dalam arti luas sesuai amanat UU BI yang mencakup juga keabsahan, konsekuensi dan tanggung jawab hokum atas SB yang diproses dalam kliring dimaksud. Pengaturan materi SB dan pengaturan SB yang diproses dalam kliring dapat dibedakan.

11. Apakah terdapat kewajiban Pemegang Cek untuk melakukan endosemen atas Cek atas nama kepada Bank Penerima (bank penagih) apabila penagihan Cek tsb. dilakukan melalui mekanisme Kliring atau mekanisme ‘inkaso’? Bagaimanakah tata cara endosemen yang benar
menurut hukum?

Tidak perlu. Pencairan cek melalui lembaga kliring tidak memerlukan endosemen dari pemegang cek. Lembaga kliring dalam posisi ini adalah on behalf of pemegang cek.

12. Bagaimanakah konsekuensi hukum terhadap Bank Tertarik yang mendebet dana Nasabah atas penagihan Cek dan BG, sementara Cek dan BG dimaksud tidak lengkap syarat formalnya (misalnya pada BG tidak terdapat nama jelas, melainkan hanya terdapat tanda tangan saja)?

Lihat jawaban no. 4

13. Apakah penulisan Cek mundur (post dated cheque) ‘dilarang’ atau ‘hanya tidak diakui secara hukum’ di Indonesia, dan apa konsekuensi hukum atas penulisan Cek Mundur dimaksud?

Secara hukum, dianggap tidak ada.

14. Apakah terdapat peluang untuk mengakui adanya penulisan Cek mundur di Indonesia (meniadakan ‘sifat atas unjuk’ dari Cek), mengingat klausula ‘cek mundur’ dimaksud sangat dibutuhkan dalam praktek pembayaran khususnya terkait dengan cash flow management dari Nasabah Penarik (dengan demikian, terbuka peluang untuk menghilangkan Bilyet Giro yang dalam praktek justru jauh lebih banyak digunakan dibandingkan Cek semata-mata karena adanya fasilitas ‘tanggal mundur/tanggal efektif’).

Tidak ada. Yang ada pada wesel. Penambahan syarat-syarat pada Cek dianggap tidak ada. Sesuai Pasal 205 KUHD postdated check tetap dapat dibayar.

Menurut Prof. Prasetya, cek mundur dalam jangka panjang dapat berdampak inflasi (velocity of money tinggi, khususnya saat tight money policy diambil). Namun hal ini masih harus dibuktikan melalui kajian.

15. Apakah Cek Silang memang berarti bahwa Cek dimaksud tidak dapat ditunaikan oleh Pemegangnya, ataukah hanya berarti Cek Silang dimaksud haya dapat ditagihkan pada suatu bank/person tertentu? Disamping itu, apakah terdapat bentuk baku cara penyilangan Cek silang mengingat umumnya Penarik hanya memberikan dua coretan silang kecil pada pinggir kiri atas warkat Cek, sementara dalam buku-buku hukum dagang penyilangan dimaksud dilakukan dengan dua garis sejajar yang memanjang pada bagian tengah Cek? Lalu bagaimanakah perbedaannya dengan Cek ‘untuk perhitungan’?

Menurut Prof. Prasetya, secara teoritikal cek dimaksud bisa ditunaikan, namun tidak dapat dibayarkan kepada pembawa melainkan dibayarkan kepada banker dimana cek dibuka (Pasal 215, 216 KUHD). Cek yang harus dibukukan ke rekening adalah atas perhitungan (per rekening)
Pasal 216 KUHD. Cek semacam ini dimaksudkan untuk memperkuat sisi keamanannya.Yang harus ditulis diantara dua cross pada cek adalah bankir, bukan nama. Kalau nama orang adalah cek rekta, cek yang tidak dapat dialihkan.

Cross cek yg isinya orang harus dianggap tidak ada oleh bank karena tidak diatur (Referensi: Wirjono Prodjodikoro dan Scheltema).

Pada pasal 613 dikenal adanya cek op naam dan op naam order. Cek opnaam harus dengan cessie (akta panjang) peralihannya, sedangkan opnaam order dapat dengan endosemen.

16. Apakah cek dan Bilyet Giro dapat ditandatangani dengan menggunakan stempel atau mesin tanda tangan elektronik/otomatis bertinta basah, ataukah harus menggunakan tanda tangan basah yang dilakukan oleh tangan?

Menurut Prof. Prasetya, pada literatur masalah ini merupakan coverage hukum pembuktian. Di sistem hukum pembuktian dan pengadilan Indonesia, tanda tangan seperti ini masih belum dimungkinkan. Terkait masalah pembuktian, hanya akan efektif saat terjadi dispute. Dalam praktek apabila everything goes well, tidak masalah, tergantung kepercayaan diantara para pihak dimaksud Sebagai analog: dalam UU Bea Materai diperbolehkan pake teraan, cap dan sebagainya. Sayangnya, UU Bea Materai dirubah menjadi sangat singkat. Filosofinya satu materai hanya untuk satu kali pemakaian (di Singapore dapat langsung disilang, di kita harus tanda tangan).

Menurut Roedjiono, harus ada lembaga independen yang memvalidasi keabsahan tanda tangan tersebut. (RP)

17. Bagaimanakah konsekuensi hukum atas cek yang ditulis nama pemegang cek pada badan warkatnya (cek atas nama), sementara tidak dilakukan coretan pada tulisan “atau pembawa or bearer” pada badan warkat cek dimaksud?

Dalam hukum perdata, kedudukan pembawa maupun nama yang ada pada cek atas bawa adalah sama. Menurut Dr. Soebagja, mengingat adanya aspek prudential seharusnya bank meminta ke pemilik rekening siapa-siapa saja yang berhak mengambil dan membawa cek untuk dicairkan. Menurut praktisi perbankan dari BCA dan BNI, dalam praktek aspek prudential ini sulit untuk diterapkan, batasan prudential hanya diterapkan untuk pemilik rekening.

18. Apakah Bank Tertarik atau Bank Penerima memiliki kewajiban untuk memastikan keabsahan hak Pemegang Cek dikaitkan dengan asas ‘legitimasi’ pada Cek dan adanya tindak manipulasi oleh ‘pembawa’ Cek atas nama yang memanfaatkan tulisan “atau pembawa” yang tidak dicoret oleh Penarik?

Menurut Roedjiono, hal ini dapat dianalogkan dengan ketentuan yang berlaku dalam hukum surat berharga, yaotiu bahwasanya sepanjang ada kecurigaan surat berharga dimaksud diperoleh dengan cara tidak jujur,dapat meminta legitimasi secara materiil. Dalam cek, perlindungan terhadap pemegang cek tinggi, termasuk bahkan jika penerbit cek mati atau pailit, cek dimaksud tetap sah.

19. Apakah Pasal 183 ayat (3) KUHD yang berbunyi “Cek dapat diterbitkan atas penerbitnya sendiri” dapat menjadi dasar penerbitan/hukum dari jenis-jenis Cek bank /Cek kasir, Cek Perjalanan, dll yang lazim terdapat dalam commonlaw countries?

Ya.

20. Apakah maksud dari Pasal 181 KUHD yang pada intinya melarang adanya akseptir oleh Bank terhadap Cek yang dikeluarkan oleh Nasabah, sementara hal tersebut diakui dalam hukum Cek di commonlaw system, yaitu yang dikenal dengan sebutan Certified Check3?

Menurut paparan Prof. Prasetya kasus certified check yang pernah terjadi adalah cek yang difiat oleh Bank Persatuan Dagang Indonesia (BPDI). Cek dimaksud ternyata kosong, BPDI mengatakan bahwa fiat yang telah ia lakukan tersebut tidak mengingkat. Kemudian keluarlah Surat Edaran Mahkamah Agung bahwa fiat yang dilakukan oleh bank atas cek tidak mengikat. Tidak boleh ada fiat tertarik. Yang ada aval, yaitu menjamindengan cara menandatangani cek untuk penjaminan. Aval ini mirip dengan personal guarantee, dan disebut dengan cek aval (Pasal 183 KUHD) Tanda tangan untuk aval ini dilakukan dimuka lembar cek. Kalau di belakang lembar cek disebut endosemen. Sanksi atas aval ini adalah menempatkan avalist sebagai penjamin.

21. Apakah Cek Perjalanan atau Cek Kasir (atau bentuk lainnya) yang telah ‘dibeli’ oleh seseorang dari bank dapat dipersamakan dengan uang tunai? Dalam hal ini, karena bank telah menerima pembayaran penuh atas cek perjalanan/cek kasir, apabila kemudian cek tersebut tidak diuangkan oleh pembeli (atau pihak lainnya yang menerima cek tersebut dari pembeli) untuk waktu yang lama, apakah bank wajib menyimpan terus dana pembelian cek untuk waktu yang tidak terbatas?

Cek perjalanan yang telah dibeli dapat dipersamakan dengan uang tunai. Menurut KUHD, bank wajib menatausahakan dana dari cek-cek dimaksud dalam jangka waktu 30 tahun. Selama penatausahaan, bank dapat membebani biaya administrasi. Setelah jangka waktu 30 tahunmaka hak untuk meng-claim hilang.

22. Terkait dengan perkembangan teknologi sistem pembayaran, umumnya berbagai negara maju telah melaksanakan Kliring atas Cek yang tidak lagi dilakukan dengan menggunakan fisik Warkat Cek melainkan dengan menggunakan teknologi image Warkat Cek (Check Truncation/Elektronikcheck presentment). Terkait dengan hal tersebut, apakah Check Truncation/electronic Check dimaksud dapat dilaksanakan di Indonesia tanpa merubah ketentuan perundangan yang berlaku, mengingat Pasal 178 ayat (1) terkesan tidak ‘mengatur’ mengenai bentuk Cek apakah harus tertulis di atas Warkat atau tidak?

Essensi transfer adalah sama dengan cek, karena tidak tertulis maka tidak dapat dikategorikan kedalam Cek. Untuk cek saat ini belum dapat diubah menjadi scriptless, masih harus tertulis. Memang untuk saham sudah dapat scriptless, namun mekanismenya juga sudah diciptakan.

Add:

Scriptless security settlement system (S4) harus direview terkait dengan tidak adanya fisik SBI dan hanya ada bukti pencatatan. Untuk benchmark: seharusnya dilihat mekanisme pada saham. Dengan persyaratan ini, maka berimplikasi bahwa SBI dalam transaksi melalui S4 tidak dapat lagi dikategorikan sebagai surat berharga. Dalam pengertian surat berharga harus didukung dengan surat secara fisik, yang berati juga harus tertulis, karena surat tersebut berfungsi sebagai akta.

1 komentar:

  1. dimana saya bisa tree download untuk surat edaran BI no 28/32/UPG/1995? terima kasih

    BalasHapus