Oleh : Dr. Zulkarnain Sitompul, s.h., ll.m.
“One must beware of ministers who can do nothing without money, and those who want to do everything with money.” (Indira Gandhi)
A. Pendahuluan
Thomas Stanford Raffles dalam bukunya History of Java pernah menuliskan tentang fenomena bangsawan Jawa yang gemar menumpuk harta, dan memelihara abdi dalem yang pada umumnya lebih suka mencari muka majikannya dan berperilaku oportunis. Dalam kalangan elit kerajaan, raja dan lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-sumber ekonomi di masyarakat. Rakyat umumnya “dibiarkan” miskin, tertindas, tunduk dan harus menuruti apa kata, kemauan atau kehendak “penguasa”. Budaya yang sangat tertutup dan penuh “keculasan” itu turut menyuburkan “budaya korupsi” di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga melakukan “korup” dalam mengambil “upeti” dari rakyat yang akan diserahkan kepada Demang, selanjutnya oleh Demang akan diserahkan kepada Turnenggung. Abdi dalem di Katemenggungan juga mengkorup (walaupun sedikit) harta yang akan diserahkan kepada Raja atau Sultan.
Tulisan Raffles di atas menggambarkan bahwa fenomena korupsi telah ada (kalau tidak dapat dikatakan marak) di Indonesia jauh-jauh hari sebelum masa penjajahan. Sampai hari ini kita masih dapat menyaksikan berbagai praktek korupsi dalam berbagai modifikasi bentuk.
Perilaku korupsi dapat terjadi akibat semakin mendesaknya kebutuhan akan pembangunan yang diinginkan, sementara proses birokrasi relatif lambat, sehingga sebagian orang memilih untuk mengambil jalan pintas yang cepat seperti memberikan imbalan-imbalan kepada pejabat tertentu sebagai “uang pelicin” untuk memuluskan keinginannya.
Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan kedalam 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan sanksi pidana. Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Suap-menyuap
2. Penggelapan dalam jabatan
3. Pemerasan
4. Perbuatan curang
5. Benturan kepentingan dalam pengadaan
5. Gratifikasi
Tindak pidana korupsi sangat erat kaitannya dengan perbankan sebagai pusat perputaran keuangan. Dari sisi regulasi perbankan sendiri telah ditetapkan rambu-rambu terkait tindak pidana perbankan. Pengaturan mengenai ketentuan pidana dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 (UU Perbankan) tidak secara tegas menyebutkan jenis-jenis tindak pidana di bidang perbankan. Ketentuan Pasal 46 sampai dengan Pasal 50 A UU Perbankan secara garis besar mengelompokkan jenis-jenis tindak pidana di bidang perbankan sebagai berikut:
1. Tindak pidana berkaitan dengan perizinan (Pasal 46);
Pasal ini mengatur mengenai ancaman terhadap pihak yang melakukan penghimpunan dana masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin Pimpinan Bank Indonesia. Keharusan adanya izin Pimpinan Bank Indonesia bagi kegiatan penghimpunan dana masyarakat tersebut erat kaitannya dengan masalah pengawasan kegiatan tersebut oleh Bank Indonesia. Latar belakang ketentuan dimaksud adalah bahwa kegiatan menghimpun dana masyarakat oleh siapapun pada dasarnya perlu diawasi, mengingat dalam kegiatan itu terkait kepentingan masyarakat yang dananya disimpan pada pihak yang menghimpun dana tersebut.
2. Tindak pidana berkaitan dengan ketentuan rahasia bank (Pasal 47 dan 47A);
Ancaman pidana terhadap pelanggaran ketentuan rahasia bank dapat dikenakan, baik terhadap pihak yang memaksa untuk memperoleh keterangan yang wajib dirahasiakan maupun pihak yang memberikan keterangan dimaksud. Tujuan dari ketentuan tersebut di atas adalah agar terbentuk ketaatan terhadap ketentuan rahasia bank. Kewajiban menjaga rahasia bank diperlukan untuk kepentingan bank sendiri yang memerlukan kepercayaan masyarakat yang menyimpan dananya bank. Masyarakat hanya akan mempercayakan uangnya pada bank atau memanfaatkan jasa bank apabila ada jaminan bahwa pengetahuan bank tentang simpanan dan keadaan keuangan nasabah tidak akan disalahgunakan.
Namun demikian ketentuan rahasia bank tersebut memang bersifat dilematis, mengingat di satu pihak rahasia bank diperlukan untuk menjaga kepercayaan masyarakat untuk menjamin kelangsungan usaha bank, namun di lain pihak dapat digunakan sebagai tameng oleh pihak-pihak tertentu yang beritikad tidak baik, misalnya memanfaatkan rekening untuk menampung dana ilegal di mana pada saat rekening yang bersangkutan akan diperiksa, pemilik rekening dimaksud akan keberatan dengan dalih adanya ketentuan rahasia bank.
3. Tindak pidana berkaitan dengan pengawasan bank oleh BI (Pasal 48);
Dalam rangka pembinaan dan pengawasan bank oleh Bank Indonesia, bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia segala keterangan dan penjelasan mengenai usahanya, memberikan kesempatan bagi pemeriksaan buku-buku dan berkas-berkas yang ada pada bank serta menyampaikan laporan-laporan dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pelanggaran atas kewajiban tersebut diancam dengan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 48.
4. Tindak pidana berkaitan dengan kegiatan usaha bank (Pasal 49);
Bank dapat melakukan berbagai kegiatan usaha yang meliputi penghimpunan dana, penyaluran dana dan kegiatan lain seperti menerbitkan surat pengakuan hutang; membeli, menjual atau menjamin surat-surat berharga; memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun nasabahnya; dan sebagainya. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) di atas, dapat dilakukan dalam seluruh kegiatan usaha bank, baik dalam rangka penghimpunan dana, penyaluran dana, maupun dalam kegiatan usaha bank lainnya (bersifat umum). Sedangkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, khusus ditujukan bagi tindak pidana yang berkaitan dengan kegiatan usaha bank berupa penyaluran dana.
5. Tindak pidana berkaitan dengan pihak terafiliasi (Pasal 50);
Pihak terafiliasi menurut ketentuan Pasal 1 angka 22 terdiri atas :
~ Anggota dewan komisaris, pengawas, direksi atau kuasanya, pejabat, atau karyawan bank;
~ Anggota pengurus, pengawas, pengelola atau kuasanya, pejabat, atau karyawan bank, khusus bagi bank yang berbentuk hukum koperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
~ Pihak yang memberikan jasanya kepada bank, antara lain akuntan publik, penilai, konsultan hukum dan konsultan lainnya;
~ Pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta mempengaruhi pengelolaan Bank, antara lain pemegang saham dan keluarganya, keluarga komisaris, keluarga pengawas, keluarga direksi, keluarga pengurus;
Aturan mengenai ancaman hukuman pidana bagi pihak terafiliasi tersebut di atas ditetapkan terhadap pihak terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam UU Perbankan dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank.
6. Tindak pidana berkaitan dengan pemegang saham bank (Pasal 50A).
Pasal 50A merupakan penambahan pasal baru pada saat dilakukannya amandemen UU Perbankan tahun 1998, yang pada dasarnya mengatur ancaman pidana bagi pemegang saham bank yang dengan sengaja menyuruh Dewan Komisaris, Direksi atau pegawai Bank untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan bank tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank terhadap ketentuan dalam UU Perbankan dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi Bank.
B. Tindak Pidana Korupsi di Sektor Perbankan
Perbankan mempunyai peranan yang sangat strategis dalam mendorong perekonomian nasional karena bank mempunyai fungsi yang penting yaitu sebagai lembaga intermediasi antara masyarakat yang membutuhkan dana dan masyarakat yang memiliki kelebihan dana. Sejalan dengan semakin strategisnya peran perbankan dalam mendorong perekonomian nasional, bank semakin mengembangkan usahanya dalam menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat melalui penghimpunan simpanan dan pemberian kredit.
Dengan semakin berkembangnya kegiatan usaha bank, maka setiap bank dituntut untuk mampu bersaing dalam menghimpun dana masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyarakat. Berbagai jasa perbankan dan produk perbankan dikeluarkan guna menarik nasabah sebanyak mungkin. Bahkan masing-masing bank juga bersaing dalam memberikan tingkat bunga simpanan yang cukup tinggi dan insentif lainnya bagi nasabah penyimpan dana, baik berupa hadiah, kemudahan serta penggunaan teknologi canggih untuk menunjang berbagai kegiatan tersebut.
Sejalan dengan perkembangan tersebut, maka risiko terjadinya tindak pidana pada bank juga cenderung semakin meningkat sehingga merupakan ancaman bagi sistem perbankan itu sendiri dan dapat berpengaruh terhadap perkembangan perekonomian nasional. Dalam beberapa kasus, bank dijadikan sebagai obyek atau sarana tindak pidana korupsi, termasuk digunakan sebagai sarana untuk melakukan transaksi yang terkait tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsi di perbankan dapat dilakukan oleh pengurus bank, pegawai bank, pemilik/pemegang saham bank, nasabah bank, atau pihak terafiliasi, baik dilakukan secara sendiri-sendiri maupun bekerja sama dengan kelompoknya.
Beberapa aktivitas bank (banking business) yang menjadi titik rawan terjadinya tindak pidana korupsi antara lain:
1) Pendanaan (funding);
2) Pemberian kredit atau pembiayaan (lending);
3) Penempatan dana bank; dan
4) Pengadaan barang atau jasa.
1. Pendanaan/funding
Salah satu kasus tindak pidana korupsi yang mencuat terkait dengan aktivitas pendanaan/funding adalah kasus penempatan dana APBD pada BPR yang terjadi di Lampung. Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) No. 29 Tahun 2002, Kepala Daerah memegang kekuasaan atas pengelolaan APBD. Kepmendagri tersebut memperbolehkan Bendahara Umum Daerah menyimpan uang milik Daerah pada Bank yang sehat dengan cara membuka Rekening Kas Daerah yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala Daerah dan diberitahukan kepada DPRD. Dalam kasus di Lampung tersebut, Ketua DPRD setempat mengaku tidak pernah ada pemberitahuan dari Bupati mengenai penempatan dana APBD di BPR.
Modus tindak pidana korupsi yang umum terjadi pada aktivitas pendanaan yaitu pemberian imbalan/fee kepada pejabat daerah (yang memegang kewenangan pengelolaan keuangan daerah) agar menempatkan dana milik daerah dimaksud di bank yang bersangkutan. Praktek pemberian imbal jasa/fee kepada deposan tertentu (seperti nasabah prioritas) merupakan hal yang lazim sebagai salah satu cara promosi untuk menarik nasabah-nasabah besar. Praktek tersebut pada prinsipnya tidak melanggar hukum apabila imbal jasa tersebut diberikan kepada individu deposan yang menempatkan dana miliknya sendiri. Namun, perbuatan tersebut dapat menjadi perbuatan melanggar hukum atau bahkan menjadi perbuatan pidana (korupsi) manakala fee tersebut diberikan kepada individu pejabat negara (ataupun pejabat daerah) dengan janji untuk menempatkan dana milik negara/daerah yang bersangkutan di bank tersebut.
2. Pemberian kredit atau pembiayaan (lending)
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga (vide Pasal 1 angka 11 UU Perbankan).
Dalam hubungannya dengan kredit, seringkali terjadi salah persepsi di masyarakat (bahkan di kalangan penegak hukum) bahwa setiap kredit macet merupakan tindak pidana. Perlu diluruskan bahwa kredit macet bukan merupakan tindak pidana. Kredit macet merupakan risiko bisnis yang mungkin terjadi pada setiap pencairan kredit. Namun demikian kredit macet dapat (dan seringkali) terjadi karena terdapat penyimpangan pada saat pencairannya.
Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada kegiatan ini antara lain pemberian kredit kepada nasabah yang tidak disertai dengan pengikatan jaminan yang memadai, pemberian fasilitas kredit kepada nasabah dengan jaminan fiktif, pemberian fasilitas kredit kepada keluarga pejabat bank dengan jaminan pejabat bank yang bersangkutan (personal guarantee), pemberian fasilitas overdraft kepada nasabah bermasalah tanpa melalui analisa dan pertimbangan yang matang, pemberian kredit untuk menutupi kekurangan pembayaran untuk spekulasi jual beli valas yang nilainya melebihi margin deposit nasabah, penghindaran pelanggaran BMPK dengan merekayasa pencairan kredit fiktif untuk kepentingan group terkait bank, serta penerimaan cicilan pinjaman yang telah dihapus buku tidak disetorkan pada bank namun digunakan untuk kepentingan pribadi petugas bank. Penyimpangan-penyimpangan inilah yang merupakan perbuatan melanggar hukum, adapun kredit macet merupakan efek dari terjadinya perbuatan melanggar hukum tersebut.
3. Penempatan dana bank
Penempatan dana bank meliputi penempatan dana pada bank lain di dalam negeri dan di luar negeri dalam bentuk interbank call money, deposito berjangka, dan lain-lain yang sejenis dengan tujuan untuk memperoleh penghasilan, termasuk dalam bentuk wesel, surat pengakuan hutang, saham, obligasi dan sekuritas kredit.
Penyimpangan – penyimpangan yang terjadi pada kegiatan ini antara lain penempatan dana pada bank di luar negeri yang mempunyai hubungan istimewa dengan bank, yang pada saat jatuh tempo dana tersebut sengaja tidak dapat dicairkan sehingga merugikan bank; penempatan dana pada bank lain dengan tingkat bunga yang lebih tinggi dari tingkat bunga yang dicantumkan pada dokumen dan selisih bunga ditransfer ke rekening pejabat bank; peminjaman uang antar bank dengan suku bunga melebihi suku bunga penjaminan pemerintah, yang selanjutnya direkayasa menjadi deposito atas nama salah satu direktur bank kreditor.
4. Pengadaan barang atau jasa
Korupsi pada kegiatan pengadaan barang atau jasa (procurement) tidak hanya terjadi pada sektor perbankan, namun juga banyak terjadi pada sektor lain. KPK pada akhir tahun 2009 menyatakan bahwa kasus korupsi pada proses pengadaan barang atau jasa merupakan kasus yang terbanyak ditangani oleh KPK.
Berdasarkan Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, terdapat 15 (lima belas) tahapan yang harus dilalui dalam proses pengadaan barang dan jasa. Meski demikian, pada kelima belas tahapan tersebut masing-masing rawan terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dapat berujung pada tindak pidana korupsi, misalnya pada tahap pertama yaitu perencanaan pengadaan, penyimpangan yang dapat terjadi pada tahap ini antara lain penggelembungan anggaran dan rencana pengadaan yang diarahkan. Sampai tahap terakhir (penyerahan barang/jasa), penyimpangan yang dapat terjadi antara lain spesifikasi barang yang tidak sesuai, mutu/kualitas lebih rendah dari spesifikasi teknis.
C. Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi pada Bank
Upaya pencegahan perlu dilakukan oleh seluruh pihak yang terlibat dalam aktivitas bank, yaitu pihak internal (pemilik, pengurus, manajemen dan pegawai) maupun pihak eksternal (debitor, deposan, counterparties termasuk perusahaan penyedia barang/jasa, dan pengawas). Dari sisi regulasi, Bank Indonesia telah mengatur tentang penggolongan nasabah tertentu sebagai Politically Exposed Person (PEP), yaitu orang yang mendapatkan kepercayaan untuk memiliki kewenangan publik diantaranya adalah Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Penyelenggara Negara, dan/atau orang yang tercatat sebagai anggota partai politik yang memiliki pengaruh terhadap kebijakan dan operasional partai politik, baik yang berkewarganegaraan Indonesia maupun yang berkewarganegaraan asing (vide Pasal 1 angka 15 Peraturan Bank Indonesia No. 11/28/2009 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Umum).
Meski Peraturan Bank Indonesia tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Umum (PBI APU PPT) tersebut prinsipnya mengatur tentang peran bank dalam upaya penanganan tindak pidana pencucian uang dan terorisme, namun tindak pidana pencucian uang memiliki keterkaitan yang sangat erat dan tidak dapat dilepaskan dari tindak pidana korupsi. Hal tersebut dapat dilihat pula pada ketentuan UU No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 tahun 2003 yang menempatkan tindak pidana korupsi pada urutan pertama predicate crime dari tindak pidana pencucian uang.
Sesuai ketentuan dalam Pbi apu ppt, Bank wajib meneliti adanya nasabah-nasabah yang memenuhi kriteria sebagai PEP, dan memasukkan nasabah-nasabah PEP tersebut ke dalam daftar tersendiri. Selanjutnya Bank wajib melakukan Enhancement Due Dilligent secara berkala yang paling kurang berupa analisis terhadap informasi mengenai nasabah, sumber dana, tujuan transaksi, dan hubungan usaha dengan pihak-pihak yang terkait; dan pemantauan yang lebih ketat terhadap nasabah tersebut.
Dari sisi praktis, upaya-upaya pencegahan yang perlu dilakukan oleh masing-masing pihak antara lain sebagai berikut:
1. Pihak internal bank:
a. Dalam proses pemberian kredit senantiasa mengikuti prosedur dan ketentuan (SOP) yang berlaku, untuk melakukan penilaian yang seksama atas kemampuan debitur yang lazim menggunakan ukuran 5’Cs yaitu Watak (Character), Kemampuan (Capacity), Modal (Capital), Agunan (Collateral) dan Prospek usaha (Condition of economy), sehingga bank dapat mengetahui bahwa usaha proyek yang dibiayainya layak (feasible) dan bankable.
b. Bank harus menyusun mekanisme internal check antar bagian yang terlibat dalam pemberian kredit.
c. File pemberian kredit harus direview secara berkala untuk memastikan terpenuhinya kelengkapan dokumentasi kredit dan aspek legal.
d. Satuan Kerja Audit Internal harus melakukan pemeriksaan atas pemberian kredit secara periodik.
e. Dalam melakukan penempatan dana bank harus memperhatikan bonafiditas dan nama baik counterparty dengan cara melakukan bank checking kepada otoritas moneter; Penempatan dana dalam valuta asing harus dilindungi dengan fasilitas lindung nilai (hedging); Divisi Treasury perlu melakukan pemantauan kolekstibilitas penempatan dananya secara periodik.
f. Pinjaman uang antar bank harus memperhatikan kemampuan likuiditasnya dan besarnya modal inti; Divisi Treasury harus mencadangkan kewajiban pembayaran kembali pinjaman dari Pasar Uang Antar Bank (PUAB).
g. Memantau rekening pribadi pejabat bank secara periodik.
2. Pihak eksternal bank:
a. `Nasabah bank harus senantiasa memperhatikan prinsip-prinsip kode etik yang ada; dan tidak melakukan manipulasi terhadap data-data yang diberikan kepada bank.
b. Perusahaan penyedia barang/jasa dalam berhubungan dengan bank harus memastikan bahwa seluruh prosedur telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan SOP yang berlaku di bank yang bersangkutan.
c. Jika menemukan indikasi pelanggaran atau korupsi oleh pejabat bank harus melaporkan kepada pejabat atasannya atau otoritas pengawas bank.
D. `Kendala Penanganan Tindak Pidana Korupsi di Sektor Perbankan
Salah satu kendala yang dihadapi dalam penanganan tindak pidana korupsi di sektor perbankan yaitu adanya kasus-kasus yang berada di wilayah abu-abu, dimana di satu
sisi merupakan tindak pidana perbankan namun di sisi yang lain merupakan tindak pidana korupsi.
sisi merupakan tindak pidana perbankan namun di sisi yang lain merupakan tindak pidana korupsi.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah tipisnya pembatasan antara hukum privat dengan hukum publik dalam langkah penyelamatan kredit yang dilakukan bank. Seringkali bank dihadapkan pada debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya kepada bank. Terkait hal ini, bank biasanya melakukan tindakan restrukturisasi kredit terhadap debitur-debitur yang dinilai masih memiliki prospek untuk memenuhi kewajibannya. Sedangkan bagi debitur-debitur macet yang sudah tidak mempunyai prospek, maka dalam rangka membersihkan aset bank (cleaning asset) dari aset bermasalah (bad asset), bank dapat melakukan upaya hapus buku dan hapus tagih. Dengan demikian maka upaya restrukturisasi kredit dan hapus buku/hapus tagih tersebut adalah hal yang wajar dan normal bagi sebuah bank, dan merupakan bagian dari pengelolaan asetnya. Namun disadari bahwa kebijakan restrukturisasi kredit maupun hapus buku dan hapus tagih dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengeruk keuntungan pribadi.
Sebagaimana kita maklumi bahwa pondasi bisnis perbankan adalah kepercayaan. Masyarakat penyimpan dana percaya bahwa bank memiliki kemampuan untuk mengelola dananya secara aman. Adanya issue tindak pidana korupsi yang terjadi di bank dapat membawa risiko menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap bank yang bersangkutan dan mungkin terhadap lembaga perbankan secara keseluruhan. Oleh karena itu penanganan tindak pidana korupsi di sektor perbankan perlu dilakukan dengan lebih hati-hati untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan.
Secara umum, hambatan-hambatan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi menurut hasil Rapat Koordinasi Pengawasan Tingkat Nasional di Bali pada bulan Desember 2002 dikelompokkan menjadi:
a. Hambatan Struktural, yaitu hambatan yang bersumber dari praktik-praktik penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang membuat penanganan tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana mestinya, diantaranya meliputi: belum berfungsinya fungsi pengawasan secara efektif serta lemahnya sistem pengendalian intern yang memiliki korelasi positip dengan berbagai penyimpangan dan inefesiensi dalam pengelolaan kekayaan negara dan rendahnya kualitas pelayanan publik.
b. Hambatan Kultural, yaitu hambatan yang bersumber dari kebiasaan negatif yang berkembang di masyarakat, antara lain meliputi: masih adanya ”sikap sungkan” dan toleran diantara aparatur pemerintah yang dapat menghambat penanganan tindak pidana korupsi; serta sikap permisif (masa bodoh) sebagian besar birokrasi dan masyarakat terhadap upaya pemberantasan korupsi.
c. Hambatan Instrumental, yaitu hambatan yang bersumber dari kurangnya instrumen pendukung dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang membuat penanganan tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana mestinya, antara lain belum adanya sanksi yang tegas bagi aparat pengawasan dan aparat penegak hukum.
d. Hambatan Manajemen, yaitu hambatan yang bersumber dari diabaikannya atau tidak diterapkannya prinsip-prinsip manajemen yang baik (komitmen yang tinggi dilaksanakan secara adil, transparan dan akuntabel) yang membuat penanganan tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana mestinya, antara lain meliputi: kurang komitmennya manajemen (Pemerintah) dalam menindaklanjuti hasil pengawasan; kurangnya dukungan teknologi informasi dalam penyelenggaraan pemerintahan; kurang profesionalnya sebagian besar aparat pengawasan; kurang adanya dukungan sistem dan prosedur pengawasan dalam penanganan korupsi, serta tidak memadainya sistem kepegawaian diantaranya sistem rekrutmen, rendahnya ”gaji formal” PNS, penilaian kinerja dan reward and punishment.
E. Penutup
Korupsi yang terjadi pada saat ini telah sedemikian rupa menyentuh hampir setiap sektor sehingga sampai menimbulkan adanya istilah “budaya korupsi”. Membudayanya korupsi dalam kehidupan sehari-hari mengakibatkan semakin sulit untuk melakukan pemberantasan korupsi sampai tuntas dalam sekali waktu. Pemberantasan korupsi dapat dilakukan dengan mengikis secara berangsur-angsur secara konsisten dalam jangka panjang sehingga korupsi dapat ditekan sampai tingkat yang serendah-rendahnya.**
Jakarta, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar