Rabu, 11 Maret 2009

Merger, Akuisisi dan Konsolidasi Perbankan Relevansinya dengan Kebijakan Single Presence Policy

A. Pendahuluan
Memperkuat industri perbankan adalah upaya berkesimbungan yang harus dilakukan. Upaya itu dilakukan mengacu pada cetak biru industri perbankan yang dikenal dengan Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Salah satu program dalam API adalah konsolidasi perbankan. Konsolidasi perbankan merupakan salah satu prasyarat untuk mewujudkan struktur perbankan Indonesia yang sehat dan kuat. Dengan konsolidasi diharapkan terjadi peningkatan skala ekonomi sehingga dapat meningkatkan efektivitas pengawasan bank. Dalam rangka konsolidasi dilakukan penataan kembali struktur kepemilikan bank yang dimaksudkan untuk menciptakan struktur perbankan yang sehat sehingga mampu memenuhi kebutuhan masyarakat serta mendorong pembangunan ekonomi yang berkesinambungan.[1]

Peningkatan modal bank merupakan salah satu upaya untuk memperkuat sistem perbankan. Dengan permodalan yang kuat bank dapat mengemban risiko yang tinggi. Itulah sebabnya kecukupan modal tetap merupakan fokus utama regulator dalam menciptakan bank yang sehat dan aman. Setidaknya ada empat alasan mengapa regulator berupaya meningkatkan, memaksakan dan menekankan pentingnya kecukupan modal bagi bank. Pertama, modal dapat menyerap kerugian yang timbul tidak terduga. Kedua, modal melindungi kreditur yang tidak dijamin bila terjadi insolvensi dan kemungkinan terjadinya likuidasi. Ketiga, modal melindungi dana lembaga penjamin simpanan dan dana pembayar pajak. Keempat, modal memungkinkan bank melakukan investasi untuk keperluan memperlacar arus jasa.[2]

Modal bank-bank di Indonesia tergolong rendah jika dibandingkan dengan modal bank di negara tetangga padahal bank dikenal sebagai usaha padat modal dan berisiko tinggi. Rata-rata modal inti bank umum di Indonesia adalah Rp.1.347,4 milyar[3] sedangkan di Malaysia Rp5.503,62 milyar, Thailand Rp8.919,36 milyar, Philipina Rp1.961,32 milyar dan Singapura Rp34,976.88 milyar.[4] Tidak satupun bank di Indonesia termasuk dalam 200 besar tingkat dunia bandingkan dengan Singapura yang memiliki tiga, Thailand satu, India dua dan Korea Selatan tujuh. Dari 131 bank di Indonesia hanya sembilan bank yang tercatat masuk dalam peringkat 1000 dunia. Bank Mandiri sebagai bank terbesar dari sisi aset hanya menduduki peringkat ke 251 dunia.[5]

Untuk meningkatkan permodalan bank, Bank Indonesia menetapkan ketentuan agar bank umum meningkatkan modal inti menjadi minimal Rp.80 milyar pada Desember 2007 dan minimal Rp100 milyar pada Desember 2010. Dengan kewajiban untuk meningkatkan modal tersebut diharapkan akan terjadi merger dan akuisisi sehingga struktur kepemilikan bank menjadi lebih sehat. Sejalan dengan kebijakan peningkatan modal BI juga mengeluarkan ketentuan yang dikenal dengan kebijakan Kepemilikan Tunggal Pada Perbankan Nasional atau populer dengan single presence policy (SPP). Ketentuan ini menetapkan, setiap pihak, perorangan atau korporasi, hanya boleh menjadi pemegang saham pengendali (PSP) pada satu bank.[6] Tujuannya adalah untuk mendorong konsolidasi perbankan dan mendukung efektivitas pengawasan bank.

Ketentuan tentang SPP dimaksud tentunya berimplikasi pada pihak-pihak yang sudah menjadi Pemegang Saham Pengendali di dua atau lebih bank. Untuk itu kepada mereka diberikan tiga pilihan agar kepemilikannya pada bank sejalan dengan ketentuan SPP. Pertama, melepas kepemilikannya sehingga hanya menjadi PSP pada satu bank. Kedua, menggabungkan (merger) bank yang dimiliki. Ketiga, membentuk/mendirikan bank holding company (BHC) dan mengalihkan kepemilikan bank kepada BHC[7]. Ketentuan SPP dikecualikan bagi kantor cabang bank asing dan bank campuran. Pengecualian juga berlaku bagi PSP yang mengendalikan dua bank yang masing-masing melakukan kegiatan usaha dengan prinsip berbeda yakni secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah.

Menurut penulis paling tidak ada tiga masalah yang timbul dalam implementasi SPP. Pertama penentuan pihak yang menjadi PSP bank. Hal ini terkait dengan ketentuan tentang ultimate shareholder dalam menetapkan pemilik bank. Kedua pilihan yang ideal dari tiga opsi yang ditentukan dan ketiga, khusus untuk bank milik pemerintah opsi apa yang sebaiknya dipilih. Ketiga masalah tersebut merupakan issu yang dibahas dalam tulisan ini.



B. Kepemilikan dan Kepengurusan Bank
a. Kepemilikan

Bank Indonesia memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank.[8] Pentingnya persetujuan BI dilatarbelakangi pengalaman bahwa pemilik, direksi dan pejabat eksekutif bank merupakan penanggung jawab utama menjaga bank tetap sehat dan kuat.. Secara bersama-sama pemilik dan pengurus harus menciptakan kerangka pengawasan internal dalam menjalankan operasional bank dan memastikan bahwa kegiatan usaha bank sejalan dengan praktik perbankan yang sehat dan aman.[9] Struktur kepemilikan bank dapat menjadi insentif bagi pemilik untuk melakukan kegiatan yang tidak sehat dan tidak aman. Bank dapat disalahgunakan menjadi sumber dana bagi pemilik. Pinjaman kepada orang dalam merupakan faktor penyebab utama terjadinya bank bermasalah di banyak negara. Bilamana motivasi memiliki bank adalah untuk merampoknya maka internal governance semata tidak akan dapat mencegah hal tersebut.[10]

Soal penting tentang kepemilikan adalah menjawab pertanyaan siapa sebenarnya pemilik bank. Pertanyaan timbul karena dalam hal kepemilikan terdapat dualisme pengertian yaitu legal owner (pemilik yang tercatat menurut hukum) dan beneficial owner ((pihak yang menikmati manfaat ekonomis dari benda yang dimiliki oleh legal owner). Sebagian ahli hukum perusahaan menyatakan bahwa sistem hukum Indonesia yang mewarisi tradisi hukum kontinental tidak mengenal adanya dualisme kepemilikan.[11] Adanya dualisme kepemilikan adalah akibat dianutnya konsep trust yang berasal dari tradisi common law. Legal owner berfungsi sebagai pihak yang melakukan pemeliharaan atau pengurusan suatu harta kekayaan.[12]

Dalam menetapkan pemilik bank, Bank Indonesia menerapkan konsep ultimate owner. Berdasarkan konsep ini pemilik adalah pihak yang menerima manfaat atas kepemilikan tersebut (beneficial owner). Pihak yang menerima manfaat tersebut dapat berbeda dengan legal owner. Oleh karena itu, pihak yang menerima manfaat dari kepemilikan bank wajib diungkapkan. Kewajiban untuk mengungkapkan juga berlaku untuk perusahaan terbuka. Hampir di semua negara maju terdapat ketentuan yang mewajibkan untuk mengungkapkan kepentingan substantif suatu pihak terhadap perusahaan terbuka. Pada tahun 1972 Australia misalnya telah memberlakukan kewajiban agar suatu pihak yang memiliki secara substantif saham suatu perusahaan publik untuk mengungkapkan kepemilikannya kepada perusahaan dan kepada bursa dimana saham tersebut diperdagangkan. Berdasarkan ketentuan tersebut kewajiban tersebut muncul bilamana suatu pihak memiliki hak suara pada suatu perusahaan sebesar 5%.[13]

Kewajiban untuk mengungkapkan kepemilikan dilandasi beberapa alasan. Pertama, identitas pemegang saham pengendali atau calon pemegang saham pengendali suatu perusahaan merupakan informasi investasi yang penting. Kedua, dalam rangka akuisisi keterbukaan informasi atas kepemilikan dimaksudkan untuk menjamin agar peralihan pengendalian perusahaan berlangsung secara terbuka dan efisien. Ketiga, untuk mencegah terjadinya insider trading dan manipulasi pasar.[14]

Penentuan bentuk hubungan hukum antara legal owner dengan beneficial owner terkadang sulit dilakukan. Diketahuinya bentuk hubungan hukum perlu untuk menetapkan tanggung jawab masing-masing pihak. Ada beberapa kemungkinan tentang hubungan hukum antara legal owner dan beneficial owner yaitu nominee atau terjadi hubungan pengurusan, perwakilan atau keagenan. Masing-masing bentuk hubungan hukum tersebut membawa konsekwensi hak dan tanggung jawab yang berbeda. Masalah lain yang timbul dalam penentuan ultimate shareholder terjadi pada perusahaan dengan struktur kepemilikan yang kompleks dan melibatkan perusahaan khusus (special purpose vehicle) atau pada kepemilikan yang melibatkan investment bank.[15]

Konsep kepemilikan perusahaan ini sering menimbulkan pertanyaan tentang apakah badan hukum (legal personality) dapat dimiliki dalam segala bentuk dan cara yang efektif. Akan selalu ada biaya keagenan dalam setiap struktur perusahaan dimana seseorang selain manajemen memiliki modal. Perusahaan terbuka memiliki pengurus dengan agenda yang dapat berbeda dengan pemilik. Tantangan terhadap penerapan governance adalah memastikan bahwa penyelesaian perselisihan diantara organ perusahaan adalah suatu proses terbuka dan adil (fair). Tantangan ini utamanya dijawab oleh hukum dengan menerapkan standar prosedur yang tinggi dan pengaturan tentang standar fiducia.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apa yang dimaknai dengan memiliki sebagian dari sesuatu. Pemegang saham (stockholder) misalnya dianggap “memiliki” perusahaan tempat mereka berinvestasi. Tetapi bagian dari modal tidak dapat diterjemahkan dengan memiliki sebagian dari harta perusahaan, kecuali bila perusahaan tersebut bubar dan masih tersisa harta untuk dibagi diantara sesama pemegang saham. Terbatasnya tanggung jawab pemegang saham terbatas mengandung arti membatasi tanggung jawabnya atas kesalahan perusahaan. Manusia berkaitan dengan secara khusus terhadap sesuatu yang dimilikinya. Kepemilikan tidak hanya suatu alat untuk mengukur kekayaan. Kepemilikan adalah suatu unsur dari kepuasaan pribadi. Adam Smith meyakini bahwa proteksi terhadap individu dalam menikmati hak milik merupakan salah satu dari sedikit aktivitas sah suatu pemerintahan sipil.

Kepemilikan telah menjadi persoalan sejak awal sejarah umat manusia, Sengketa tentang kepemilikan telah mewarnai cerita dalam kitab suci. Pada akhir abad ke delapan belas pandangan tentang hak milik (properti) melibatkan suatu hubungan langsung antara pemilik dengan yang dimilikinya. John Lock berpendapat bahwa properti hanya sah sepanjang properti tersebut memberikan kepuasan pribadi. Hak milik pribadi dipandang penting karena menjamin warga negara dapat melindungi kemerdekaan dirinya dari kekuasaan. Konsep utama pandangan Barat tentang kepemilikan adalah si pemilik memiliki insentif mengelola miliknya tersebut dengan cara yang tidak merugikan masyarakat secara keseluruhan. Adam Smith mengatakan “even if a businessman “intend only his own gain, he is…led by an invisible hand to promote an end which in not his intention”. Pendapat Adam Smith ini masih digunakan sebagai pondasi kebijakan banyak pemerintahan. Terdapat pertentangan alamiah antara kebebasan dan kesetaraan. Pada satu sisi manusia harus diberi kebebasan untuk mengekspresikan dirinya dan pada saat yang sama menimbulkan perbedaan dan ketidak setaraan. Pada sisi lain hanya kesetaraan yang dapat diterima sebagai basis bagi suatu negara yang beradab.

Keberadaan perusahaan bersamaan dengan diakuinya hak milik pribadi. Namun demikian perusahaan adalah suatu subset unik dari kategori kepemilikan yang diciptakan untuk suatu alasan unik dan memiliki karakter unik pula. Perusahaan diciptakan sebagai cara menyelesaikan sebagian tantangan yang muncul akibat dari kepemilikan pribadi. Bentuk awal perusahaan lebih mirip kotapraja dibandingkan dengan usaha bisnis yaitu berupa kota dan universitas yang ditemukan pada abad pertengahan. Unsur utama suatu perseroan adalah keberadaannya yang independen dari keanggotaan tertentu dan seluruh kekayaan dan utang adalah milik perusahaan tersebut. Unsur inilah yang membedakan perseroan dengan firma (partnership). Dikembangkannya sistem double entry dalam pembukuaan pada akhir abad pertengahan, awalnya dimaksudkan untuk memeriksa terjadinya kesalahan dalam pembukuan yang kemudian berkembang menjadi teknik untuk memisahkan kegiatan bisnis dengan kegiatan pribadi. Dengan demikian perseroan menjadi entitas terpisah yang usianya dapat lebih lama dari umur pemilik ataupun pengurusnya. William Blackstone salah seorang ahli hukum terkemuka Inggris, dalam salah satu keputusannya menetapkan bahwa King Charles I tidak dapat secara sepihak membatalkan piagam kota London.

Perseroan dengan demikian berhak memiliki harta kekayaan sesuai dengan aturan yang ditetapkan pemerintah. Hak kepemilikan seperti ini yang dapat membatasi campur tangan penguasa merupakan dasar dari perusahaan modern. Kewenangan perusahaan, meski terbatas dipandang dari sudut jangka waktu, cakupan dan tujuan, didisain untuk mengatasi kekuasaan negara yang tanpa batas. Kondisi ini merupakan ancaman serius bagi pemerintah. Melalui kepemilikan perusahaan, individu dapat memiliki kekayaan yang dengan sendirinya merupakan sumber kekuasaan mandiri. Kehadiran sektor swasta tidak hanya mengancam pusat kekuasaan tetapi juga merupakan ancaman bagi kemapanan para penguasa. Kekayaan negara tidak lagi dengan mudah digunakan untuk pet proyek penguasa. Bila negara dibentuk dan dikendalikan sebagaimana layaknya perusahaan, bukankah ini yang diimpikan oleh para filosof dan ahli politik sebagai negara ideal?

Dalam jangka pendek struktur perseoran yang independen dapat merupakan ancaman bagi kekuasaan pemerintah. Namun perusahaan pada akhirnya adalah sekutu pemerintah. Independensi perusahaan yang diberikan oleh pemerintah menjadikan pemerintah lebih diterima oleh masyarakat. Konsekwensi diakuinya hak milik individual membuat pemerintah berkewajiban menjaga agar hak tersebut dapat dinikmati pemiliknya dengan baik. Kepemilikan secara umum dan kepemilikan saham khususnya dibutuhkan untuk mengorganisasikan bakat, uang dan energi yang penting bagi kemajuan teknologi dan industri. Membolehkan kepemilikan sebagian melalui penawaran umum membuka akses pada modal untuk membiayai industri modern. Struktur perusahaan merupakan hal penting dalam mentransformasikan perdagangan menjadi suatu tatanan yang teratur. Keduanya berdasarkan pada prinsip yang sama yaitu spesialisasi. Seseorang tidak butuh pengetahuan tentang bagaimana membuat kursi agar dapat bekerja di perusahaan kursi tetapi cukup mengetahui bagaimana memasang bantalan kursi ke tempatnya. Seseorang juga tidak perlu mengatahui bagaimana membuat kursi untuk berinvestasi pada perusahaan kursi, yang diperlukan adalah membeli saham perusahaan kursi tersebut.[16]



b. Kepengurusan

Pertanyaannya adalah bentuk pengurusan bagaimana yang ideal bagi bank. Jawaban atas pertanyaan ini penting karena sejarah perkembangan perusahaan memperlihatkan bahwa perusahaan telah banyak berubah dalam beberapa dekade terakhir. Profil rata-rata perusahaan lima puluh tahun yang silam misalnya jauh berbeda dengan profil perusahaan saat ini. Namun demikian, beberapa prinsip dasar pengurusan perusahaan seperti prinsip fiducia masih tetap relevan dengan masalah self-dealing oleh pengurus terlepas dari perkembangan dan perubahan yang telah terjadi pada perusahaan. Wiraswastawan generasi awal umumnya memiliki dan mengurus sendiri perusahaannya. Profil perusahaan tradisional adalah kecil dan dikelola oleh pemiliknya sendiri.

Sejalan dengan pertumbuhan perusahaan maka jumlah pemegang sahampun turut bertambah. Masing-masing pemegang saham tersebut memiliki jumlah saham yang kecil. Dengan kata lain, tidak terdapat konsentrasi kepemilikan saham yang konsekwensinya kewenangan pengurusahan dilakukan oleh pihak lain. Dengan demikian terjadi peralihan kewenangan pengurusan perusahaan dari pemegang saham kepada pengurus perusahaan. Pada perusahaan publik, manajemen puncak sering kali hanya memiliki jumlah saham yang sedikit. Namun demikian, karena jumlah pemegang saham tersebar luas di masyarakat maka pengurus perusahaan mampu memiliki fungsi kontrol terhadap perusahaan. Telah sejak lama diskusi mengenai perusahaan dimulai dari pendapat bahwa pengurus perusahaan memiliki kekuasaan dan dapat menggunakannya untuk mengeksploitasi investor, konsumen atau keduanya. Para pengurus perusahaan mengetahui dengan tepat kondisi perusahaan dan dapat menyembunyikan kondisi perusahaan tersebut dari investor. Informasi tentang kualitas pengelolaan perusahaan juga mudah dirahasiakan. Dipersenjatai dengan pengetahuan pribadi dan kemampuan menciptakan investor dalam kegelapan, pengurus perusahaan dapat membentuk opini untuk kepentingan mereka dan sekaligus mencuri dan melakukan salah pengelolaan.[17]

Di Amerika Serikat (AS) sistem pengelolaan perusahaan dilakukan secara outsider/arm’s-length yaitu pengelolaan yang dilakukan oleh orang luar (outsider) perusahaan. Sistem ini terjadi karena tersebarnya kepemilikan perusahaan. Perusahaan-perusahaan besar di AS hampir seluruhnya adalah perusahaan terbuka dan hanya segelintir perusahaan yang sahamnya masih berada di tangan pengendali perusahaan. Kepemilikan saham yang besar apalagi kepemilikan saham mayoritas adalah suatu hal yang tidak lazim di AS. Terminologi arm’s length tepat untuk konteks AS karena pemegang saham menjaga jarak dan membiarkan pengurus bebas melakukan pengelolaan perusahaan. Pendekatan ini berhasil karena dalam situasi normal investor lebih tertarik pada kinerja umum portfolio saham yang mereka miliki dibandingkan perkembangan yang melibatkan satu perusahaan tertentu. Gejala pemisahaan antara kepemilikan dan kepengurusan ini telah diindentifikasi oleh Adolf Berle dan Gardiner Means di awal tahun 1930an yang kemudian dikenal dengan “Berle-Means Corporation”.

Analisis Adolf Berle dan Gardiner Means ini telah menimbulkan perdebatan panjang. Akan tetapi para ahli sependapat bahwa “Berle-Means Corporation” merupakan paradigma dominan dalam sistem ekonomi pasar. Pemisahaan antara kepemilikan dan pengelolaan merupakan sistem yang menguntungkan karena pengurus dapat dipekerjakan semata-mata berdasar atas kompetensi yang mereka miliki. Hal ini dapat terjadi karena pengurus tidak diharapkan dapat memberikan kontribusi keuangan kepada perusahaan yang mempekerjakan mereka atau memiliki ikatan keluarga atau hubungan pribadi dengan pemegang saham pengendali. Berbeda dengan AS, di Jepang dan Eropa kontinental, pengelolaan perusahaan dilakukan oleh insider/control-oriented. Berdasarkan sistem ini pasar modal misalnya hanya memainkan peran kedua dalam perekonomian. Perusahaan-perusahaan yang sahamnya dijual di bursa umumnya dimiliki oleh pemegang saham pengendali dan atau kreditur dominan yang mempengaruhi manajemen. [18]

Riset yang dilakukan oleh Claessens, Djankov and Lang tentang siapa yang mengontrol perusahaan di Asia Timur (Hong Kong, Indonesia, Japan, South Korea, Malaysia , the Philipines, Songapore, Taiwan dan Thailand) menunjukan:[19]

a. Lebih dua pertiga perusahaan di kontrol oleh pemegang saham tunggal

b. Pemisahaan antara pengusus dan pemilik sangat jarang

c. Top manajemen dari 60% perusahaan terkait dengan keluarga

d. Kontrol keluarga yang ekstensif pada lebih dari separoh perusahaan

Kecenderungan perekonomian akhir-akhir ini memperlihatkan bahwa versi kapitalisme model AS lebih dominan dan “Berle-Means Corporation” menghasilkan efisiensi sebagaimana yang diajarkan oleh teori dan juga kenyataannya perusahaan-perusahaan dengan orientasi insider/control mulai melakukan divestasi dan menghilangkan struktur kepemilikan silang yang rumit dan secara perlahan bergerak kearah kepemilikan yang tersebar.

Studi emperis menunjukan bahwa pertama, tingkat proteksi yang diberikan oleh sistem hukum suatu negara kepada outside investor berdampak signifikan terhadap regim pengelolaan perusahaan di negara tersebut. Hal ini terjadi di Amerika Serikat. Kedua, struktur institusi yang kuat juga dapat menciptakan sistem penyebaran kepemilikan perusahaan sebagaiman yang terjadi di Inggris. Proteksi hukum yang kuat bagi pemegang saham minoritas berkaitan erat dengan pertama, banyaknya jumlah perusahaan yang tercatat di bursa efek. Kedua, lebih bernilainya pasar modal. Ketiga, lebih rendah manfaat kontrol pribadi terhadap perusahaan dan keempat, lebih terpecahnya kepemilikan saham. Dengan perkataan lain konsentrasi kepemilikan adalah konsekuensi lemahnya perlindungan hukum bagi pemegang saham minoritas.[20]

Di negara yang lemah memberikan perlindungan hukum terhadap investor menyebabkan investor potensial enggan membeli saham perusahaan. Keengganan investor tersebut pada akhirnya membuat pemilik memutuskan untuk tidak menjual sahamnya kepada publik. Hasil yang berbeda akan terjadi apabila suatu negara mengatur sikap oportunistik para insider sehingga pemegang saham minoritas merasa aman. Dengan kondisi tersebut maka investor akan bersedia membeli dengan harga penuh saham yang dijual sehingga menurunkan biaya modal bagi perusahaan yang memilih menjual saham di pasar modal. Kondisi ini pada gilirannya meningkatkan penawaran umum saham dan sekaligus membangun pasar modal yang kuat dan menciptakan sistem kepemilikan perusahaan tersebar.[21]

Terjadinya penyebaran kepemilikan juga dapat disebabkan oleh kuatnya lembaga peradilan. Hal ini misalnya terjadi di Inggris. Berbeda dengan Amerika Serikat, penyebaran kepemilikan saham perusahaan di Ingris bukan disebabkan kuatnya perlindungan yang diberikan hukum kepada pemegang saham minoritas. Hal ini terlihat pada tahun 1907 hampir 600 perusahaan tercatat pada London Stock Exchange. Jumlah ini meningkat menjadi 3500 perusahaan pada tahun 1951. Pada tahun-tahun sebelum tahun 1914, perusahaan-perusahaan terbuka (public companies) Inggris masih dimiliki dan dikelola secara dominan oleh keluarga. Pemisahan antara kepemilikan dan kepengurusan baru benar-benar terjadi pada tahun 1950an.

Meskipun hakim-hakim Inggris terkenal reputasinya sebagai incorruptibility, impartiality and dicisiveness, namun demikian Inggris tidak termasuk negara yang memberikan perlindungan bagi investor. Hukum perusahaan yang berlaku atau prinsip common law yang secara tegas melindungi pemegang saham minoritas tidak dikenal. Hak gugat derivatif misalnya bukan suatu yang lazim dan pengadilan enggan memberi pemegang saham minorits legal standing untuk menggugat atas nama perusahaan. Sampai pertengahan pertama abad 20, hukum perusahaan Inggris tidak mengatur insider dealing. [22]

Berkembangnya pasar modal Inggris banyak dipengaruhi oleh pertama, financial intermediaries. Perusahaan-perusahaan yang ingin go publik harus melalui pemeriksaan yang ketat oleh financial intermediaries. Ketatnya pengawasan yang dilakukan oleh financial intermediaries adalah untuk menjaga reputasi lembaga keuangan tersebut. Kedua, London Stock Exchange juga memerankan peranan penting dalam mengembangkan pasar modal. Sebagai lembaga swasta, London Stock Exchange menetapkan aturan yang ketat bagi perusahaan yang ingin mencatatkan sahamnya. Dengan demikian, meskipun Inggris tidak mengenal rejim hukum yang memberikan perlindungan bagi pemegang saham minoritas akan tetapi kuatnya peranan yang diberikan oleh kedua lembaga ini membuat banyaknya investor yang menanamkan dananya dengan membeli saham perusahaan.[23]

Tersebarnya kepemilikan perusahaan pada gilirannya memisahkan antara kepengurusan dan kepemilikan perusahaan.[24] Pemisahaan ini dapat menimbulkan benturan kepentingan antara pengurus dan pemilik, benturan antara sesama pemegang saham dan ketiga benturan antara pemegang saham secara keseluruhan dengan bukan pemegang saham seperti kreditur, pegawai atau konsumen. Berbagai mekanisme telah dikembangkan untuk mengatasi benturan kepentingan ini. Bermacamnya variasi mekanisme penyelesaian yang diterapkan secara spesifik oleh suatu negara menunjukankan bervariasinya kultur hukum dan politik.



C. Penerapan Ketentuan Single Presence Policy

Terdapat tiga opsi bagi PSP yang memiliki lebih dari dua bank. Pilihan mana yang ditetapkan tentunya harus berdasarkan keputusan bisnis. Artinya opsi yang sejalan dengan strategi pengembangan perusahaan. Dari kaca mata konsolidasi perbankan, opsi merger adalah opsi terbaik. Hal ini sejalan dengan kondisi perbankan Indonesia yang terfrakmentasi dalam kaitannya dengan jumlah dan ukuran, struktur kepemilikan, keuntungan dan daya saing serta penggunaan teknologi modern. Tidak jarang tiga atau empat bank besar berusaha berdampingan dengan bank kecil dan bank perkreditan rakyat yang banyak diantaranya dimiliki oleh keluarga. Sangat jarang terdapat bank yang telah go public. Dengan kondisi demikian maka merger merupakan solusi terbaik sebagai alat meningkatkan struktur dan efisiensi industri perbankan.[25] Dengan merger masalah kecilnya permodalan bank secara bertahap dapat diatasi. Secara tersirat Bank Indonesia menghendaki agar opsi merger yang dilpilih oleh PSP. Rendahnya permodalan bank di Indonesia telah menimbulkan masalah karena perbankan merupakan industri padat modal dengan risiko usaha tinggi. Kecilnya modal bank menimbulkan masalah skala ekonomi (economic of scale).[26]

Namun demikian masalah hukum penting yang perlu dicermati bila opsi merger yang dipilih adalah masalah monopoli dan pengusaan pasar. Merger yang menyebabkan suatu perusahaan menguasai pasar dan meningkatkan konsentrasi pasar, besar kemungkinan menurunkan persaingan secara substantif dan oleh karenanya harus dicegah kecuali dapat dibuktikan bahwa merger tersebut tidak menimbulkan anti persaingan.[27] Undang Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat penting disimak agar tidak menimbulkan masalah dikemudian hari. Undang-undang ini mengatur tentang perjanjian yang dilarang dan kegiatan yang dilarang. Untuk itu dapat digunakan dua acuan yaitu pendekatan per se illegal dan rule of reason. Pendekatan pe se illegal menitikberatkan pandangan pada perilaku pengusaha tanpa terlalu mempertimbangkan kepentingan ekonomi dan social secara luas. Sedangkan pendekatan rule of reason mempertimbangkan prinsip efisiensi dengan turut mempertimbangkan akibat negatif dan positif dari suatu tindakan terhadap proses persaingan.[28] Tujuan keberadaan undang-undang tersebut adalah untuk efisiensi ekonomi, kesetaraan dalam kesempatan masuk pasar, pengurangan regulasi, menghindari konsentrasi pasar oleh beberapa pelaku usaha.[29]

Pilihan merger akan menciptakan suatu bank besar yang dapat berfungsi sebagai bank internasional dalam pengertian Arsitektur Perbankan Indonesia. Pilihan ini cukup rumit, mulai dari penyesuaian system, penyelarasan budaya kerja dan yang paling sulit adalah menghindari agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). Karena, mau tidak mau merger mengakibatkan PHK yang pada gilirannya akan membawa masalah-masalah sosial dan politik. Pilihan merger merupakan pilihan yang didorong agar dilakukan oleh industri perbankan, meski tidak begitu diinginkan alasannya pemilik bank-bank kecil enggan melepaskan kepemilikannya tanpa mendapatkan insentif khusus.[30] Keengganan pemilik melakukan merger menimbulkan pertanyaan tentang kewenangan dimiliki regulator. Singkatnya, apakah Bank Indonesia sebagai regulator berwenang memaksa pemilik bank untuk melakukan merger. Pasal 26 huruf c UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No.3 Tahun 2004 menetapkan Bank Indonesia memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank. Dengan ketentuan seperti memaksa bank merger tentunya dapat menjurus pada tindakan sewenang-wenang karena bertentangan dengan prinsip hak milik.

Upaya paksa yang dimiliki oleh Bank Indonesia ditetapkan dalam Pasal 37 UU No.10 Tahun 1998. Kewenangan yang diberikan oleh Pasal 37 dibatasi untuk bank yang mengalami kesulitan keuangan. Klausula tersebut sejalan dengan prinsip kebebasan individu untuk memiliki hak milik pribadi. Hak milik pribadi hanya dapat diambil negara bilamana berbenturan dengan kepentingan umum. Bank yang sedang mengalami kesulitan keuangan tentunya merugikan masyarakat sehingga dapat dipaksa mengambil langkah-langkah tertentu untuk melindungi dana masyarakat yang disimpan di bank. Salah satu langkah tersebut adalah memaksa bank untuk merger. Paksaan ini sulit diterapkan pada bank yang tidak mengalami kesulitan keuangan. Upaya maksimal yang dapat dilakukan oleh regulator adalah menciptakan iklim yang dapat mendorong terjadinya merger secara sukarela.

Pilihan terbaik kedua adalah melepaskan kepemilikan. Sejalan dengan pemikiran bahwa tersebarnya kepemilikan akan membawa governance yang lebih baik, maka cara melepaskan kepemilikan yang ideal adalah melalui pasar modal. Melalui go public, tidak saja akan terjadi penyebaran kepemilikan tetapi juga akan membawa diterapkannya prinsip keterbukaan yang berlaku di pasar modal. Penerapan prinsip keterbukaan pada industri perbankan akan meningkatkan peran masyarakat dalam melakukan pengawasan terhadap industri perbankan (market dicipline).

Melepaskan kepemilikan kepada pihak asing merupakan opsi yang layak dipertimbangkan. Kehadiran asing dalam industri perbankan di Indonesia dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu pembukaan kantor cabang, mendirikan perusahaan anak atau mengakuisisi bank yang telah berdiri baik secara langsung atau melalui pasar modal. Kepemilikan asing pada bank domestik maksimum 99% dari modal bank. Banyak studi menunjukan bahwa kehadiran asing dalam industri perbankan domestik meningkatkan efisiensi.

Opsi ketiga menurut penulis adalah pilihan paling buruk yang sedapat mungkin dihindari. Pilihan ini pada dasarnya diajukan untuk mereduksi timbulnya kompleksitas permasalahan hukum terkait kepemilikan bank bila opsi pertama dan opsi kedua sulit ditegakan. Mendirikan perusahaan holding tidak saja menimbulkan kerumitan hukum karena UU No 40 tentang PT mewajibkan setiap perusahaan memiliki kegiatan usaha. Ketentuan BI menetapkan bahwa perusahaan holding tidak boleh melakukan kegiatan usaha selain menjadi pemegang saham bank. BHC wajib bertindak sebagai penentu arah strategis bagi bank-bank yang menjadi anak perusahaannya dan sekaligus mengkonsolidasikan laporan keuangan bank-bank tersebut. Perusahaan holding dapat berupa hasil pendirian badan hukum baru atau menunjuk salah satu bank sebagai holding. Kerumitan yang lain adalah memperpanjang mekanisme pengambilan keputusan. Tambahan birokrasi berupa perusahaan holding tentu akan menimbulkan biaya. Pilihan ini mestinya tidak diambil, bila tujuan yang dicapai adalah membangun bank dan sistem perbankan yang sehat.

Konsep BHC pertama dikenalkan di AS dengan pada saat dikeluarkanya The Bank Holding Company Act pada tahun 1956. Menurut Undang-undang ini BHC adalah setiap perusahaan yang memiliki saham minimal 25% pada suatu bank. BHC dimaksudkan untuk menghindari pembatasan pendirian cabang antar negara bagian (interstate branching) yang waktu itu diterapkan di AS dan juga untuk kepentingan pajak. Konsep BHC kemudian diperluas menjadi Financial Hoding Company melalui Gramm Leach Bliley Act yang ditandatangi Presiden Clinton pada November 1999. Baik BHC maupun FHC berada di bawah pengawasan bank sentral AS yaitu Federal Reserve.

Pilihan manapun yang akan diambil, satu hal yang penting adalah pilihan itu harus mempertimbangkan tujuan ditetapkannya kebijakan SPP yaitu untuk menciptakan bank dan system perbankan yang sehat sehingga industri perbankan tidak menjadi beban keuangan pemerintah seperti yang terjadi pada krisis keuangan tahun 1997.



D. Pilihan untuk Bank Milik Pemerintah
Salah satu PSP yang harus menyesuaikan diri dengan ketentuan SPP adalah pemerintah sebagai PSP di empat Bank BUMN. Dari tiga opsi yang disedikan menurut penulis opsi melepaskan kepemilikan merupakan opsi terbaik. Pilihan merger disamping mahal juga akan menimbulkan masalah hukum terkait dengan larangan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat. Menggabungkan seluruh bank milik pemerintah menjadi satu bank tentunya akan mengakibatkan terjadinya konsentrasi pasar. Pembentukan holding adalah pilihan paling mudah tetapi sekaligus pilihan buruk karena pada dasarnya kementerian negara BUMN berfungsi sebagai holding.

Sementara itu, diberlakukannya ketentuan SPP merupakan momentum bagi pemerintah untuk mengkaji ulang untung rugi memiliki bank baik dalam kerangka kesehatan sistem perbankan maupun kesehatan bank secara individu. Pengalaman menunjukan, bank BUMN memiliki kinerja yang kurang cemerlang, dililit kredit macet melebihi jumlah yang dapat ditolerir. Survey yang dilakukan oleh bank sentral China menunjukan bahwa kredit macet yang terjadi pada bank BUMN Cina disebabkan oleh intervensi pemerintah. Tiga puluh persen kredit macet terjadi karena intervensi pemerintah pusat atau pemerintah daerah.[31] Banyak studi menunjukan bahwa terjadi penurunan produktivitas, alokasi dan dinamisasi efisiensi pada sistem perbankan yang didominasi oleh bank milik pemerintah.[32] Kehadiran bank BUMN dalam sistem perbankan juga membawa masalah yaitu timpangnya medan permainan. Sebagai milik pemerintah, bank BUMN mendapat keuntungan tertentu. Sementara itu sebagai perusahaan milik negara, Bank BUMN juga terkendala atauran main yang berlaku khusus untuk perusahaan milik negara. Seperti misalnya untuk menyelesaikan kredit macet, dibutuhkan prosedur khusus yang tidak efisien untuk dilaksanakan.[33]

Pilihan optimal adalah melepas kepemilikan pemerintah pada bank BUMN. Pilihan ini merupakan yang terbaik untuk kepentingan pemerintah maupun bagi sistem perbankan. Melepaskan kepemilian pemerintah bukan hanya sebatas privatisasi dalam pengertian mengubah kepemilikan pemerintah menjadi kepemilikan swasta.[34] Privatisasi harus dalam bentuk menjual dan menyebarkan kepemilikan kepada masyarakat sehingga akan terjadi pemisahan antara kepemilikan dan kepengurusan yang dalam literatur korporasi dikenal dengan Berle-Means Corporation. Hanya saja pemisahaan antara pemilik dengan pengurus akan menghilangkan dominasi pemilik atas perusahaan. Dipandang dari kaca mata ekonomi pemilik yang tidak memiliki kewenangan dalam mengurus perusahaan dan hanya menjadi observer pasif konsisten dengan kepentingan terbaik pemegang saham. Akan tetapi pemisahaan tersebut tidak sejalan dengan kebutuhan psikologis pemilik yaitu kebutuhan turut berpartisipasi dan terlibat aktif mengawasi perusahaan.[35] Oleh karena itu melepaskan kepemilikan pemerintah pada bank BUMN membutuhkan adanya kemauan politik.

Bila opsi ini yang ditempuh maka cara yang efektif adalah melalui pasar modal. Baik melalui pencatatan di bursa domestik maupun di bursa negara lain. Namun demikian harus diingat bahwa listing di bursa hanya langkah awal dalam mereformasi bank BUMN. Tujuan akhir dari listing adalah menerapkan keseluruhan sistem pasar berupa insentif dan disinsentif pada bank BUMN. Dalam perspektif corporate governance, listing akan menimbulkan kewajiban transparansi dan memperkuat monitoring oleh masyarakat. Artinya listing akan menciptakan pengawasan publik dalam arti sebenarnya. Keuntungan lain dari go public adalah mencegah terjadinya tarik ulur dalam melakukan reformasi. [36]

Untuk mencapai hasil optimal tentu saja sebelum melakukan listing, kinerja bank harus diperbaiki dan neraca bank dibersihkan dari obligasi rekap, misalnya dengan melakukan buy back. Kepemilikan tersebar memiliki keunggulan tersendiri. Terpecahnya kepemilikan akan menjadikan pengurusan dilakukan oleh outsider, tanpa direcoki oleh “kepentingan” jangka pendek pemilik. Pengelolaan oleh outsider ini akan meningkatkan kinerja bank sehingga pajak yang diterima pemerintah meningkat.. Risiko bila pemerintah tetap mempertahankan diri menjadi PSP adalah bertanggungjawab secara finansial apabila bank mengalami kesulitan keuangan. Sesuai ketentuan, PSP bertanggung jawab penuh kalau bank mengalami kesulitan keuangan, terlepas dari kesulitan keuangan tersebut diakibatkan kesalahan PSP.

Melepaskan kepemilikan pemerintah pada bank BUMN tentunya menimbulkan pro-kontra. Di banyak negara terlebih lagi di negara berkembang issu kepemilikan pemerintah versus kepemilikan swasta atas perusahaan memang merupakan perdebatan hangat. Di negara berkembang hal disebabkan besarnya dominasi perusahaan milik pemerintah dalam kegiatan perekonomian sehingga pengalihan kepemilikan dari pemerintah kepada swasta merupakan masalah serius sehingga sering sarat dengan kepentingan politik. Issu yang tidak kalah pentingnya dalam melakukan privatisasi adalah munculnya masalah pemutusan hubungan kerja. Masalah ini muncul karena perusahaan milik pemerintah sering kali kelebihan karyawan. Kondisi ini dapat dilihat dari ratio antara asset dan karyawan. Dengan melakukan privatisasi pastilah sebagian dari karyawan tersebut akan mengalami pemutusan hubungan kerja dan memicu munculnya gejolak sosial.

Bukti empiris menunjukan bahwa perusahaan swasta seringkali beroperasi lebih efisien dibandingkan perusahaan negara. Di banyak negara terbukti bahwa kepemilikan swasta merupakan pilihan terbaik. Di sektor perbankan kepemilikan pemerintah menunjukan kaitan yang erat dengan lambannya perkembangan sektor keuangan serta pertumbuhan produktivitas yang rendah. Studi yang dilakukan setelah privatisasi menunjukan terjadinya peningkatan dalam portfolio pinjaman dan peningkatan efisiensi. Kenyataan yang sama juga terjadi pada privatisasi di negara berkembang, meski tidak diseluruh negara berkembang.

Secara konsep privatisasi dapat terjadi atas dasar kemauan politik (paksaan) maupun secara sukarela. Untuk mendorong terjadinya privatisasi secara sukarela dibutuhkan adanya serangkaian regulasi yang dapat meningkatkan biaya politik miliki perusahaan. Untuk itu, pengalaman Argentina melakukan privatisasi dapat dijadikan pelajaran. Pada awal tahun 1990an masing-masing provinsi di Argentina memiliki bank sendiri. Kondisi ini terjadi karena pemerintah daerah yakin bahwa bank sentral akan menjamin bahwa bank-bank milik pemerintah daerah tersebut tetap solven.

Kepercayaan ini menyebabkan munculnya masalah dalam penerapan corporate governance pada bank-bank tersebut karena rendahnya insentif bagi pemerintah daerah untuk mengawasi kinerja bank dan membiarkan politisi lokal menggunakan bank untuk kepentingan politik mereka dengan biaya murah. Keuntungan politik menonjol yang dinikmati oleh pemerintah daerah adalah mereka dapat membiayai operasinya dengan biaya murah. Disamping itu, pemerintah daerah juga menggunakan bank untuk mencari dukungan politik dengan imbalan pemberian kredit murah dan penyediaan lowongan jabatan. Menjadi direksi atau komisaris dan jabatan tinggi lainnya di bank. Dengan kondisi demikian tidaklah mengherankan apabila kinerja bank-bank milik pemerintah daerah tersebut menjadi buruk. Kondisi ini berakhir pada tahun 1991 dengan diberlakukannya convertibility law yang antara lain melarang bank sentral bertindak sebagai lender of last resort dalam hal terjadinya kebangkrutan bank. Larangan itu mengurangi keuntungan memiliki bank dan sekaligus meningkatkan risiko menjadi pemilik bank yang memiliki kinerja buruk. Kondisi ini yang pada gilirannya membuat para pemilik bank lebih mempertimbangkan untuk melakukan privatisasi.

Dalam kaitannya dengan SPP, pilihan manapun yang akan diambil, satu hal yang penting adalah pilihan itu harus bertujuan untuk menciptakan bank dan system perbankan yang sehat sehingga tidak menjadi beban keuangan pemerintah.



E. Penutup

Perusahaan adalah produk dan bagian dari suatu masyarakat. Oleh sebab itu, dalam memahami perusahaan melibatkan pandangan yang melihat perusahaan sebagai fenomena sosial. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan mempelajari landasan historis dan teoritis serta pembentukan perusahaan sebagai suatu konsep dari berfungsinya suatu perusahaan sebagai suatu entitas dinamis. Model- model perusahaan yang diadopsi oleh berbagai jurisdiksi dipengaruhi oleh teori tentang letak suatu perusahaan di masyarakat. Sebagai contoh, sulit untuk mendiskusikan apakah suatu perusahaan telah bertindak tidak bertanggung jawab ketika perusahaan tersebut menutup pabrik miliknya dan memberhentikan karyawan tanpa mempertimbangkan pandangan tentang peranan perusahaan dalam masyarakat.

Teori tentang keberadaan perusahaan diperlukan untuk memahami model pengurusan perusahaan yang tepat. Teori tersebut juga berpengaruh pada tingkat intervensi pemerintah yang dipandang perlu dalam menjalankan perusahaan. Terdapat tiga teori yang berkaitan dengan hal ini yaitu teori kontraktual, teori komuniter dan teori konsesi. Teori kontrak dan teori komuniter mewakili dua kutub ektrim berbeda karena merefleksikan perusahaan sebagai produk laissez-faire dan perusahaan sebagai alat pemerintah. Teori konsesi merupakan teori “jalan tengah.”[37]

Teori kontrak dapat dipahami dari dua pendekatan yaitu legal contractualism dan economic contractualism. Legal contractualism mengajarkan bahwa dua pihak atau lebih sepakat membuat kontrak untuk melakukan kegiatan usaha. Kesepakatan ini menjadi dasar berdirinya perusahaan. Teori kontrak mendudukan perusahaan dalam ranah hukum perdata dan menyatakan bahwa legitimasi kewenangan perusahaan berasal dari aktivitas kewirausahaan para anggota dan meminimalkan kewenangan negara dalam bentuk pengaturan. Economic contractualism mengajarkan bahwa perusahaan secara tradisional merupakan perkumpulan sukarela antara para pemegang saham dan bukan ciptaan negara. Individu lebih memiliki legitimasi melakukan kegiatan komersial dalam bentuk badan usaha dibandingkan dengan negara. Biaya transaksi dapat diturunkan dengan desain organisasi suatu perusahaan. Hukum perusahaan menciptakan serangkaian ketentuan mengikuti keinginan investor yang umumnya ditetapkan dalam konrak. Teori ini dilandaskan pada rasionalitas, efisiensi dan informasi. Ukuran efisiensi beragam. Menurut Pareto efisiensi mensyaratkan bahwa seseorang diuntungkan dan tidak ada orang lain yang dirugikan. Pelaku yang rasional adalah pelaku yang membuat pilihan rasional dengan menggunakan informasi lengkap dan sempurna yang dimilikinya. Pelaku rasional memanfaatkan informasi lengkap akan menghasilkan alokasi maksimal efisiensi dengan membuat pilihan yang mengeksploitasi kompetisi di pasar. Alokasi efisiensi tidak akan terjadi kecuali seluruh biaya yang timbul dalam transaksi dapat diserap. Dengan demikian bila suatu perusahaan melakukan polusi sebuah sungai yang mengakibatkan kerusakan bagi pengguna sungai tersebut tetapi tidak dikenakan denda maka barang yang diproduksi oleh perusahaan tersebut menjadi dibawah harga. Perilaku seperti ini menimbulkan masalah bagi pihak yang menerapkan regulasi meski secara minimal.

Menerapkan ekonomi pasar terhadap hukum perusahaan melibatkan pandangan yang melihat perusahaan bukan sebagai institusi yang bebas tetapi merupakan suatu jaringan dari tawar menawar diantara pihak-pihak yang terlibat yang seluruhnya bertindak rasional berdasarkan informasi lengkap. Kegunaan hukum perusahaan adalah untuk mencegah biaya tinggi dalam tawar menawar yang dilakukan individu dengan individu lainnya. Hukum perusahaan dengan demikian dapat menurunkan biaya transaksi. Pendekatan economic contractulism merupakan pendekatan ekstrim dari teori kontrak yang banyak mendapat kritik. Konsep kewajiban fiducia sebagai salah satu metode mengawasi pengambilan keputusan perusahaan di tolak oleh pendekatan economic contractualism sebagai campur tangan negara yang tidak dikehendaki.

Teori communitaire melihat status perusahaan tidak saja sebagai konsesi dari negara tetapi juga sebagai instrumen ciptaan negara yang dapat dimanfaatkan. Model perusahaan berdasarkan teori ini banyak diterapkan di bekas negara komunis dan fasis Italia. Standar untuk mengukur manfaat suatu perusahaan tidak didasarkan pada kemampuan memakmurkan individu tetapi kemampuan membantu masyarakat meningkatkan arti kehidupan bermasyarakat dengan jalan menghormati martabat seseorang dan mendorong kesejahteraan bersama. Ajaran ini menimbulkan dua konsekwensi. Pertama, perusahaan tidak memiliki indentitas komersial yang kuat karena merupakan alat politik dengan tujuan beragam. Walaupun tujuan yang beragam akan memberikan tanggung jawab sosial besar tetapi pada gilirannya dapat melepaskan fokus komersialnya. Negara menggunakan perusahaan untuk mencapai tujuannya.

Konsentrasi kepemilikan bank baik bank milik pemerintah (state-owned bank) maupun bank milik swasta telah menimbulkan permasalahan tersendiri dalam pengawasan. Oleh karena itu penerapan kebijakan SPP dalam kerangka konsolidasi perbankan perlu dilakukan untuk merestrukturisasi kepemilikan bank. Efektifitas pengawasan terkait erat dengan pola dan struktur kepemilikan bank. Pola dan struktur kepemilikan bank merupakan suatu yang sangat kritis dalam mencapai praktik perbankan yang sehat. Konsentrasi kepemilikan bank misalnya memungkinkan timbulnya campur tangan pemilik secara berlebihan dalam kepengurusan bank. Situasi ini mengakibatkan fungsi pengawasan internal sebagai first line of defenses menjadi kurang efektif menyebabkan pengawasan bank tergantung sepenuhnya kepada pengawas eksternal. Bahkan untuk pengawasan bisnis sehari-hari (day to day business).

Terjadinya cross-ownership yang pada gilirannya menimbulkan benturan kepentingan dan membuka kemungkinan terjadinya penyalahgunaan bank untuk mendukung kepentingan usaha pribadi pemegang saham maupun pengurus. Jalan keluar yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan adalah dengan mengefektifkan pengawasan internal. Pengawasan internal akan berjalan efektif apabila bank dimiliki oleh banyak pemegang saham. Tidak adanya pemegang saham mayoritas akan menciptakan pengurus bank dilakukan oleh para profesional berdasarkan kompetensi yang mereka miliki. Bukan atas dasar besarnya saham yang dimiliki. Tersebarnya kepemilikan juga akan menciptakan terjadinya pengawasan diantara para pemilik.





Pancoran, April 2008

ooooo







Daftar Pustaka

Goeltom, Miranda S. Indonesia’s Banking Industry: Progress to Date, The Banking System in Emerging Economies: How Much Progress Has Been Made, (Bank for Internasional Settlement: Agustus 2006)

Gup, Benton E. The New Basel Capital Accord, New York: Thomson Corporation, 2004

Lindgren, Carl-Johan , et.al, Bank Soundness and Macroeconomic Policy, (International Monetary Fund, 1996)

Widjaya, Gunawan, Transplantasi Trust dalam KUH Perdata dan Undang Undang Pasar Modal, (Jakarta: Rajawali Pers, 200

Chaikin, David A, “Penetrating Foreign Nominees: A Failure of Strategic Regulation?, Australian Journal of Corporate Law (2006)

A.G, Robert dan Nell Minow, Corporate Governance, Third Edition, (Malden: Blackwell Publishing, 2004)

Easterbrook, Frank H. dan Daniel R. Fischel, The Economic Structure of Corporate Law, (Cambridge: Harvard University Press, 1996)

Cheffins, Brian R. “Does Law Matter? The Separation of Ownership and Control in The United Kingdom”, Journal of Legal Studies, Vol. XXX (June 2001)

Reid, Terry dan Gordon Walker, “Upgrading Corporate Governance in East Asia: Part 2, Journal of International Banking Law, 2002

Pekmezovic, Alma, “Determinant of Corporate Ownership: The Question of Legal Origin: Part I”, International Company and Commercial Law Review (2007)

Dine, Janet, The Governance of Corporate Groups, (Cambridge: Cambridge University Press, 2006)

Milhaljek, Dubravko, “Privatisation, Consolidation and Increased Role of Foreign Banks”, The Banking System in Emerging Economies: How Much Progress Has Been Made, (Bank for Internasional Settlement: Agustus 2006)

Walter, Ingo, Mergers and Acquisitions in Banking and Finance What Works, What Fails, and Why, (New York: Oxford University Press, 2004)

United States v. Philadelphia National Bank, 374 U.S. 321, 363 (1963)

Anggraini, A.M. Tri, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat Perse Illegal atau Rule of Reason (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003)

Sirait, Ningrum Natasya, Asosiasi & Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003)

Xiaochuan, Zhou, “Some Issues concerning the Reform of the State-Owned Commercial Banks”, Speech by Zhou Xiochuan, Governor of the People’s Bank of China, at the Spring Membership Conference, Shanghai, 16 April 2004

Nugraha, Nugraha, Privatisation State Enterprises in the 20th Century a Step Forwards or Backwards, (Fakultas Hukum UI, 2004)

McConvill, James, “The Separation of Ownership and Control Under a Happines-Based Theory of the Corporation”, Company Lawyer





Foot notes

--------------------------------------------------------------------------------

[1]. Miranda S. Goeltom, “Indonesia’s Banking Industry: Progress to Date”, The Banking System in Emerging Economies: How Much Progress Has Been Made, (Bank for Internasional Settlement: Agustus 2006), hal.244

[2]. Benton E. Gup, The New Basel Capital Accord, (New York: Thomson Corporation, 2004), hal.187

[3]. Modal inti terdiri dari modal disetor dan cadangan tambahan modal

[4]. Bank Indonesia, Direktorat Penelitian dan Pengembangan Perbankan

[5]. The Bankers, edisi July 2007

[6]. PSP adalah badan hukum dan atau perorangan dan atau kelompok usaha yang: a) memiliki saham suatu bank sebesar 25% atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan bank dan mempunyai hak suara, atau dapar dibuktikan telah mengendalikan bank baik langsung maupun tidak langsung meskipun saham yang dimiliki kurang dari 25%

[7]. BHC adalah Perusahaan Induk di Bidang Perbankan berbentuk badan hukum yang dibentuk dan atau dimiliki oleh pemegang saham pengendali untuk menkonsolidasikan dan mengendalikan secara langsung seluruh aktivitas bank-bank yang merupakan anak usahanya

[8]. Pasal 26 huruf c UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No.3 Tahun 2004

[9]. Carl-Johan Lindgren, et.al, Bank Soundness and Macroeconomic Policy, (International Monetary Fund, 1996), hal.105

[10]. Ibid, hal.109

[11]. Gunawan Widjaya, Transplantasi Trust dalam KUH Perdata dan Undang Undang Pasar Modal, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), hal. 4

[12]. Ibid, hal 16

[13]. David A Chaikin, “Penetrating Foreign Nominees: A Failure of Strategic Regulation?, Australian Journal of Corporate Law (2006)

[14]. Ibid

[15]. Mengingat luasnya lingkup kajian tentang hal ini tentunya lebih tepat bila dilakukan dalam penelitian tersendiri.

[16]. Robert A.G. dan Nell Minow, Corporate Governance, Third Edition, (Malden: Blackwell Publishing, 2004), hal. 102

[17] Frank H. Easterbrook dan Daniel R. Fischel, The Economic Structure of Corporate Law, (Cambridge: Harvard University Press, 1996), hal.1

[18] Brian R. Cheffins, “Does Law Matter? The Separation of Ownership and Control in The United Kingdom”, Journal of Legal Studies, Vol. XXX (June 2001), hal. 462

[19] Terry Reid dan Gordon Walker, “Upgrading Corporate Governance in East Asia: Part 2, Journal of International Banking Law, 2002, hal.2

[20] Brian R. Cheffins, Op.cit, hal. 462

[21] Ibid, hal. 459.

[22]Ibid, hal. 470

[23]Ibid, hal. 474

[24] Alma Pekmezovic, “Determinant of Corporate Ownership: The Question of Legal Origin: Part I”, International Company and Commercial Law Review (2007), hal.97

[25]. Dubravko Mihaljek, “Privatisation, Consolidation and Increased Role of Foreign Banks”, The Banking System in Emerging Economies: How Much Progress Has Been Made, (Bank for Internasional Settlement: Agustus 2006), hal.47

[26]. Ingo Walter, Mergers and Acquisitions in Banking and Finance What Works, What Fails, and Why, (New York: Oxford University Press, 2004), hal.65

[27]. United States v. Philadelphia National Bank, 374 U.S. 321, 363 (1963)

[28]. A.M. Tri Anggraini, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat Perse Illegal atau Rule of Reason (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal.9

[29]. Ningrum Natasya Sirait, Asosiasi & Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003), hal 9

[30]. Dubravko Mihaljek, Op.cit, hal.49

[31]. Zhou Xiaochuan, “Some Issues concerning the Reform of the State-Owned Commercial Banks”, Speech by Zhou Xiochuan, Governor of the People’s Bank of China, at the Spring Membership Conference, Shanghai, 16 April 2004

[32]. Dubravko Mihaljek, Op.cit, hal.42

[33]. Meski pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.33 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah dan Mahkamah Agung menerbitkan fatwa yang pada intinya menyatakan bahwa piutang BUMN bukan piutang negara, bank BUMN masih enggan menerapkannya karena khawatir terhadap konsekwensi hukum yang ditimbulkan.

[34]. Safri Nugraha, Privatisation State Enterprises in the 20th Century a Step Forwards or Backwards, (Fakultas Hukum UI, 2004), hal. 15

[35]. James McConvill, “The Separation of Ownership and Control Under a Happines-Based Theory of the Corporation”, Company Lawyer 2005

[36]. Zhou Xiaochuan, Op.cit



[37] Janet Dine, The Governance of Corporate Groups, (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), hal. 3

(Thank's to Bpk. Dr Zulkarnain Sitompul)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar