Kamis, 12 Maret 2009

Penyedia Jasa Keuangan

Bank adalah lembaga kepercayaan masyarakat yang memiliki kedudukan dan peranan penting dalam sistem perekonomian suatu negara, sehingga bank sering disebut sebagai jantung dari sistem keuangan. Keberadaan aset bank dalam bentuk kepercayaan masyarakat perlu selalu dijaga mengingat kepercayaan masyarakat sangat dibutuhkan bank untuk meningkatkan efisiensi penggunaan dan fungsi bank serta mencegah terjadinya bank runs and panics. Oleh sebab itulah industri perbankan paling banyak diatur dan senantiasa diawasi secara ketat oleh Bank Indonesia.

Dalam upaya menuju sistem perbankan yang sehat dirasakan perlu untuk melakukan tindakan represif terhadap penyimpangan yang terjadi dalam industri perbankan, dan agar penyimpangan yang terjadi tidak terulang lagi di masa mendatang serta untuk menjamin ketaatan bank terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perbankan, maka Tim Investigasi Penyimpangan di Bidang Perbankan (TIPPER) dibentuk pada tanggal 31 Desember 1998, yang kemudian pada tanggal 31 Agustus 1999 melalui Peraturan Dewan Gubernur Bank Indonesia Nomor 1/3/PDG/1999 tentang Organisasi Sektor Perbankan (PDG Nomor 1/3/PDG/1999) TIPPER diubah menjad Unit Kerja Investigasi Perbankan (UKIP). Selanjutnya PDG Nomor 1/3/PDG/1999 ini dicabut dan disempurnakan dengan Peraturan Dewan Gubernur Bank Indonesia Nomor 3/1/PDG/2001 tanggal 27 April 2001 tentang Organisasi Sektor Perbankan.

Pembentukan UKIP di Bank Indonesia secara umum bertujuan untuk meningkatkan ketaatan bank terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perbankan dan mengungkap dengan jelas penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di bidang perbankan sehingga dapat ditemukan akar permasalahan yang ada dan tindakan represif dapat dilakukan dengan tepat. Di samping itu, keberadaan UKIP ini juga diharapkan dapat memberikan dampak preventif berupa announcement effect terhadap dunia perbankan, bahwa sejak saat ini penegakan hukum (law enforcement) telah dijalankan, termasuk aspek hukum pidana. Hal ini sejalan dengan tugas Bank Indonesia dalam membentuk dan membangun sistem perbankan yang sehat guna memenuhi tujuan Bank Indonesia dalam mencapai dan memelihara kestabilan nilai tukar rupiah.

Sistem perbankan yang sehat ini dapat dicapai apabila perbankan telah mematuhi peraturan perundang-undanngan yang berlaku dan didukung pula oleh tingginya kualitas sumber daya manusia yang mengelola industri perbankan itu sendiri.Untuk memenuhi harapan masyarakat terhadap penegakan hukum dalam penanganan penyimpangan di bidang perbankan, sejak dibentuknya UKIP pada tahun 1997 sampai dengan akhir bulan Januari 2003, Bank Indonesia telah menyerahkan 83 buah kasus penyimpangan perbankan kepada penegak hukum, 62 bank diantaranya diserahkan oleh UKIP, sedangkan 21 buah diserahkan oleh Direktorat Hukum Bank Indonesia.

Dalam perkembangannya kemudian, mengingat semakin canggihnya berbagai bentuk kejahatan yang mempunyai jaringan internasional dan menggunakan lembaga keuangan khususnya bank sebagai sasaran dan sarana misalnya white collar crime atau money laundering, maka industri perbankan dituntut harus lebih waspada. Karena itu bank di banyak negara sekarang diwajibkan memiliki dan menerapkan prinsip mengenali nasabah (Know Your Customer Principles) agar manajemen bank dan otoritas perbankan dapat mewaspadai transaksi-transaksi yang mencurigakan. Kegagalan bank dalam penerapan kebijakan Know Your Customer Principles (KYC) dimaksud dapat menimbulkan konsekuensi hukum baik sanksi perdata maupun sanksi pidana.

Fakta menunjukkan bahwa praktik pencucian uang paling dominan dilakukan dengan menggunakan sistem keuangan, terutama melalui industri perbankan karena lembaga keuangan inilah yang paling banyak menawarkan instrumen keuangan, sehingga industri perbankan merupakan channel yang paling menarik dan mudah digunakan oleh pencuci uang. Praktik pencucian uang menjadi semakin marak dengan adanya globalisasi perbankan, sehingga apabila dana-dana hasil kejahatan yang pada umumnya dalam jumlah besar itu ditransfer melalui sistem pembayaran elektronik (electronic funds transfer), maka dana-dana tersebut akan mengalir dengan cepat melampaui batas yurisdiksi negara. Sebagai konsekuensinya negara tentu saja sangat dirugikan dan aparat penegak hukum kita semakin sulit untuk dapat mengembalikannya kepada negara.

Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dibentuk untuk melaksanakan tugas-tugas khusus dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Di Indonesia, PPATK berfungsi sebagai Financial Intelligence Unit (FIU) dan sekaligus national focal point dalam upaya memerangi dan membasmi praktik pencucian uang. Namun sebelum PPATK beroperasi sepenuhnya, sebagian tugas dan kewenangan PPATK khususnya menyangkut Penyedia Jasa Keuangan (PJK) yang berbentuk bank dilaksanakan oleh Bank Indonesia sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 menetapkan, bahwa Bank Indonesia mempunyai tugas dan wewenang untuk mengatur dan mengawasi bank. Kewenangan Bank Indonesia ini juga diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. Kewenangan Bank Indonesia dalam mengatur dan mengawasi bank meliputi semua aspek kehati-hatian dan kepatuhan bank terhadap seluruh ketentuan yang berlaku bagi bank, termasuk penerapan Undang-undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU).

Penerapan ketentuan KYC dan UU TPPU secara efektif diperlukan baik dalam rangka kehati-hatian bank maupun dalam rangka mendukung upaya penanganan tindak pidana pencucian uang. Sedangkan peranan Bank Indonesia untuk pengawasan kepatuhan bank dalam menerapkan KYC juga memperoleh landasan hukum dalam UU TPPU karena penerapan KYC merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pencegahan dan pemberantasan pencucian uang secara menyeluruh. Dalam pada itu, mengingat sebagian besar transaksi keuangan di Indonesia masih didominasi oleh industri perbankan, maka efektifitas penerapan KYC oleh bank akan secara significan menentukan keberhasilan upaya penanganan tindak pidana pencucian uang di Indonesia.
Dan untuk lebih meningkatkan efektifitas pengawasan atas penerapan KYC dan UU TPPU di sektor perbankan guna mendukung implementasi rezim anti-pencucian uang di Indonesia, maka Bank Indonesia dan PPATK memiliki mekanisme kerjasama dan koordinasi yang selain berpedoman kepada undang-undang juga dituangkan dalam Nota Kesepahaman atau MoU tertanggal 20 Oktober 2003 mengenai kerjasama dalam pelaksanaan UU TPPU. Adapun ruang lingkup kerjasama berdasarkan MoU tersebut meliputi perumusan ketentuan, pengawasan termasuk pelaksanaan audit kepatuhan, tukar-menukar informasi dan penugasan pegawai Bank Indonesia pada PPATK.

Tidak dapat dipungkiri realitas bahwa inisiatif pembangunan rezim anti pencucian uang di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari masuknya Indonesia ke dalam daftar Non Cooperative Countries and Territories (NCCTs) oleh FATF (Financial Action Task Force on money laundering). Dimasukkannya Indonesia ke dalam daftar NCCTs oleh FATF pada bulan Juni 2001 membuat pemerintah Indonesia segera mengambil berbagai langkah dan upaya dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.
Langkah dan upaya tersebut meliputi aspek penguatan kerangka hukum, penguatan pengawasan di sektor keuangan, operasionalisasi PPATK, penguatan kerjasama antar lembaga dan penguatan penegakan hukum. Upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk keluar dari NCCTs merupakan upaya berkelanjutan yang tidak kunjung henti sejak tahun 2001. Hal ini semakin diperberat dengan adanya berbagai rekomendasi dan permintaan dari FATF yang muncul sebagai hasil dari setiap sidang pleno. Upaya yang dilakukan selama kurun waktu empat tahun, yaitu dari tahun 2001 hingga tahun 2005, bukanlah waktu yang singkat untuk sebuah perjuangan. Kerjasama dan koordinasi yang baik diantara instansi terkait dan setiap unsur yang terlibat di dalam pembangunan rezim anti pencucian uang ini turut memberikan andil yang besar di balik keberhasilan keluarnya Indonesia dari daftar NCCTs.

Dikeluarkannya Indonesia dari daftar NCCTs oleh FATF pada bulan Februari 2005 yang lalu bukanlah akhir dari sebuah kerja keras dan perjalanan panjang, tetapi justru merupakan awal bagi sebuah perjalanan baru menuju ke arah perkembangan yang lebih baik. Adanya kerjasama yang sangat baik diantara instansi pemerintah dan lembaga-lembaga negara terkait serta dukungan penuh dari seluruh komponen masyarakat sangat diperlukan guna mewujudkan rezim anti pencucian yang kokoh dan efektif di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar