Sejak 13 Oktober 2008, pemerintah menaikan besarnya nilai simpanan yang dijamin Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menjadi maksimal Rp2 milyar per nasabah di satu bank. Naik dari sebelumnya Rp100 juta. Alasan kenaikan tersebut adalah untuk mengatasi ancaman krisis keuangan global yang dinilai pemerintah berpotensi mengakibatkan merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dan membahayakan stabilitas sistem keuangan. Simpanan yang dijamin oleh LPS adalah simpanan yang tercatat dalam pembukuan bank dengan tingkat bunga bagi bank umum maksimal 7%/pa untuk simpanan rupiah dan 2.75%/pa untuk simpanan dalam valuta asing. Sedangkan simpanan di BPR, maksimal suku bunga adalah 10.25%/pa. Syarat lain yang tidak kalah pentingnya adalah nasabah penyimpan tidak melakukan tindakan yang merugikan bank, misalnya memiliki kredit macet di bank tersebut.
Menghadapi krisis keuanganglobal 2008, pemerintah menerbitkan tiga Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang mengatur sektor keuangan. Pertama, Perpu No. 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Kedua, Perpu No. 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Ketiga, Perpu No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan.
Perpu No. 3 Tahun 2008 tentang LPS, menetapkan perubahan persyaratan untuk menaikan jumlah maksimal simpanan yang dijamin oleh LPS. Pada awal berdirinya LPS pada tahun 2004, besar simpanan nasabah penyimpan yang dijamin oleh LPS adalah Rp100 juta. Besarnya nilai simpanan tersebut menurut Undang-Undang No.24 Tahun 2004 tentang LPS, hanya dapat dinaikan apabila terjadi atau dipenuhi salah satu atau lebih kriteria berikut:
a) terjadi penarikan dana perbankan dalam jumlah besar secara bersamaan.
b) terjadi inflasi yang cukup besar dalam beberapa tahun; atau
c) jumlah nasabah yang dijamin seluruh simpanannya menjadi kurang dari 90% dari jumlah nasabah penyimpan seluruh bank.
Ketiga kriteria di atas dinilai belum cukup untuk mencegah terjadinya krisis. Perpu No.3 Tahun 2008 menambah satu persyaratan untuk dijadikan dasar bagi pemerintah untuk mengubah besar nilai simpanan yang dijamin LPS. Kriteria tersebut adalah terjadi ancaman krisis yang berpotensi mengakibatkan merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dan membahayakan stabilitas sistem keuangan. Berdasarkan Perpu tersebut, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No.66 Tahun 2008 tentang Besarnya Nilai Simpanan yang Dijamin LPS yang menetapkan nilai simpanan yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu bank adalah paling banyak sebesar Rp 2 milyar. Perpu No.3 Tahun 2008 tersebut kemudian disetujui DPR menjadi UU No.7 Tahun 2009.
Pertanyaannya adalah berapa lama masa berlaku kebijakan yang diambil berdasarkan Perpu/UU, dalam konteks ini PP No.66 Tahun 2008. Dalam kalimat lain, apakah besarnya nilai simpanan yang dijamin LPS perlu diturunkan kembali.
Undang-Undang No.7 Tahun 2009 menetapkan bahwa dalam hal penarikan dana perbankan dalam jumlah besar secara bersamaan dan ancaman krisis yang berpotensi mengakibatkan merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dan membahayakan stabilitas sistem keuangan sudah dapat diatasi maka besaran nilai simpanan yang dijamin dapat disesuaikan kembali. Penyesuaian besarnya nilai simpanan yang dijamin LPS dilakukan oleh pemerintah dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah dan melaporkannya kepada DPR.
Berdasarkan ketentuan undang-undang tersebut, pemerintah sudah saatnya menurunkan kembali besarnya nilai simpanan yang dijamin LPS. Alasannya, pertama, tidak terjadi rush pada industri perbankan. Kedua, tidak ada ancaman krisis yang berpotensi mengakibatkan merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dan membahayakan stabilitas keuangan. Indikasi tidak adanya ancaman krisis antara lain: i) per akhir November 2010 IHSG melonjak 39% dibandingkan awal tahun; ii) terkendalinya rupiah dan kelebihan likuiditas memungkinkan BI sejak Desember 2008 sampai dengan Januari 2011 BI rate mempertahankan BI rate tetap 6.5%; iii) laju pertumbuhan tahunan kredit per Oktober 2010 mencapai 21.5%; iv) derasnya arus masuk modal asing yang tercermin dari posisi kepemilikan asing di surat utang negara yang mencapai Rp191,2 triliun per 30 November 2010. Melonjak dari Rp108 triliun akhir Desember 2009 (sumber: catatan akhir tahun 2010 PT. Bahana TCW Investment Management).
Alasan lain yang tidak kalah pentingnya adalah alasan dasar pendirian LPS. Alasan dasar (rationale) bagi pemerintah memfasilitasi pendirian lembaga penjamin simpanan adalah untuk melindungi nasabah kecil. Perlindungan nasabah kecil dari bankir yang tidak bertanggungjawab adalah suatu pendekatan yang cukup adil dan tepat. Nasabah penyimpan kecil tidak mampu melindungi dirinya sendiri dan atau terlalu mahal bagi nasabah penyimpan kecil untuk melindungi dirinya sendiri sehingga kewajiban melindungi diri sendiri tersebut diambil alih oleh pemerintah. Nasabah besar dinilai mampu untuk melindungi kekayaannya. Oleh karena itu, bagi nasabah besar, melindungi diri sendiri adalah suatu kewajiban hukum. Berhati-hati dalam melakukan investasi khususnya menyimpan dana di bank merupakan kewajiban hukum khususnya bagi nasabah penyimpan besar. Azas hukum mengajarkan, kerugian yang diderita seseorang akibat kelalaiannya tidak menimbulkan kewajiban membayar ganti rugi bagi pihak lain.
Alasan dasar pendirian LPS penting diperhatikan, karena menjamin dana nasabah penyimpan dapat memicu moral hazard dan melemahkan market discipline. Moral hazard dapat terjadi ketika salah satu pihak memiliki informasi yang lebih lengkap dalam keputusannya sehingga cenderung untuk melakukan tindakan yang kurang tepat ditinjau dari pihak lain yang memiliki informasi kurang lengkap. Moral hazard membuat rentannya kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan. Disiplin pasar dibutuhkan karena pasar memberikan peringatan dini yang sangat baik tentang adanya bank bermasalah. Dan yang paling penting, meninjau kembali besarnya nilai simpanan yang dijamin LPS adalah perintah undang-undang.**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar