Selasa, 08 Maret 2011

Apakah Hukum Merupakan Sistem Aturan? (resume)

Oleh R. M. Dworkin
I.   Positivisme
  1. Beberapa kunci pemikiran (kerangka) ahli hukum positivisme:
1)     Hukum adalah peraturan yang digunakan masyararakat secara langsung maupun tidak langsung, untuk menentukan perilaku mana yang harus dihukum atau dilarang oleh kekuatan publik.
2)     Jika suatu kasus tidak dapat diselesaikan karena suatu peraturan, maka hakim berfungsi untuk mencari hukum dengan mengembangkan kebijaksanaannya, yang artinya menjangkau di luar hukum dengan sejumlah standar sebagai penuntunnya dalam membuat aturan legal yang baru.
3)     Seseorang memiliki kewajiban legal berarti bahwa ia berada dibawah aturan legal yang valid yang mendorongnya bertindak atau menahan diri dari melakukan sesuatu.
  1. Kaum positivis sepakat dengan ketiga kunci pemikiran tersebut, tetapi berbeda dalam hal deskripsi mengenai pengentasan fundamental terhadap asal-usul aturan mana yang bisa meloloskannya sebagai aturan hukum.
  2. Austin membingkai versinya mengenai pengetesan fundamental ini sebagai serangkaian definisi dan distingsi yang saling menugunci.
  3. Pandangan Austin :
1)     Hukum didefinisikan sebagai sebuah kewajiban berdasarkan peraturan, peraturan merupakan perintah umum, dan perintah sebagai sebuah gambaran bahwa seseorang harus berperilaku dengan cara tertentu, yang didukung oleh kekuasaan dan akan memaksakan keinginan itu dalam suatu pelanggaran
2)     Bantahan terhadap: pendapat Austin tentang apa yang diperintahkan oleh  kedaulaan :
  1. Asumsi Austin yang menyatakan bahwa dalam sebuah komunitas, sebuah kelompok atau institusi tertentu dapat ditentukan yang dalam kontrol tertentu yang dalam pengontrolan terhadap kelompok yang lain, seolah tidak tergantung pada masyarakat yang kompleks. Dalam masyarakat modern  yang pluralistik dimana selalu ada otonomi, kerjasama, dan persatuan. Tidak memungkinkan seseorang atau sebuah kelompok mempunyai fungsi kontrol istimewa terhadap orang sebagai mana yang di maksud Austin
  2. Analisis Austin gagal total untuk memperkenalkan fakta tentang perilaku hukum. Austin tidak membedakan perintah hukum dengan perintah sebuah kelompok preman
  1. Pendapat H. L A.Halrt tentang positivisme :
  1. Dia mengenal bahwa: peraturan dibedakan menjadi peraturan primer dan peraturan sekunder. Peraturan primer adalah peraturan yang memaksa semua anggota masyarakat seperti hukum kriminalisme, sedangkan peraturan sekunder adalah peraturan yang mengatur peraturan primer itu dibentuk dan hanya di sosialisasikan atau dihapus. Dengan demikian maka hukum bukan hanya sebuah perintah dari suatu kekuasaan pencipta hukum.
  2. Menolak teori Austin bahwa: peraturan adalah suatu jenis dari perintah
  3. Ada dua kemungkinan munculnya sebuah otoritas peraturan:
Sebuah peraturan akan mengikat satu kelompok masyarakat karena kelompok tersebut melalui prakteknya melalaui kebiasaannya, menerima peraturan itu sebagai standar perilaku mereka. Tetapi tidak semua kebiasaan sebagai semua peraturan, karena peraturan menjadikan sebagai dasar kebiasaan di masyarakat.dan untuk menilai pelanggaran terhadap peraturan tersebut.
Suatu peraturan akan mengikat dengan cara yang berbeda, yang dikeluarakan untuk menyesuaikan dengan peratara sekunder yang memerintahkan peraturan tersebut mengikat. Dengan demikian maka hukum yang mengikat bukan hanya semata-mata diterima, tetapi ada ketentuan dari peraturan sekunder yang mengharuskan peraturan tersebut berlaku.
  1. Pendapat Halrt tentang positifisme lebih kompleks dari pada pendapat Austin dan pengujiannya terhadap keberlakuan terhadap hukum yang rumit
II. Peraturan, Prinsip dan Kebijakan
  1. Kebijakan adalah standar yang menentukan tujuan yang hendak dicapai dalam bidang ekonomi, politik atau sosial dalam masyarakat
  2. Prinsip adalah standar yang harus diperhatikan, bukan karena untuk melindungi keuntungan ekonomi, politik ataupun sosial yang diinginkan tetapi karena prinsip merupakan persyaratan bagi keadilan.
  3. Perbedaan antara prinsip hukum dan peraturan hukum merupakan perbedaan yang logis, keduanya membentuk starndar pengambilan keputusan tentang kewajiban hukum dalam keadaan tertentu, tetapi berbeda dalam karakteristik pengarahannya
  4. Prinsip adalah suatu pernyataan dasar tanpa adanya pengecualian, sedangkan pengaturan  adanya pengecualian.
  5. Prinsip mempunyai dimensi yang sama tentang seberapa penting prinsip tersebut, sedangkan peraturan yang satu dengan yang lainnya dimungkinkan akan lebih penting dari pada yang lainnya.
  6. Terkadang sulit untuk menentukan standar apakah suatu pernyataan suatu penyataan ataukah prinsip.
  7. Terkadang juga peraturan dan prinsip dapat melakukan hal yang sama dan perbedaan atara keduanya hanya masalah bentuk saja.
III. Prinsip dan Konsep Hukum
  1. Prinsip memainkan bagian yang penting dalam argumentasi yang pening tentang kewajiban dan hak hukum yang peting dan tertentu.
  2. Peraturan tidak akan ada sebelum adanya kasus yang ditentukan, pengadilan mengutip prinsip sebagai justifikasi terhadap penerapan peraturan yang baru.
  3. Ada dua perbedaan mendasar antara konsep dan kewajiban hukum dengan peranan penting prinsip dalam menentukan putusan hukum tertentu
1)     Kita mungkin dapat menggunakan prinsip hukum sebagaimana menggunakan peraturan hukum dan menyatakan bahwa prinsip mengikat sebagai hukum, dan harus digunakan oleh hakim untuk memutuskan suatu kewajiban hukum
2)     Pada sisi yang lain kita dapat menolak bahwa prinsip dapat mengikat sebagaimana peraturan mengikat.
IV.     Kebijaksanaan
  1. Istilah kebijaksanaan selalu diwarnai informasi perihal latar belakang pengertian terminologi tersebut digunakan, dengan pembedaan:
    1. Terkadang kita menggunakan terminologi “kebijaksanaan” ini dalam maknanya yang paling lemah, bahwa karena sejumlah alasan, standar yang harus digunakan petugas tidak mesti mekanis, melainkan memerlukan aspek penilaian pribadi di dalamnya.
    2. Terkadang kita jug menggunakan istilah ini dalam makna lemah lainnya – hanya sejumlah pejabat yang memiliki otoritas untuk membuat putusan yang tidak bisa dibantah oleh pejabat lain.
    3. Kebijaksanaan dibutuhkan jika seseorang ikut serta dalam menentukan suatu keputusan yang berdasarkan kepada suatu standar tertentu. Artinya bahwa orang tersebut dapat memutuskan suatu keputusan berdasarkan kebijaksanaanya terhadap standar yang sebelumnya ditentukan oleh hukum.
    4. Kebijaksanaan diibaratkan lubang donat, ada tapi tidak serta merta dapat digunakan dengan bebas, tetapi dengan pembatasan suatu standar di sekitarnya.
    5. Kebijaksanaan hukum bukan berarti bahwa seseorang bebas menentukan suatu putusan tanpa berdasarkan suatu standar kebijaksanaan dan keadilan, tetapi tidak berarti juga putusan tersebut dikendalikan oleh kepentingan suatu kekuasaan.
    6. Beberapa ahli hukum nominalis berpendapat bahwa hakim selalu mempunyai kebijaksanaan hukum, meskipun terdapat suatu peraturan yang jelas, karena pada dasarnya hakim adalah penentu akhir suatu hukum. Sedangkan menurut ahli hukum positivisme, tidaklah demikian, karena ketika terdapat suatu peraturan yang jelas maka hakim tidak boleh menggunakan kebijaksanaan hukumnya.
    7. Beberapa bantahan bagi kaum positivis tentang kebijakan:
1)     Pendapat kaum positivisme bahwa kalau prinsip tidak bisa menjadi sebuah pengikat atau sebuah kewajiban. Ini pendapat yang salah, karena pada kenyataanya suatu prinsip mengikat para petugas legal tersebut.
2)     Pendapat kaum positivisme bahwa meskipun beberapa prinsip bersifat mengikat, maksudnya hakim harus memutuskan menurut prinsip-prinsip tersebut, merekan tidak bisa menetukan hasil tertentu darinya. Ini adalah argumen yang lebih sulit dinilai karena tidak jelas apa yang dimaksudkan kaum positivisme dengan standar unatuk menentukan hasil.
3)     Kaum positivismen berpendapat bahwa tidak bisa dianggap sebagai hukum karena otoritasnya, lebih-lebih bobotnya, sangat kontroversial. Ini benar, tetapi kita masih dapat menelaaah sebuah prinsip, justeru karena bobotnya, dengan membandingkannya kepada campur praktik dan prinsip lain dimana implikasi legislatif dan sejarah yudisial tergambat bersama pertimbangan praktik dan pemahaman komunitas.

V. Aturan Pengakuan
  1. Hart dan Austin memahami masalah yang berhubungan dengan proposisi yang menyatakan bahwa hukum adalah semata-mata perintah, karena pada kenyataannya kebanyakan aturan legal Amerika yang paling kuni tidak pernah diciptakan secara ekplisit oleh legislasi ataupun pengadilan, tetapi selalu muncul dalam opini dan teks legal yang dianggap sudah menjadi hukum, seperti praktik-praktik merkantilis pada komunitas bisnis.
  2. Pendapat Austin bahwa kebiasaan-kebiasaan di masyarakat bukan hukum sampai pengadilan menentukan bahwa itu hukum, pendapat ini sangat lemah, karena pada kenyataanya banyak kebiasaan yang dianggap hukum yang mengikat suatu masyarakat.
  3. Pendapat Hart bahwa kebiasaan-kebiasaan tersebut bisa dianggap sebagai hukum bahkan sebelum pengadilan mengakuinya, pendapat ini juga tidak kuat, karena dengan demikian tidak bisa dibedakan antara aturan kebiasaan legal dengan aturan kebiasaan moral dan karena tidak semua kebiasaan kewajiban moral komunitas yang bertahan cukup lama bisa diperkuat menjadi hukum.
  4. Sikap Hart terhadap kebiasaan, sebenarnya, berfokus pada pengakuan bahwa minimal ada sejumlah aturan hukum yang mengikat bukan karena valid di bawah standar-standar yang ditetapkan aturan-penguasaan, melainkan mengikat lantaran diterima sebagai hal yang mengikat oleh komunitas, dengan kata lain adanya pengakuan komunitas terhadap suatu kebiasaan sebagai hukum yang mengikat mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar